Mohammad Riza Chalid: Ketika "Saudagar Minyak" Menjadi Buronan Negara
JAKARTA, kiprahkita.com –Di balik gemerlap dunia bisnis migas Indonesia, terdapat satu nama yang selama dua dekade beredar bagai bayangan: Mohammad Riza Chalid. Ia bukan menteri, bukan pula pejabat negara, namun pengaruhnya begitu dalam hingga dijuluki “The Gasoline Godfather” – julukan yang tak diberikan sembarangan. Ia adalah dalang senyap di balik impor minyak Indonesia. Dan kini, sosok yang dulu tak tersentuh hukum itu, resmi ditetapkan sebagai tersangka dan buronan dalam kasus korupsi impor minyak Pertamina dengan kerugian negara mencapai Rp 28,5 triliun.
![]() |
Mohammad Riza Chalid |
Di Balik Tirai Industri Energi
Riza Chalid adalah pengejawantahan dari bagaimana bisnis migas—industri strategis yang seharusnya dikuasai negara—dikuasai oleh segelintir elite dengan jejaring tak kasat mata. Namanya pertama kali mencuat ke publik luas dalam polemik pembubaran Petral (Pertamina Energy Trading Limited), perusahaan cangkang di Singapura yang mengatur arus impor minyak Pertamina selama bertahun-tahun. Di sanalah Riza diyakini memainkan peran sentral, mengatur harga, kontrak, dan distribusi—semua dari balik layar.
Dengan kekayaan yang ditaksir mencapai Rp 6,7 triliun, Riza pernah masuk jajaran orang terkaya versi Globe Asia. Namun kekayaannya bukan hanya soal angka, melainkan pengaruh. Ia dikenal dekat dengan tokoh-tokoh politik, menjadi jembatan antara kepentingan bisnis dan kekuasaan. Bahkan dalam kasus "Papa Minta Saham" pada 2015, rekaman yang melibatkan dirinya bersama Ketua DPR saat itu memperlihatkan betapa nyamannya ia bercakap dalam level tertinggi politik nasional—tanpa jabatan, tanpa legitimasi publik.
Buronnya Kepercayaan Publik
Kini, dengan status sebagai tersangka dan buronan, pertanyaannya bukan hanya soal di mana Riza berada. Tapi mengapa negara selama ini membiarkannya berada di sana? Bagaimana mungkin seseorang yang jelas-jelas menguasai jalur strategis impor energi—dan diduga merugikan negara triliunan rupiah—bisa begitu lama berada di luar jangkauan hukum?
Kasus Riza bukan sekadar soal korupsi impor. Ini adalah puncak gunung es dari sistem energi yang selama ini dikelola dengan kabut kepentingan dan kompromi oligarki. Ia menjadi simbol betapa lemahnya kedaulatan energi kita, di mana keputusan strategis soal pasokan BBM nasional ternyata tidak ditentukan oleh negara, tapi oleh "pedagang dalam bayangan".
Memburu Riza, Menebus Harga Diri Negara
Rp 28,5 triliun bukan angka kecil. Itu adalah anggaran pendidikan nasional dalam satu tahun, atau gaji ratusan ribu guru dan tenaga medis. Maka ketika negara dirugikan sebanyak itu, ini bukan hanya soal audit, tapi soal keadilan.
Penetapan Riza sebagai buronan harus menjadi titik balik. Bukan hanya demi menangkap satu orang, tapi untuk mengembalikan kepercayaan publik pada integritas sektor energi dan supremasi hukum. Jangan biarkan penegakan hukum berhenti pada narasi "kami sudah menetapkan tersangka". Bangsa ini butuh pembuktian bahwa tidak ada lagi sosok yang terlalu kaya, terlalu kuat, atau terlalu dekat dengan kekuasaan untuk disentuh hukum.
Migas dan Masa Depan yang Harus Dirombak
Satu Riza bisa jatuh, tapi sistem yang melahirkannya bisa tetap hidup jika tak dibongkar. Ini saatnya negara memperkuat tata kelola energi, membatasi ruang gelap perantara, dan memastikan bahwa minyak yang kita pakai setiap hari tak lagi membawa beban kepentingan segelintir orang.
Riza mungkin buronan hari ini. Tapi yang sebenarnya sedang dikejar oleh rakyat adalah: keadilan yang tertunda terlalu lama. *Yus MM/BS
0 Komentar