JAKARTA, kiprahkita.com –Artis sekaligus anggota DPR RI, Nafa Urbach, menyampaikan permintaan maaf setelah pernyataannya mengenai tunjangan rumah anggota DPR menuai kritik warganet.
Anggota DPR RI periode 2024–2029 dari Fraksi Partai Nasdem itu sebelumnya mendukung adanya tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan bagi para anggota dewan.
![]() |
Namun, pernyataan itu memicu respons negatif dari publik yang menilai sikapnya tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
Permintaan maaf Nafa disampaikan melalui unggahan di akun Instagram pribadinya.
Tangkapan layar unggahan tersebut kemudian dibagikan ulang oleh akun Instagram @lambegosiip pada Sabtu, 23 Agustus 2025.
"Guyss maafin aku yah klo statement aku melukai kalian,” tulis Nafa Urbach di Instagram Story-nya.
Ia menegaskan komitmennya untuk tetap memperjuangkan kepentingan masyarakat, khususnya di daerah pemilihan (dapil) yang diwakilinya.
“Percayalah aku gak akan tutup mata untuk memberikan hidup aku buat rakyat di dapil aku sebaik mungkin yg bisa aku kerjakan saat ini,” lanjut Nafa.
Permintaan maaf ini muncul di tengah sorotan publik terhadap fasilitas dan tunjangan bagi anggota DPR. Isu tersebut belakangan ramai diperbincangkan karena dinilai kontras dengan situasi masyarakat yang masih menghadapi berbagai persoalan ekonomi.
Politisi Nasdem itu sendiri tercatat sebagai anggota Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan, tenaga kerja, dan kependudukan.***
“Mudahnya Minta Maaf, Sulitnya Peka terhadap Rakyat”
Pernyataan Nafa Urbach, artis sekaligus anggota DPR RI dari Fraksi Nasdem, tentang tunjangan rumah Rp50 juta per bulan kembali membuka luka lama hubungan antara rakyat dan wakilnya. Sebelum meminta maaf, ia terang-terangan mendukung tunjangan fantastis itu sebagai kompensasi absennya rumah jabatan. Publik pun bereaksi keras. Bagi masyarakat yang masih bergulat dengan harga sembako, biaya sekolah, hingga upah minimum yang tak sebanding dengan kebutuhan, mendengar wakil rakyat bicara soal tunjangan puluhan juta jelas seperti garam yang ditabur di luka terbuka.
Permintaan maaf yang datang lewat unggahan Instagram, dengan gaya bahasa kasual “guyss maafin aku yah”, justru memperlihatkan betapa jauhnya jarak empati antara legislator dan rakyat. Seakan-akan problematika yang ditimbulkan hanyalah perkara salah ucap, bukan persoalan substansial tentang kepantasan dan kepekaan sosial seorang anggota DPR. Mudah sekali meminta maaf setelah menimbulkan gaduh, namun apakah permintaan maaf itu disertai refleksi serius dan keberanian untuk menarik kembali dukungannya atas kebijakan yang kontroversial?
Fenomena ini sesungguhnya bukan sekadar soal Nafa Urbach. Ia hanya satu contoh dari banyak legislator yang gagal membaca denyut nadi rakyat. DPR berulang kali tersandung masalah citra akibat gaya hidup mewah, fasilitas berlebih, dan usulan tunjangan yang tak masuk akal, sementara rakyat diminta untuk “sabar” menghadapi krisis. Publik lelah dengan pola yang sama: anggota dewan berbicara atau bertindak tidak sensitif, masyarakat marah, lalu muncul permintaan maaf singkat tanpa ada perubahan nyata.
Permintaan maaf memang penting, tapi bukan sekadar ritual formal untuk meredam amarah publik. Permintaan maaf harusnya dibarengi dengan komitmen konkret: menolak atau merevisi usulan tunjangan, memperjuangkan anggaran yang lebih berpihak kepada rakyat, atau setidaknya memberikan edukasi yang masuk akal tentang mengapa kebijakan tertentu diperlukan. Tanpa langkah itu, maaf hanya menjadi tempelan kosmetik yang menutupi wajah arogansi politik.
Kasus Nafa mengingatkan kita pada satu hal: rakyat tidak sekadar butuh wakil yang pandai berbicara, melainkan yang berani hidup sederhana, merasakan susahnya rakyat, dan menolak privilese yang melukai rasa keadilan. Jika anggota DPR terus menganggap isu tunjangan sebagai hak istimewa yang wajar, maka permintaan maaf tidak akan pernah cukup. Yang rakyat tunggu bukan sekadar kata “maaf”, melainkan bukti nyata keberpihakan kepada rakyat. (BS)*
0 Komentar