Prabowo dan Politik Rekonsiliasi Kekuasaan: Abolisi, Amnesti, dan Arah Baru Istana
JAKARTA, kiprahkita.com –Keputusan Presiden Prabowo Subianto membebaskan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) melalui kebijakan abolisi, dan memberikan amnesti kepada Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bukanlah sekadar tindakan hukum. Di balik kebijakan yang terkesan yuridis itu, tersimpan strategi politik yang mengguncang peta kekuasaan nasional. Dua tokoh yang selama ini dikenal berseberangan dengan Presiden Joko Widodo justru kini menjadi simbol awal dari kontestasi kekuasaan baru di era Prabowo.
![]() |
Dua Tokoh Memperoleh Abolisi dan Amnesti |
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah: Langkah ini Sebagai Sinyal Terang
Langkah Prabowo ini menegaskan satu hal: masa transisi kekuasaan dari era Jokowi ke era Prabowo tidak berlangsung linier atau mulus. Ia penuh tarik ulur pengaruh dan pembentukan ulang aliansi. Pengamat politik Dedi Kurnia Syah bahkan menyebut langkah ini sebagai sinyal terang bahwa pengaruh Jokowi di lingkar kekuasaan Prabowo mulai tergerus. Prabowo bukan sekadar presiden penerus, ia sedang menegaskan dirinya sebagai pemegang kendali penuh atas arah politik dan struktur kekuasaan nasional.
Membebaskan Tom dan mengampuni Hasto dapat dibaca sebagai dua tembakan politik dalam satu peluru: pertama, ini merupakan sinyal penegasan independensi Prabowo dari bayang-bayang Jokowi. Kedua, ia menciptakan efek ganda di internal kabinet — memperkuat loyalitas barisan koalisi sekaligus menggoyahkan posisi tokoh-tokoh yang masih bersandar pada jejaring kekuasaan lama. Ini bukan sekadar reshuffle, melainkan reposisi pengaruh.
Hendri Satrio (Hensa): Ini Bukan Tindakan Konfrontatif, Melainkan Cerminan Semangat Rekonsiliasi Nasional
Namun di sisi lain, analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) menawarkan narasi yang lebih sejuk. Menurutnya, kebijakan ini bukan tindakan konfrontatif, melainkan cerminan semangat rekonsiliasi nasional. Prabowo dinilai berupaya membangun soliditas elite agar pemerintahan berjalan stabil, pembangunan tidak tersandera konflik politik, dan oposisi bisa dirangkul menjadi mitra. Dalam logika ini, pembebasan Tom dan amnesti kepada Hasto merupakan bentuk pelunakan tensi politik yang selama ini memecah kubu elite.
Pertanyaannya kemudian: apakah ini murni rekonsiliasi atau strategi hegemonik bertopeng harmoni?
Apapun jawabannya, satu hal menjadi terang: Prabowo sedang mendesain ulang lanskap kekuasaan dengan presisi tinggi. Ia tidak ragu menyentuh titik-titik sensitif dalam politik nasional demi memastikan bahwa pemerintahannya bukan hanya kelanjutan, tetapi juga koreksi dan arah baru dari warisan sebelumnya.
Implikasinya tidak kecil. Kabinet Merah Putih — yang sebelumnya masih dihantui kompromi dan keseimbangan antarporos kekuasaan — kini memasuki fase konsolidasi ulang. Tokoh-tokoh yang masih bergantung pada kedekatan personal dengan Jokowi akan terpaksa melakukan kalkulasi ulang. Loyalitas politik bukan lagi soal sejarah relasi, melainkan soal ketepatan membaca angin kekuasaan yang kini bertiup dari arah Prabowo.
Dengan demikian, langkah ini menandai babak baru: bukan sekadar mengakomodasi lawan, tapi mengatur ulang peta politik nasional dari titik nol — dengan Prabowo sebagai arsitek utamanya.
Presiden, Hak Prerogatif, dan Sistem Politik Kita: Dr. Yosminaldi, SH.MM
"Politik menentukan siapa yang berkuasa, bukan siapa yang memiliki kebenaran.” Paul Krugman.
Istana memang menyentak publik dengan diumumkannya Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto di atas. Tom Lembong divonis 4.5 tahun penjara dalam kasus impor gula tahun 2015-2016. Sementara Hasto divonis 3.5 tahun penjara dalam kasus suap terhadap Anggota KPU Wahyu Setiawan untuk memuluskan jalan Harun Masiku menjadi Anggota DPR pergantian waktu.
Sebelumnya, tak pernah terdengar bahkan "tercium" rencana keputusan besar yang dibuat oleh Presiden dan disetujui oleh DPR-RI tersebut.
Hak Prerogatif Presiden, diatur jelas dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat 1. Mengacu pada Pasal 14 UUD 1945, hanya menyebutkan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Ketentuan ini sempat berubah dalam UUD Sementara 1950, dimana Pasal 107 konstitusi yang hanya sementara itu mengatur bahwa pemberian amnesti, abolisi, dan grasi harus dengan kuasa undang-undang dan meminta pendapat Mahkamah Agung.
Setelah amandemen UUD 1945 di masa Reformasi, ada perubahan ketentuan soal empat hak istimewa tersebut. Pemberian grasi dan rehabilitasi harus dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Sementara itu pemberian amnesti dan abolisi harus dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuannya agar Presiden benar-benar selektif dalam menggunakannya, meskipun tidak mengurangi hak Presiden.
Bagaimanapun, Keputusan Abolisi dan Amnesti ini sangat mengagetkan, karena umumnya publik pasti menunggu kelanjutan proses hukum oleh masing-masing terdakwa yang sudah mendapatkan vonis pengadilan tahap pertama tersebut. Apakah mereka berdua akan melanjutkan ke proses banding atau menerima putusan pengadilan pertama tersebut.
Kita menghormati Keputusan Presiden yang legal tersebut, karena Abolisi dan Amnesti adalah Hak Prerogatif (Hak Istimewa) yang hanya dimiliki Presiden sebagai Kepala Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 14 ayat 1 UUD 1945.
Pertanyaan besar saat ini, apa motif Presiden mengeluarkan Keputusan Abolisi dan Amnesti kepada dua terhukum kasus korupsi tersebut? Apakah memiliki motif politis, kemanusiaan atau menciptakan stabilitas nasional yang kondusif menjelang HUT RI ke 80 pada 17 Agustus 2015 mendatang? Seberapa besarkah kekuasaan Presiden RI?
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Republik Indonesia menerapkan sistem Pemerintahan Presidensial. Dalam sistem Pemerintahan Presidensial, kedudukan Presiden adalah sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.
Berdasarkan UUD 1945, Presiden memiliki kekuasaan sangat besar dan "Powerful", karena dua kekuasaan berada dalam satu tangan (Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan).
Jika melihat sistem Pemerintahan "de facto", maka model Pemerintahan RI sesungguhnya adalah semi parlementer, karena kekuasaan Parlemen alias DPR - RI cukup besar (legislative heavy) dan Kabinet diisi oleh Koalisi partai-partai politik yang mayoritas di DPR.
Dalam sistem semi parlementer ini, DPR bisa selalu "mengganggu" dan mempertanyakan setiap kebijakan-kebijakan Pemerintah (Eskekutif) yang sejatinya tidak sesuai dengan harapan publik.
Makanya, sebagaimana sistem Parlementer di negara-negara lain yang Pemerintahannya dipimpin oleh seorang Perdana Menteri (Prime Minister), kooptasi mayoritas anggota Parlemen oleh Perdana Menteri (baca: Presiden), adalah sebuah keniscayaan, agar setiap keputusan dan kebijakan Pemerintah (Eksekutif) bisa berjalan mulus. Ajakan kepada partai politik yang lolos di Parlemen (DPR) untuk menjadi bagian dari Pemerintahan yang sedang berkuasa (The Ruler) adalah sebuah strategi untuk "menjinakkan" Parlemen.
Dikarenakan jabatan Presiden didapatkan dari hasil Pemilu dan Pilpres yang penuh dengan kompetisi Partai Politik yang ketat, maka nuansa politis dalam jabatan Presiden, sangatlah kuat. Sejatinya, dengan sistem politik yang penuh dengan persaingan antar Partai Politik, maka tugas dan kewenangan Presiden harus lebih fokus kepada urusan Pemerintahan.
Namun, untuk tetap menjaga "stabilitas kekuasaan", Presiden yang juga sebagai Kepala Negara tersebut, menggunakan hak prerogatifnya demi kepentingan politik dan kekuasaannya secara konstitusional.
Maka dari itu, pemisahan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara harus dipikirkan dan menjadi PR besar negeri ini kedepan.
Seperti di beberapa negara yang berbentuk Republik di ASEAN, sudah dilakukan pemisahan kekuasaan dan kewenangan yg jelas antara Kepala Pemerintahan dengan Kepala Negara. Setidaknya, tugas dan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara yang bisa digunakan untuk kepentingan kekuasaan dan bersifat politis, bisa dialihkan ke lembaga tinggi negara lain, misalnya ke MPR.
Artinya, seorang Presiden terpilih, nantinya hanya akan fokus kepada tugas-tugas Pemerintahan Negara yang nota bene meningkatkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat! Bekasi, 02 Agustus 2025. Penulis Pemerhati Politik, Hukum, dan Demokrasi.*
0 Komentar