Apa Itu ACAB / 1312? Antara Kritik Sosial dan Resistensi Terhadap Aparat



Apa Itu ACAB / 1312? Antara Kritik Sosial dan Resistensi Terhadap Aparat

Pendahuluan

Di tengah dinamika sosial dan politik yang terus berubah, terutama terkait isu-isu penegakan hukum, kebebasan sipil, dan kewenangan aparat negara, muncul berbagai ekspresi perlawanan dari masyarakat. Salah satu ekspresi yang paling kontroversial namun signifikan adalah slogan ACAB, singkatan dari “All Cops Are Bastards”, atau dalam bentuk numeriknya: 1312 (berdasarkan posisi huruf di alfabet: A=1, C=3, A=1, B=2).

Truk Massa 

Bagi sebagian orang, ACAB adalah bentuk kritik ekstrem terhadap institusi kepolisian. Namun bagi yang lain, ini adalah pernyataan politik yang merefleksikan kekecewaan mendalam terhadap sistem hukum yang dinilai tidak adil. Lalu, apa sebenarnya makna dari ACAB, bagaimana asal-usulnya, dan mengapa ini relevan dalam konteks Indonesia hari ini?


Asal-Usul dan Sejarah ACAB

Istilah ACAB sudah ada sejak era awal abad ke-20, namun menjadi populer pada tahun 1970-an dan 1980-an di kalangan komunitas punk dan subkultur anti-otoritarian di Inggris. Slogan ini muncul sebagai reaksi terhadap brutalitas polisi terhadap demonstran, pekerja buruh, dan kelompok minoritas.

ACAB tidak selalu ditujukan kepada individu polisi, melainkan ditujukan sebagai kritik terhadap institusi kepolisian sebagai sistem. Ia lahir dari pengalaman sosial bahwa kekuasaan yang terlalu besar di tangan aparat keamanan sering kali digunakan untuk menindas, bukan melindungi.


Makna di Balik Slogan

Meskipun terdengar ekstrem dan kasar, makna ACAB bagi sebagian penggunanya bukan sekadar makian. Di balik kata-kata keras itu, terdapat gagasan bahwa:

  1. Institusi kepolisian cenderung melindungi kepentingan penguasa, bukan rakyat.

  2. Struktur kepolisian sering kali tidak akuntabel terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

  3. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat jarang mendapatkan sanksi serius.

  4. Polisi, sebagai bagian dari sistem hukum, menjadi alat represi terhadap rakyat, bukan perlindungan.

Dengan kata lain, ACAB bukan ditujukan kepada setiap individu polisi, tetapi terhadap sistem kepolisian yang dianggap sistemik rusak dan gagal melindungi hak asasi manusia.


ACAB dan Konteks Indonesia

Kasus rencana revisi UU Polri yang memberi kewenangan kepada polisi untuk memblokir dan memutus akses internet, mengingatkan publik pada peristiwa pemblokiran internet di Papua tahun 2019, yang kemudian dinyatakan melanggar hukum oleh PTUN. Revisi ini menambah daftar panjang kewenangan aparat yang dikhawatirkan berpotensi disalahgunakan.

Kritik keras dari masyarakat sipil, termasuk peneliti BRIN Sarah Nuraini, menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terhadap pergeseran fungsi polisi — dari pelindung masyarakat menjadi instrumen kontrol sosial dan politik.

Dalam konteks ini, slogan seperti ACAB atau 1312 kembali mencuat sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap upaya pembungkaman kebebasan sipil. Ia menjadi peringatan bahwa publik tidak akan diam jika hak-hak dasar mereka—seperti akses informasi, kebebasan berekspresi, dan hak atas internet—dibatasi demi alasan "keamanan" yang tidak transparan.


Penutup: Perlu Evaluasi, Bukan Represi

Slogan ACAB bukan solusi, tapi alarm. Ia adalah bentuk teriakan frustrasi atas ketidakadilan yang dirasakan banyak orang. Ketimbang membungkam suara-suara kritis dengan menambah kewenangan represif, negara seharusnya memperbaiki sistem pengawasan dan akuntabilitas polisi, memperkuat perlindungan HAM, dan membangun kepercayaan antara aparat dan masyarakat.

Revisi UU Polri harus dibahas secara terbuka, melibatkan publik, dan memastikan tidak memberi kekuasaan berlebih pada aparat. Jika tidak, resistensi akan terus membesar — bukan hanya dalam bentuk slogan seperti ACAB atau 1312, tapi dalam bentuk gerakan sosial yang lebih luas. Tenpo.co



Posting Komentar

0 Komentar