Luka dari Sebuah Kata
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Langit masih pekat ketika ayam jantan berkokok panjang. Ia membangunkan seorang gadis manis dari tidurnya. Matanya berat, tapi begitu pandangannya jatuh pada jam dinding yang menunjuk pukul empat, ia segera bangkit. Air wudu membasuh wajahnya, menyingkirkan sisa kantuk. Dengan langkah pelan namun pasti, ia menuju masjid, menyatu dengan lantunan doa Subuh berjamaah.
![]() |
Pagi itu, hatinya terasa damai. Angin sejuk berembus lembut, seolah memberi pertanda hari akan berjalan indah. Ia tak pernah tahu, beberapa jam lagi, kedamaian itu akan berubah menjadi luka yang membekas di hati selama hidupnya. Konflik batin, inilah yang akan menemani hari-harinya.
Pukul 06.50, ia melangkah ke sekolah bersama teman-temannya setelah rutinitas mandi, berkemas, dan sarapan pagi. Suasana riuh penuh canda tawa mewarnai gerbang dan halaman sekolah. Senyum merekah di wajahnya. Begitu bel berbunyi, murajaah pun dimulai. Tikar digelar, ratusan siswa duduk rapi di lapangan. Matahari perlahan merangkak naik, menyinari barisan anak-anak dengan cahaya hangat.
Namun ketenangan itu runtuh di hati siswa saat guru yang terkenal tegas sekaligus penyayang menegur. Beberapa tikar yang tersisa terlihat jatuh dan berantakan di area apel pagi. Tak ada yang berinisiatif berdiri merapikan. Dengan wajah serius menurut para siswa, guru memanggil petugas piket dari OSIM. Ketua OSIM maju, mencoba menjelaskan dengan tenang.
Tetapi gadis manis yang duduk di barisan belakang mulai merasa geram. Pertanyaan sang guru terasa olehnya berbelit-belit. Itu menguji kesabaran mereka. Tanpa sadar, ia pun menyahut dari kejauhan dengan nada meninggi. Saat itu, ia pikir tak masalah. Tapi sesungguhnya, ia baru saja menyalakan api kecil yang siap membakar dirinya sendiri.
Lalu, tiba-tiba—“Baruak gadang! Amak paja sia tu?!” teriaknya lantang. Koor teman sirclenya pun mengikuti bersorak.
“Baruak gadang! Amak paja sia tu?!”
Kata-kata kasar itu meluncur dari mulut seorang teman pula. Semua siswa terkejut, sebagian menahan tawa, sebagian lain terdiam. Gadis manis membeku, namun emosi yang menguasainya membuat lidahnya tergelincir saat itu. Ia pun diikuti temannya. teman-temanyapun menirukan kata itu. Seakan berantai, beberapa siswa lain turut menyahut pula dengan ucapan sama.
Dalam sekejap, lapangan sekolah yang semula hening berubah ricuh. Kata-kata kasar bersahut-sahutan, merobek adab yang seharusnya dijaga siswi berlilit itu.
Apel berakhir dengan wajah guru yang masam. Gadis manis mencoba menenangkan hati. Ia melangkah ke kelas, berpura-pura semuanya baik-baik saja. Namun, kegelisahan diam-diam menggerogoti dadanya.
Menjelang pulang, nama gadis manis dipanggil. Wali kelas menunggunya dengan wajah serius, sorot matanya menusuk.
“Ibuk mau kamu jujur. Ada kamu berkata sesuatu tadi pagi?”
Dunia seakan berhenti berputar. Gadis manis terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia berusaha menyangkal, tapi tatapan tajam itu membuatnya menyerah. Dengan suara bergetar, ia mengaku. "Iya Buk. Ana kesal. Ana bilang, “Baruak gadang! Amak paja sia tu?!”
Wali kelas wajahnya memerah. Tak pernah ada siswi berkata demikian kasarnya. Wali kelas menghela napas panjang, lalu membawanya ke ruang wakil kepala sekolah.
Di sanapun, ia ditanyai dengan perkataan yang sama, pertanyaan datang silih berganti.
“Kenapa kamu bisa berucap seperti itu?”
“Menurutmu, pantaskah kata-kata itu keluar dari mulut seorang siswa?”
Gadis manis tak mampu menjawab. Ia memonyongkan mulutnya. Matanya menyipit. Nampak wajah kesalnya meski kepalanya tertunduk, matanya liar. Ia mencoba menjelaskan dengan kesal bahwa bukan hanya dirinya yang berkata demikian, namun teman-temannya tidak mendapat sorotan seberat dirinya karena ialah yang mengawali perkataan kasar itu.
Ia menjawab dengan seadanya dan ia berkata kalau tidak dia sendiri yang berkata seperti itu. Ia menyeret teman-temannya dan meminta izin memanggilnya kepada bu wakil kepala.
Ia pun memanggil teman-temannya ke bawah dan membawanya menuju ruang waka. Saat akan menuju ruang waka ternyata sang guru yang bersangkutan telah menunggu di teras kepala sekolah. Sang guru memanggil seperti guru biasa dengan memanggil " gadis manis" kemari dulu.
Ia diberi pertanyaan-pertanyaan yang agak menyinggung menurutnya. Ia pun sedikit menampakkan wajah tidak suka. Ia merasa terlalu dipojokkan di sini. Teman-temannya tidak terlalu dipertanyakan hanya sang gadis manis paling tersorot. Satu pertanyaan paling menyakitkan menurutnya " Ini pasti kamu suka pada ketua osim?" Jleb itu sangat menjengkelkan.
Setelah bertemu dengan sang guru, guru meminta kepada kami untuk menenangkan hati terlebih dahulu, karena melihat muka kami tadi sangat tidak bersahabat. Sang guru meminta kami untuk mencatat nama-nama kami dan memberinya kepada sang guru esok hari agar diberikan kepada wakil kurikulum. Maksud guru agar mereka dengan teman-temannya tidak di kelas Bu Guru tersebut saat di kelas 9. Peristiwa ini terjadi saat akan naik ke kelas 9. Bu Guru piket yang kami katai Baruak merupakan salah satu guru kelas 9.
Hari sudah berganti, sekolah seperti biasa dan hal mengejutkan terjadi, Gadis itu dipanggil saat acara apel pagi untuk maju ke depan. Ini adalah hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk dipermalukan seperti sekarang ini. Pagi itu, apel kembali digelar. Semua siswa berdiri rapi, kecuali satu siswi yang gemetar itu ketika namanya dipanggil. Gadis manis maju ke depan, langkahnya terasa berat seakan bumi menolaknya.
Ia hanya sendiri dan diberi pertanyaan pertanyaan lagi oleh pak waka di jamur jamur tempat duduk di luar lokasi apel pagi. Kali ini ia menangis di sana , menjelaskan apa adanya. Masalah ini akan diselesaikan oleh waka beberapa hari kedepan.
Kali ini wakil kesiswaaan membimbingnya ke tempat duduk di sebelah apel pagi. Suara Pak Waka lembut berbisik tapi serasa menggema dirasakannya karena menanyakan ulang perbuatannya. Gadis itu mencoba menjawab, tapi suaranya pecah. Kali ini air mata mengalir deras, membasahi wajahnya di hadapan wakil kepala itu. Tangis itu bukan hanya tangis ketakutan, melainkan penyesalan yang menghantam jiwanya.
Hari-hari selanjutnya sangat berat untuk dilewati gadis manis dan teman-temannya. Mereka harus bolak balik ruang waka dan BK untuk masalah ini. Akhirnya sang guru memiliki waktu bertemu untuk kami mengucapkan kata maaf. Sang guru meminta kami membuat sebuah surat kepada Allah untuk permintaan maaf dan intropeksi diri.
Kami telah menyelesaikan surat kepada Allah selama beberapa hari, tidak ada permintaan maaf juga secara sah. Ia dan teman-teman mengumpulkan saja surat itu ke ruang waka.
Mereka sangat menyesal telah melakukan hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang siswa. Mereka berjanji dan bersumpah tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan Gadis manis dan teman-teman ya.*
“Ya Allah, aku khilaf. Lidah ini terlalu tajam. Aku biarkan amarah menguasai, hingga kata-kata kotor meluncur tanpa kuasa. Ampuni aku, Rabb-ku. Aku berjanji akan menjaga lisanku, agar tak lagi ada hati yang tergores karenaku.”
Surat itu ia serahkan dengan hati bergetar. Namun ia tahu, yang terpenting bukanlah kertas itu, melainkan janji yang tertanam di dalam jiwanya.
Sejak hari itu, gadis manis belajar bahwa kata-kata bisa menjadi doa, tapi bisa pula menjadi luka yang tak pernah hilang. Luka dari sebuah kata, seringkali lebih dalam dari luka sebuah senjata. (EAN)*
Siswa ini terinspirasi dari pengalaman hidupnya sendiri:
https://www.kiprahkita.com/2025/05/baruak-gadang-amak-paja-sia-tu.html
https://www.kiprahkita.com/2025/05/baruak-gadang-amak-paja-sia-tu-alarm.html
0 Komentar