Berita Utama
JAKARTA, kiprahkita.com –Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim (NAM), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook periode 2019–2022 di Kemendikbudristek. Penetapan ini diumumkan oleh Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, hari ini Kamis, 4 September 2025
Korupsi Chromebook dan Runtuhnya Narasi Digitalisasi Pendidikan
Penetapan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi salah satu pukulan paling keras terhadap citra reformasi pendidikan digital di Indonesia. Ini bukan sekadar perkara hukum—tetapi perkara kepercayaan publik terhadap narasi perubahan yang dibangun dengan semangat "edukasi masa depan".
![]() |
Nadiem, mantan CEO Gojek |
Dari Startup Visioner ke Tersangka Korupsi
Nadiem, mantan CEO Gojek yang dielu-elukan sebagai menteri milenial, pernah menjanjikan pembaruan sistem pendidikan nasional dengan pendekatan digital dan inovatif. Sayangnya, langkah modernisasi ini justru dibajak oleh kepentingan birokrasi yang korup, atau lebih parah lagi—dirancang sejak awal dengan orientasi yang menyimpang dari nilai integritas.
Pernyataan Direktur Penyidikan Jampidsus, Nurcahyo Jungkung Madyo, mengungkap bahwa Nadiem telah merencanakan penggunaan produk Google, termasuk Chromebook, bahkan sebelum pengadaan alat TIK dimulai. Artinya, spesifikasi pengadaan sudah dikunci terlebih dahulu, membuka celah besar untuk praktik pengaturan proyek dan konflik kepentingan.
Digitalisasi Gagal Fungsi: Chromebook di Wilayah Tanpa Internet
Salah satu ironi terbesar dalam proyek ini adalah penyediaan laptop berbasis Chrome OS untuk sekolah-sekolah di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Chromebook sangat bergantung pada koneksi internet stabil—yang justru menjadi barang mewah di banyak wilayah sasaran distribusi. Artinya, pengadaan ini bukan hanya cacat hukum, tapi juga cacat logika.
Dalam bahasa sederhana: barang yang tidak bisa digunakan tetap dibeli dengan uang rakyat.
Jejak Kolektif dalam Korupsi
Selain Nadiem, penyidik Kejagung telah menetapkan empat tersangka lainnya, menunjukkan bahwa kasus ini bukan tindakan tunggal, melainkan korupsi yang sistemik dan melibatkan banyak lapisan:
Jurist Tan (JT), Staf Khusus Menteri, aktor penting dalam desain kebijakan dan eksekusi proyek.
Ibrahim Arief (BAM), mantan konsultan teknologi, diduga mengatur spek teknis proyek.
Sri Wahyuningsih (SW) dan Mulyatsyah (MUL), pejabat direktorat sekolah dasar dan menengah, selaku kuasa pengguna anggaran.
Kelima tokoh ini mengisi semua simpul penting dalam struktur birokrasi—dari ide, kebijakan, perencanaan, hingga pengadaan. Ini bukan kebocoran kecil—ini adalah persekongkolan struktural.
Pasal yang Disangkakan: Berat
Nadiem dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor, yang menyangkut penyalahgunaan wewenang hingga merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup, ditambah Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan.
Nilai kerugian negara dalam proyek ini masih dalam audit BPK, namun diperkirakan mencapai Rp 1,98 triliun. Angka ini bukan hanya menandakan besarnya nominal, tapi juga besarnya kehancuran kepercayaan yang timbul.
Pendidikan Bukan Ladang Proyek
Pendidikan seharusnya menjadi ruang suci pembangunan bangsa. Tapi proyek Chromebook ini menjadikannya ladang proyek bancakan anggaran, dengan memanfaatkan citra kemajuan teknologi sebagai tameng.
Ketika reformasi pendidikan disulap menjadi proyek mercusuar tanpa fondasi yang benar, hasilnya adalah kegagalan menyeluruh—bukan hanya secara teknis, tetapi secara moral.
Akhir dari Narasi "Merdeka Belajar"?
Penetapan tersangka atas Nadiem bisa jadi menandai berakhirnya era "Merdeka Belajar" sebagai simbol perubahan pendidikan. Bukan karena ide dasarnya buruk, tapi karena praktik implementasinya dirusak oleh niat yang tidak bebas dari kepentingan pribadi.
Kini, publik menuntut lebih dari sekadar penahanan dan pengadilan. Yang dibutuhkan adalah audit menyeluruh atas seluruh proyek digitalisasi pendidikan, pembenahan tata kelola teknologi pendidikan, serta pembatasan konflik kepentingan antara kebijakan dan penyedia teknologi.
Penutup
Skandal ini adalah pengingat keras bahwa inovasi tanpa integritas hanya akan melahirkan ilusi kemajuan. Pendidikan, bila diperlakukan sebagai ruang untuk memperkaya diri, hanya akan menyisakan generasi yang tidak hanya tertinggal secara teknologi, tapi juga kehilangan kepercayaan terhadap negara yang seharusnya mendidik mereka dengan jujur.
0 Komentar