Judul Bukunya: "Uncle Tom's Cabin."

JAKARTA, kiprahkita.com Bayangkan berusia lima tahun dan harus menyaksikan ibumu dipukuli begitu parah sampai wajahnya tak pernah terlihat sama lagi.

Begitulah kisah Josiah Henson dimulai pada tahun 1794, di sebuah perkebunan di Maryland, tempat manusia diperjualbelikan seperti ternak.

Seorang mandor menghancurkan wajah ibunya hanya dengan satu pukulan. Josiah kecil menyaksikan fitur cantik ibunya berubah menjadi sesuatu yang tak bisa dikenali. Sejak hari itu, ia tak pernah tersenyum dengan cara yang sama lagi.

Tapi itu bukan bagian terburuknya.

Yang paling buruk adalah mengetahui bahwa ini hanyalah hari biasa. Ini normal. Ini adalah kehidupan.

Josiah tumbuh menjadi pria yang kuat meski hidup dalam kebrutalan. Mungkin justru karena kebrutalan itu. Ia menjadi sosok yang dihormati para budak — tenang, setia, tak tergoyahkan.

Tuannya memercayainya. Mengirimnya menjalankan tugas. Bahkan mengizinkannya berkhotbah kepada budak-budak lain setiap hari Minggu.

Namun kepercayaan dalam perbudakan hanyalah lelucon yang kejam.

Saat Josiah berusia empat puluh satu tahun, tuannya memutuskan untuk menjualnya ke selatan — jauh dari istrinya, jauh dari anak-anaknya, jauh dari semua yang ia cintai.

Saat itulah sesuatu di dalam diri Josiah akhirnya patah.

Bukan menjadi amarah. Tapi menjadi kejernihan.

Ia mengumpulkan keluarganya di tengah malam. Empat anak kecil, termasuk seorang bayi. Istrinya yang ketakutan. Mereka tak membawa apa pun selain pakaian yang melekat di tubuh dan secercah harapan.

Mereka berjalan ke arah utara selama berminggu-minggu.

Menyusuri hutan yang seolah menelan suara. Menyeberangi sungai yang hampir merenggut nyawa. Melewati para pemburu budak yang siap menyeret mereka kembali dengan rantai.

Bayi itu menangis. Istrinya tersandung. Kaki anak-anak berdarah dalam sepatu yang sudah usang.

Namun mereka terus berjalan.

Saat akhirnya mereka menyeberang ke Kanada, Josiah berlutut dan mencium tanah. Tanah bebas. Tanah di mana anak-anaknya bisa tumbuh sebagai manusia, bukan sebagai milik orang lain.

Namun kisah Josiah baru saja dimulai.

Bertahun-tahun kemudian, ia bertemu seorang perempuan kecil bersemangat bernama Harriet Beecher Stowe. Saat itu, Harriet sedang menulis artikel tentang perbudakan, namun terasa datar baginya — akademis, jauh dari kenyataan.

Lalu Josiah mulai bercerita.

Ia menceritakan bagaimana ia menyaksikan wajah ibunya berubah selamanya. Tentang bagaimana ia memberitakan harapan kepada orang-orang yang hampir menyerah. Tentang bagaimana ia menggendong bayinya melalui hutan belantara tanpa tahu apakah mereka akan hidup sampai pagi.

Harriet tak bisa tidur malam itu.

Atau malam berikutnya.

Kata-kata Josiah terbakar di benaknya. Ia terus melihat bocah kecil yang menyaksikan ibunya dipukuli. Ayah yang menggendong keluarganya menuju kebebasan.

Ia mulai menulis.

Bukan artikel kali ini. Tapi sebuah cerita. Cerita nyata tentang orang-orang nyata yang menderita, berharap, dan bermimpi seperti manusia lainnya.

Judulnya: "Uncle Tom's Cabin."

Buku itu menghantam Amerika seperti petir.

Orang-orang yang sebelumnya tak pernah peduli soal perbudakan tiba-tiba tak bisa memikirkan hal lain. Mereka melihat penderitaan Josiah dalam setiap halaman. Mereka merasakan luka ibunya. Mereka akhirnya mengerti bahwa para budak bukanlah benda.

Mereka adalah manusia.

Buku itu terjual 300.000 eksemplar di tahun pertamanya. Di negara berpenduduk 23 juta orang, itu seperti semua orang membicarakan hal yang sama di waktu yang bersamaan.

Pemilik perkebunan di Selatan melarangnya. Gereja-gereja di Utara mengkhotbahkannya. Keluarga-keluarga bertengkar karenanya di meja makan.

Ketika Abraham Lincoln bertemu Harriet Beecher Stowe beberapa tahun kemudian, ia konon berkata: "Jadi Anda wanita kecil yang menulis buku yang memulai perang besar ini."

Namun sebenarnya bukan itu buku milik Harriet.

Itu adalah kisah Josiah.

Kisah seorang anak laki-laki berusia lima tahun yang melihat kejahatan menang dan memutuskan bahwa kejahatan tidak harus terus menang selamanya. Kisah seorang pria yang mempertaruhkan segalanya demi memberikan apa yang tak pernah ia miliki kepada anak-anaknya — kesempatan untuk bebas.

Josiah hidup hingga usia 94 tahun. Ia menjadi pendeta, guru, dan pemimpin komunitasnya. Ia membantu budak-budak yang melarikan diri membangun kehidupan baru di Kanada.

Ia tidak pernah menulis novel terkenal. Namun hidupnya menjadi sebuah novel.

Hidup itulah yang mengubah segalanya.

Terkadang, hal paling kuat yang bisa kamu lakukan hanyalah menceritakan kebenaran tentang apa yang terjadi padamu. Kamu tidak pernah tahu siapa yang sedang mendengarkan. Kamu tidak pernah tahu hati siapa yang mungkin retak sedikit — cukup untuk membiarkan cahaya masuk.

Sekarang bayangkan menjadi karyawan, guru muda, buruh idealis, dan percaya bahwa tempat kerja dan sekolah adalah rumah akal sehat karena berisi para sarjana S1 dan S2, bahkan S3.

Lalu pada hari pertama rapat, kau belajar satu hal penting: di tempat itu, ilmu tidak berkuasa — kepala yang berkuasa.

Kepala duduk di ujung meja.

Para wakil di kanan-kirinya. Formasi sempurna. Seperti rahang, taring, dan lidah. Tak ada teriakan. Tak ada pukulan seperti Ibu Josiah.

Karena kekerasan paling efektif hari ini tak perlu suara. Ia hanya berkata pelan: “Ini demi kebaikan perusahaan atau sekolah.”

Sejak kalimat itu diucapkan, segalanya sah.

Jam bekerja dan mengajar ditambah tanpa dialog. Program dibuat tanpa diskusi apalagi masukan. Kebijakan turun seperti batu, tak peduli siapa yang tertimpa. Karyawan atau guru-guru dipanggil bukan untuk didengar, tapi untuk disesuaikan.

Yang bertanya dianggap melawan.Yang lelah disebut tak loyal.Yang sakit dikira drama. Para wakil mengangguk serempak. Bukan karena setuju. Tapi karena mereka tahu: yang tidak mengangguk akan segera dipinggirkan.

Ruang menjadi ruang sunyi. Bukan karena tak ada suara, tapi karena setiap suara diawasi dan dicatat.

Kepala tak pernah berkata “kalian bodoh”. Ia terlalu cerdas untuk itu.

Ia berkata: “Bapak Ibu Saudara kurang memahami visi.”

Sejak saat itu, setiap karyawan, buruh dan guru mulai meragukan pikirannya sendiri. Ada karyawan atau guru senior yang dulu lantang, kini berbicara dengan kalimat pendek, takut salah intonasi.

Ada yang muda yang dulu bercahaya, kini menghitung hari menuju akhir tahun atau semester seperti tahanan menghitung malam.

Semua atas nama “kepemimpinan”. Padahal ini bukan kepemimpinan. Ini penjinakan.

Kepala tak memukul wajah, tapi menghancurkan martabat perlahan. Satu rapat demi satu rapat. Satu surat tugas demi satu surat tugas. Yang paling kejam? Semua dibuat tampak normal. “Di tempat lain juga begitu.”

“Ini dunia kerja.”

“Kalau tak kuat, silakan pergi.”

Begitulah kekerasan struktural bekerja: membuat korban merasa lemah, dan pelaku merasa sah. Sampai suatu hari, seorang karyawan atau guru berhenti mengangguk.

Bukan karena berani.

Tapi karena terlalu lelah untuk berpura-pura.

Ia berkata: “Kantor atau sekolah bukan pabrik kepatuhan.

Kami pekerja dan pendidik, bukan alat.”

Ruangan membeku. Para wakil menunduk. Kepala tersenyum tipis.

Sejak hari itu ia dipinggirkan.

Bukan dipecat.

Tidak.

Terlalu kasar.

Ia hanya “tak lagi dilibatkan”.

“Tak cocok dengan kultur”.

“Kurang sejalan”.

Karena di sistem seperti ini, kebenaran tidak dihancurkan — ia diisolasi.

Namun ada hal yang tak disadari kepala dan para wakil:

cerita selalu bocor.

Di ruang manapun.

Di rumah.

Di hati anak-anak kandung mereka yang melihat orang tuanya dipatahkan.

Suatu hari, bukan satu yang berhenti mengangguk, tapi banyak.

Karena kekuasaan bisa memerintah tubuh,

tapi tidak pernah benar-benar bisa

menguasai nurani.

Bullying tidak selalu berupa pukulan.

Kadang ia mengenakan jas rapi, membawa stempel, dan menyebut dirinya “pimpinan”.

Yang paling berbahaya dari semua bentuk kekerasan adalah yang dibungkus sebagai kebijakan oleh pimpinan.

#Inspirasi #KisahNyata #Trending #fypã‚·゚viralã‚·fypã‚·゚viralã‚·alã‚· #fypreelsfotoã‚·゚ #jangkauanluasã‚·゚ #fbproã‚·゚

Posting Komentar

0 Komentar