Bukan Nomor Satu, Tapi Paling Cepat Bergerak
PADANG, kiprahkita.com –Tidak ada hubungan struktural di antara mereka. Tidak pula berada dalam satu lintasan waktu. Namun ada satu benang merah yang mengikat: mereka bukan pemegang jabatan nomor satu, tetapi justru bergerak lebih cepat daripada yang nomor satu.
![]() |
Di layar televisi yang nyaris tak pernah saya matikan berhari-hari, ada dua figur yang mencuri perhatian: Jusuf Kalla dan Surya Paloh. JK, sebagai wakil presiden, turun langsung ke Aceh, memotong birokrasi, mengoordinasikan ribuan orang, dan menjadikan bencana itu sebagai Bencana Nasional. Ia bekerja dengan insting seorang pengusaha—cepat, tegas, dan berorientasi solusi.
Sementara Surya Paloh, dari ruang redaksi Metro TV, memanfaatkan kekuatan media. Informasi mengalir tanpa henti, empati publik digerakkan, dan dalam hitungan hari donasi terkumpul hingga belasan miliar rupiah. Negara dan non-negara bekerja bersamaan. Hasilnya nyata: Aceh pulih relatif cepat, membangun hidup baru setelah tragedi yang nyaris memusnahkan segalanya.
Dua figur itu bukan presiden. Tapi justru di situlah letak paradoks kekuasaan: yang bukan nomor satu sering kali lebih bebas, lebih gesit, dan lebih berani mengambil inisiatif.
Fenomena serupa kini terlihat di Sumatera Barat.
Vasco—hanya seorang wakil gubernur. Secara formal, ia bukan pengambil keputusan tertinggi. Namun saat bencana mengancam dan kemudian datang, ia bergerak cepat. Bahkan beberapa hari sebelum peringatan resmi BMKG tentang potensi risiko akibat siklon tropis Sinyar, ia sudah berada di lapangan.
Bedanya dengan era Aceh 2004: Vasco tak bergantung pada media nasional. Ia punya media sendiri—media sosial. Update real-time, konten yang konsisten, dan kehadiran visual yang terus muncul di linimasa publik.
Faktanya, Buya ada di Padang. Turun ke titik-titik bencana. Bekerja. Hanya saja, kerja tanpa sorotan kamera sering kalah oleh kerja yang terdokumentasi dengan baik. Di era algoritma, yang terlihat sering dianggap yang bekerja.
Vasco berada dalam posisi yang secara politik lebih menguntungkan. Satu payung dengan partai penguasa nasional. Jalur komunikasinya ke pusat lebih leluasa. Ketika ia berbicara, aksesnya ke presiden dan kementerian terbuka lebar. Ini bukan soal kecerdikan personal semata, tapi privilese struktural yang nyata.
Namun justru di sinilah kepentingan rakyat Sumbar diuntungkan.
PDAM Padang yang lumpuh—yang sejatinya berada di bawah tanggung jawab wali kota—ikut ditangani Vasco. Ia “manjuluak” ke pusat, meminta bantuan dana, dan itu lebih mudah dilakukan ketika seseorang punya akses politik langsung. Syaratnya satu: ia harus tahu persis kondisi lapangan. Apa yang rusak, apa yang harus diperbaiki, dan apa yang harus diantisipasi. Dan sejauh ini, ia memenuhi syarat itu.
Tak heran jika pujian mulai berdatangan. Dedikasi selama bencana membuat namanya menguat di ruang publik.
Namun penting ditegaskan: ini bukan kompetisi antara gubernur dan wakil gubernur. Buya bekerja, Vasco bekerja. Hanya saja, kerja mereka dipersepsikan berbeda. Yang satu lebih senyap, yang lain lebih terdengar. Dalam politik modern, persepsi sering kali lebih berisik daripada fakta.
Sejarah sudah memberi pelajaran: dalam situasi krisis, hierarki sering kalah oleh inisiatif. Yang bukan nomor satu justru bisa menjadi motor utama. Bukan karena ambisi, tapi karena ruang geraknya lebih longgar.
Selama itu bermuara pada pemulihan Sumatera Barat, biarlah publik menilai dengan jernih—siapa bekerja, siapa terlihat, dan siapa yang benar-benar berdampak. (EL/BS)*

0 Komentar