Menjaga Kehormatan Sesama Muslim dan Larangan Mencari-cari Kesalahan

Menjaga Kehormatan Sesama Muslim dan Larangan Mencari-cari Kesalahan

SUMBAR, kiprahkita.com Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan antarindividu dan institusi tidak bisa lepas dari interaksi sosial, komunikasi, dan perbedaan. Islam, sebagai agama yang mengajarkan kesempurnaan akhlak, akhlakulkarimah, memberikan panduan untuk menjaga keharmonisan hubungan tersebut.

Salah satu nilai akhlak penting yang sangat ditekankan adalah larangan kita untuk mencari-cari kesalahan (tajassus) sesama Muslim. Larangan ini ditegaskan secara jelas dalam Surah Al-Hujurāt ayat 12, yang memerintahkan orang beriman untuk menjauhi prasangka buruk, tidak mengintai aib orang lain, dan tidak menggunjing mereka.

Masalah itu Seperti Air Mengalir ke Hilir Tak Bisa Kembali ke Hulu

Larangan tajassus bukan hanya aturan moral, tetapi juga upaya menjaga kehormatan, martabat, dan persatuan umat, seperti atasan dan bawahan. Ketika seseorang sibuk mencari kekurangan orang lain, ia akan mudah terjebak dalam sifat sombong dan merasa dirinya lebih baik atau mulia dari orang lain. Padahal, setiap manusia memiliki kesalahan dan kelemahan, dan seorang Muslim seharusnya menjadi penutup aib saudaranya, bukan pengungkapnya. Perbuatan mencari-cari kesalahan sering berakhir pada ghibah, fitnah, permusuhan, dan retaknya hubungan persaudaraan.

Islam menginginkan setiap Muslim untuk menjadi penebar kebaikan, bukan pemburu kekurangan. Karena itu, Al-Qur’an menggambarkan tindakan menggunjing saudara seperti memakan daging saudaranya yang telah mati—sebuah kiasan yang kuat untuk menunjukkan betapa menjijikkannya perilaku tersebut. Larangan ini tidak hanya menjaga kehormatan orang lain, tetapi juga menjaga kebersihan hati kita sendiri. Hati yang sibuk dengan mencari aib orang lain akan gelap, sementara hati yang fokus memperbaiki diri akan dipenuhi cahaya.

Dalam kehidupan sehari-hari, esensi larangan ini tampak sangat relevan. Di era media sosial, mencari kesalahan orang lain begitu mudah dan sering kali dilakukan tanpa sadar. Namun, seorang Muslim sejati akan berhenti sebelum menilai, memilih untuk tabayyun sebelum menuduh, dan menutup aib sebelum menyebarkannya. Ia menyadari bahwa setiap manusia adalah ladang ujian, dan tugasnya bukan menambah beban saudara, tetapi mendoakan dan menolongnya untuk menjadi lebih baik.

Akhirnya, larangan mencari-cari kesalahan bukan sekadar aturan sosial, melainkan bagian dari ibadah dan ketakwaan kepada Allah. Dengan menjaga lisan dan hati dari sifat tajassus, kita sedang menjaga persaudaraan, ketenangan jiwa, dan kehormatan umat. Maka, marilah menjadi pribadi yang lebih sibuk memperbaiki diri daripada menilai orang lain, lebih suka menutupi aib daripada menyebarkannya, dan lebih memilih kasih sayang daripada prasangka. Karena Islam adalah agama yang berdiri di atas akhlak mulia—dan mulia itu dimulai dari bagaimana kita memperlakukan sesama.

Ketika suatu masalah atau urusan kita telah diselesaikan, maka berhentilah mencari-cari kesalahan orang lain, karena terus menggali aib hanya akan membuka kembali luka yang seharusnya sudah tertutup. Serahkan sisa urusannya kepada Allah, sebab Dia-lah sebaik-baik Hakim yang mengetahui apa yang tampak dan yang tersembunyi.

Dalam pandangan Allah, memaafkan jauh lebih utama daripada memelihara rasa sakit atau mengungkit dan mencari-cari kesalahan yang telah berlalu apalagi belum pasti. Dengan memaafkan, hati menjadi lapang, hubungan kembali jernih, dan hidup terasa lebih ringan, karena Allah mencintai hamba yang memberi maaf sebagaimana Ia Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang. (Yusriana, S.Pd)*


Posting Komentar

0 Komentar