Car Free Day dan Nasib Pedagang: Ketika Niat Baik juga Butuh Kepekaan Sosial Kita
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Setiap Minggu pagi kata teman pedagang, jalanan utama di perempatan Pasar Padang Panjang disulap menjadi ruang Car Free Day (CFD)—berupa ajang senam, hiburan, dan pelepasan penat warga kota. Di permukaan, kegiatan ini tampak menyenangkan dan penuh semangat. Tapi di balik gemerlap panggung dan sorakan peserta, ada suara lirih dari para pedagang kecil yang perlahan kehilangan mata pencahariannya.
![]() |
CFD Jakarta Digelar di Jalan Protokoler |
Minggu pagi, bagi sebagian besar pedagang pasar, adalah waktu emas. Inilah saat pembeli datang dari berbagai penjuru kota dan luar daerah. Tapi kini, akses menuju pasar ditutup sejak subuh hingga pukul 10 pagi demi pelaksanaan CFD.
Alhasil, keramaian pasar meredup, transaksi menurun drastis, dan penghasilan para pedagang ikut tercekik. Bukan karena persaingan atau cuaca buruk—melainkan karena kebijakan yang, meski niatnya baik, tidak sensitif terhadap kondisi nyata di lapangan.
Lebih ironis lagi, kegiatan CFD ini bukanlah agenda tanpa biaya. Pemerintah kota tetap menganggarkan dana untuk petugas pengamanan, pengeras suara, listrik, hingga instruktur senam. Di tengah seruan nasional soal efisiensi dan penghematan anggaran. Pertanyaan pun muncul: apakah anggaran sebesar itu layak dikucurkan secara rutin untuk kegiatan mingguan yang justru mengganggu urat nadi ekonomi lokal?
Keprihatinan warga makin dalam ketika melihat konten hiburan CFD yang dianggap tidak sesuai dengan identitas kota Padang Panjang sebagai “Serambi Mekah.” Penampilan senam dengan pakaian ketat di atas panggung terbuka memicu keresahan, terutama di tengah masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai religius dan budaya malu.
Warga, melalui suara para pedagang seperti Bapak H. Balok dan Bapak Edi, tidak menolak CFD secara mutlak. Yang mereka suarakan adalah kebutuhan akan penyesuaian lokasi dan frekuensi. Bukankah lebih bijak jika CFD digelar di Lapangan Bancah Laweh atau di Jalan Sudirman depan Secata? Bukankah lebih efisien jika diadakan dua minggu sekali atau tematik, dengan melibatkan sponsor, komunitas, atau CSR untuk pembiayaan?
CFD seharusnya menjadi ruang sehat dan ruang sosial yang menyatukan warga, bukan memecah dan meminggirkan mereka yang lemah. Kegiatan publik yang baik tidak boleh menimbulkan efek samping yang membebani pihak lain—apalagi kelompok rentan seperti pedagang kecil yang hidup dari omzet harian.
Pemerintah tentu punya niat baik, tapi niat baik tanpa kepekaan bisa berubah menjadi kebijakan yang keliru. Semangat hidup sehat dan ramah lingkungan bisa terus dijaga, asal dijalankan dengan akal sehat dan hati nurani. Karena kota yang sehat bukan hanya kota yang bebas polusi, tetapi juga kota yang bebas dari kebijakan yang menyesakkan hidup warganya.
Sejarah Car Free Day (CFD)
CFD atau Car Free Day awalnya muncul sebagai gerakan global untuk mengurangi ketergantungan terhadap kendaraan bermotor dan polusi udara. Gagasan ini lahir di Belanda pada tahun 1970-an, lalu menyebar ke berbagai negara Eropa, terutama saat terjadi krisis energi.
CFD secara global mulai diresmikan pada 22 September, yang dikenal sebagai World Car Free Day. Di Indonesia, CFD pertama kali diterapkan di Jakarta pada tahun 2002, kemudian menyebar ke banyak kota lainnya seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Padang Panjang.
Tujuan Car Free Day
1. Mengurangi Polusi Udara dan Emisi Karbon.
CFD awalnya bertujuan mengurangi asap kendaraan bermotor yang menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi udara di kota-kota besar.
2. Mendorong Gaya Hidup Sehat dengan menutup jalan untuk kendaraan, warga diberi ruang untuk berjalan kaki, bersepeda, senam, dan berolahraga bersama di udara terbuka.
3. Meningkatkan Kesadaran Lingkungan
CFD adalah sarana edukasi publik bahwa ada cara hidup lebih bersih dan berkelanjutan, serta mendorong masyarakat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi.
4. Menjadi Ruang Sosial dan Budaya
Banyak CFD juga dijadikan tempat komunitas berkumpul, mengadakan pertunjukan, promosi UMKM, atau sekadar ajang rekreasi keluarga.
5. Menguji Kebijakan Transportasi Alternatif
CFD juga sering jadi uji coba sistem lalu lintas bebas kendaraan atau jalan ramah pejalan kaki yang kelak bisa diterapkan permanen di area tertentu.
Pelaksanaan Car Free Day (CFD) di kawasan Pasar Padang Panjang menuai kritik karena dinilai tidak sejalan dengan tujuan awal CFD yang sejatinya bertujuan mengurangi polusi udara, mendorong gaya hidup sehat, dan menyediakan ruang publik yang ramah lingkungan.
Alih-alih membawa manfaat, CFD di titik vital ekonomi seperti pasar justru mematikan aktivitas jual beli, merugikan pedagang kecil, dan menyulitkan akses masyarakat yang hendak berbelanja. Ironi makin terasa karena kegiatan ini tetap menelan biaya besar di tengah himbauan efisiensi anggaran nasional, serta menuai kecanggungan budaya akibat konten hiburan yang dinilai tak sesuai dengan identitas religius kota.
CFD bukanlah kegiatan yang keliru, tetapi implementasinya di Padang Panjang memerlukan peninjauan ulang agar selaras dengan kebutuhan lokal dan tidak mengorbankan nafkah masyarakat kecil. Lokasi yang lebih tepat, frekuensi yang disesuaikan, dan format yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai masyarakat menjadi solusi yang layak dipertimbangkan agar CFD tetap membawa manfaat.
Banyak kota CFD justru bikin pasar makin ramai. Tapi kenapa berbeda di Padang Panjang? Yuk kita bahas biar clear:
CFD Bisa Bikin Pasar Ramai Kalau…
Lokasi CFD dekat pasar tradisional, tapi tidak menutup aksesnya.
Orang bisa olahraga dan langsung belanja sarapan atau keperluan rumah.
Pedagang boleh ikut buka lapak di area CFD, jadi ikut panen rezeki.
CFD-nya dirancang terpadu dengan aktivitas ekonomi warga.
Tapi di Padang Panjang, yang terjadi justru sebaliknya:
Akses ke pasar ditutup sejak subuh sampai pukul 10 pagi karena CFD → pembeli gagal masuk, pedagang gagal jualan.
Warga yang biasa belanja pagi malah enggan datang karena harus memutar jalan.
CFD ini berada di titik padat ekonomi (perempatan pasar), bukan lapangan terbuka.
CFD diisi kegiatan hiburan yang tidak nyambung dengan suasana pasar (misal: senam musik keras, panggung, dll).
Pedagang tidak dilibatkan dalam desain CFD → tidak ada lapak kuliner pagi dari mereka di CFD, jadi malah seperti “dua dunia terpisah”.
Jadi kesimpulannya:
CFD bisa banget bikin pasar rame, asal dikelola dengan benar dan kolaboratif. Tapi di kasus Padang Panjang, CFD malah menghalangi alur ekonomi, bukan mengalirkannya. Artinya, masalah bukan di CFD-nya, tapi di cara dan tempat pelaksanaannya. Ini semua masih laporan satu pihak. Kita tunggu laporan pihak lain.(Yus MM/*)
0 Komentar