Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd
Wakil Ketua Komisi Perindungan Anak Indonesia (KPAI)
DUNIA pendidikan saat ini, menghadapi tantangan yang justru hadir di luar kewajibannya. Kewajiban memberikan pengetahuan dalam tembok kelas itu, kini sudah tidak seberat dulu, karena begitu mudahnya anak mencari cara penyelesaian tugas belajar melalui genggaman teknologi informasi.
Anak-anak dididik bukan lagi berhadapan bagaimana ilmu itu di didapat, tetapi bagaimana kecepatan mencari informasi, dan bagaimana menggunakan media dan teknologi untuk mendapatkannya. Mereka bersaing kompetitif di sana.
Tetapi di sisi lain, lembaga pendidikan kita mengalami kepusingan, bagaimana menahan laju informasi yang didapat anak, bagaimana menghadapi pertanyaan kritis anak yang dianggap tidak pada umurnya, tidak pada usianya, tidak pada pemahaman anak seumurnya, bagaimana menyaring informmasi tersebut untuk anak agar layak, sesuai kebutuhan anak di usia, pemahaman, dan perkembangan anak.
Di sinilah keresahan dunia pendidikan hari ini yang tidak mudah dijawab para guru. Apalagi milyaran informasi yang mudah masuk itu dalam waktu sepersekian detik tidak diimbangi dengan anak anak memahami bagaimana bisnis proses informasi itu berasal.
Meski ada senjata menangkal itu semua dengan senjata ampuh yang di namakan literasi. Namun kenyataannya literasi kalah cepat dengan pertumbuhan pemahaman anak melalui jari jempolnya, dengan sedemikian cepat scroll, di tiktok, youtube short, reel facebook, reel isntagram dan lain lain dengan sangat mudahnya beralih dari informasi satu ke informasi lainnya. Belum selesai kita menjelaskan bagaimana literasi dalam satu informasi, sudah bertumpuk oleh informasi lainnya yang didapat anak.
Bahkan kalau melihat tren sekarang, ketika anak lebih bertumbuh dengan media sosial, kita menyaksikan beragam aplikasi mendominasi dalam intervensi tumbuh kembang anak. Yang kalau bila kita lihat di dalamnya, mereka memiliki artificial intelligence yang dapat membuat spesifikasi yang rigid, segmented, terarah dari apa yang di suka anak.
Melalui dunia itulah anak-anak dimasuki dan diarahkan, ada yang positif dan ada yang negatif. Semuanya punya pengelola marketing dengan segala cara mendekati anak. Anak tidak perlu mencari-cari, mereka langsung bisa menembus informasi pribadi mereka, akun pribadi mereka, bahkan sangat personal bisa dilakukan, karena anak menginstal aplikasi yang bisa japri, yang hanya bisa diketahui antara anak dengan orang yang menyasar mereka, sehingga sulit ditembus dan tahu apa yang terjadi.
Mereka akan bisa menembus langsung mendekati, tanpa anak perlu mencari. Itulah yang akan menjadi batu hantaman dunia pendidikan saat ini, bagaimana anak mendapatkan informasi yang layak, sesuai usia dan tumbuh kembang pemahamannya, dan jauh dari perlakuan salah.
Dari apa yang dilihat anak hari ini, menjadi penentu cara mereka belajar, cara mereka berinteraksi dengan warga belajar, cara guru mengajar. Karena waktu mereka lebih banyak habis di sana, dibanding di depan kelas, memperhatikan guru, membaca buku, dan memenuhi tugas sekolah.
Umumnya orang tua mengalami, pilihan mengajak anak konsen dengan sekolahnya dan mengerjakan tugas-tugas sekolah adalah pilihan terakhir anak. Sehingga orang tua mengakali berbagai cara, agar mereka mau benar-benar mengerjakannya.
Ketika pendidikan di ruang kelas, bila dibandingkan dengan determinasi media informasi yang mereka genggam, maka cara pengajaran pendidikan yang masih klasik, akan menjadi pilihan yang paling terakhir.
Pendidikan kita akan terus tertinggal dengan industri aplikasi medsos, yang di dalamnya bekerja juga secara bersamaan industri lainnya dengan penghasilan yang sangat menjanjikan dan fantastis. Anak-anak menyampaikan begitu mudahnya dapat uang dan terkenal di alam jagad maya itu.
Sehingga anak tanpa sadar tumbuh dalam dominasi, penguasaan, trendsetter, atas nama viral. Mereka sangat sulit melihat dirinya sebagai sumber, kehilangan indepedensi dan daya kritis. Lebih banyak mengarah kepada krisis.
Jiwanya yang butuh pupuk ketenangan dalam memahami sesuatu, kehilangan, dan menjadi pribadi yang sangat agresif, tidak memahami bisnis proses, sehingga selalu reaktif. Jiwanya tidak tumbuh, yang tumbuh adalah reaksinya dalam berekspresi emosi yang didominasi ketakutan, kepanikan, dan tanpa alasan. Sehingga menimbulkan kerugian pada perkembangan jiwanya yang didalamnya ada upaya sadar memahami sekitar.
Generasi yang tidak bisa terpenuhi dengan baik ini, sudah dibantu oleh gerbang industri candu yang seolah-olah menawarkan itu semua secara instan dan cepat. Yang kemudian menjadi problematika eksistensi anak 24 jam. Ini yang terjadi di akun media sosial mereka.
Mesin ini bekerja 24 jam, tidak mengenal lelah, seperti belajar di kelas. Karena industri ini bergerak atas penghasilan produktif bagi yang berhasil memanfaatkannya, namun sayangnya banyak memberi dampak merugikan, sehingga menjadi problem eksistensi anak.
Menurut microsoft, pengguna internet kita tertinggi di Asia Tenggara, misalnya dalam menggunakan bahasa tanpa mempertimbangkan cara penyampaian. Dan kita tahu anak-anak kita sudah berada di sini semua.
Bicara pendidikan, kita bicara guru. Bagaimana guru berinteraksi selama 8 jam dengan muridnya, apakah ini dipenuhi dengan baik di sekolah? Bagaimana pendidik memposisikan diri dalam situasi yang menjadi tantangan pendidikan saat ini.
Apakah akan menjadi guru yang hanya bisnis as usual melepas kewajiban, apakah akan menjadi guru yang mampu menjawab problem eksistensi peserta didik mereka. Apakah mereka menjadi fasilitator atau menbatasi diri dalam menghadapi peserta didiknya?
Apakah memilih membangun partisipasi atau menutupnya dengan mengerbangi dengan kewajiban kewajiban untuk anak, dominasi 'yang dianggap guru paling benar'. Sejauh apa ruang terbuka pendidik dalam menjawab dominasi anak yang lebih menghabiskan waktu di dunia sosial media.
Jangan sampai para pendidik yang mengalami melimpahnya informasi, justru malah menjauhi, yang artinya pendidik sama sekali tidak mau tahu dan mengambil peran intervensi, memberi pengaruh positif, mentransferkan nilai dari apa yang mereka lihat di genggamannya, apakah guru justru malah menghindari, panik, kelimpungan dalam menghadapi peserta didiknya sendiri.
Mereka justru tidak terpanggil untuk menjadi fasilitator, dalam mengarahkan generasi pendidikan menemukan informasi yang mendukung tumbuh kembangnya, dihantarkan sesuai usia, tumbuh, kembang dan pemahamannya.
Jangan sampai justru guru atau educator merasa dialah sumber ilmu, yang di luar itu tidak. Sehingga menjadi permasalahan klasik dan akut sejak dulu, yaitu kebenaran hanya satu arah, datang dari sosok pendidik. Maka tentu sangat memprihatinkan, kritis tapi krisis.
Ketika mereka bertahan dalam paradigma lama bahwa sumber ilmu adalah aku (guru) bukan diluar sana. Kenapa itu bisa terjadi, karena anak merasa mudah dikuasai, ketidaktahuannya mudah di cuci dengan membelokkan pemahaman, dan emosinya lebih mudah terisi was-was, kekhawatiran, ketakutan, kepanikan dan ancaman sehingga mudah di manfaatkan orang dewasa atas ketidaktahuannya.
Di depan gurunya, orang tua dan tekanan lingkungan, para peserta didik tidak pernah membumi. Mereka menjadi orang terdidik tapi asing di lingkungannya. Karena related antara apa yang disampaikan di sekolah dan kenyataan di lingkungannya jauh berbeda. Sehingga seperti yang kita lihat sekarang, anak anak dalam tugas tugas pendidikan, menjadi generasi copy paste.
Dan akan lebih buruk lagi situasinya, ketika gurunya terjebak dalam zona nyaman menerima itu, dalam memenuhi target mendidiknya. Dengan guru menjalankan kewajibannya yang diukur dengan nilai baku, konservatisme pendidikan itu sendiri. Terseok-seok menghadapi kemajuan cara berfikir cepat anak didiknya, yang dianggap anak anak kami tak serumit para pendidik.
Dunia pendidikan kita perlu menantang diri menjawab itu semua. Jangan sampai anak didik kita dikesankan terlalu terbebani dengan penambahan tugas-tugas. yang sebenarnya mudah dijawab karena tinggal copy paste di alam jagad maya.
Tetapi bagaimana banjirnya informasi, menuntut transfer nilai (value) yang harusnya lebih banyak dilakukan para guru. Karena menurut saya persoalan pendidikan hari ini bukan bagaimana memperoleh pengetahuan, karena sarananya sudah tersedia di teknologi informasi yang mudah didapat.
Problem kita dalam pendidikan saat ini adalah transfer nilai yang tepat dalam menjawab kebutuhan jiwa dan pembentukan katakter yang memiliki nilai nilai peradaban.
Yang sekarang saya melihat menjadi persoalan dan kebutuhan utama keberhasilan pendidikan, karena di dalamnya akan mengatasi krisis jiwa. Anak mudah kritis dengan banjirnya informasi tetapi tidak punya cara menyampaikan secara baik, dalam arti menjadi krisis bukan kritis.
Sehingga justru dominasi guru dalam rutinitas dan determinasi bisnis lembaga pendidikan justru melahirkan generasi generasi yang mengalami problematik secara kejiwaan. Ia pintar tapi tidak berintegritas, ia cerdas tapi minim etika, ia pandai menggunakan teknologi informasi tetapi sebenarnya mengancam diri anak sendiri dalam mengggunakannya.
Saya bertemu dan mewawancarai anak-anak yang berada dalam pusaran konflik perebutan kuasa asuh, kasus perceraian, kasus keluarga besar. Mereka menjadi anak-anak yang mengekspresikan emosinya lebih kepada kepanikan, ketakuan, dan tak beralasan. Yang berujung lemahnya kecerdasan emosi yang melahirkan penyaluran emosi yang berdampak lebih buruk.
Tetapi kalau bicara pengetahuan, mereka luar biasa cepat, cepat mencari, cepat menjawab, semua tersedia. Tapi ketika bicara pendidikan jiwa, mereka sangat jauh tertinggal. Padahal itu yang akan menyelamatkan dan memajukan peserta didik kita dalam meraih ilmu yang sangat cepat bisa ia dapat.
Jangan sampai pengajar atau pendidik kita saat ini, terlalu disibukkan dengan penambahan tugas, karena target target pribadi, arogansi intelektual, kepentingan politis, dan dominasi kebenaran sosok pendidik. Sehingga guru dan anak didik kurang terjalin emosional, kedekatan, kemampuan interpersonal.
Padahal ini kunci jembatan keberhasilan pendidikan saat ini, menurut saya. Adalah pendidikan yang di mulai dari mengenalkan jiwa, anak mengenali jiwa dan kecenderungannya, menjadi dialog jiwa dan kedekatan jiwa yang sesadar sadarnya menghadapi pemahaman anak, bukan formalitas, bukan leveling, bukan urusan birokratis, bisnis as usual.
Mari kenali jiwa peserta didik, bagaimana ia terampil merespon situasi diluar sana, di lingkungannya, dikeluarganya, di teman temannya, itulah hal yang lebih penting dijalini pendidikan saat ini melalui guru, dalam menghantarkan tumbuh kembang anak di abad artificial intelligence yang akan di kuasai industri tertentu.
Pilihannya hanya 2, anak kita jadi korban atau menjadi pelaku. Atau kita bangkit bersama-sama di Hari Kebangkitan Nasional, Hari Pendidikan Nasional ini, untuk melawan bersama-sama, dengan menyiapkan jiwa dan mental anak anak kita.
Anak-anak yang mampu berdialog dengan jiwanya, mengallihkan emosinya, menjadi kecerdasan emosi dalam menjawab kebutuhan generasi terdidik. Sebagaimana bait lagu Indonesia Raya "bangunlah jiwanya, bangunlah ranganya untuk Indonesia Raya".***
0 Komentar