Sekolah Gratis” : Antara Nyata dan Tiada Membuat Harapan Orang Tua dan Realitas Pendidikan di Indonesia Menimbulkan Tanya
PADANG PANJANG, kiprahkita.com –Isu penahanan ijazah siswa di SD Muhammadiyah Padang Panjang yang mencuat dan menjadi berita populer di Kiprah Kita Nuansa Baru bukan hanya soal administrasi atau tanggung jawab finansial. Ini adalah potret buram dari disinformasi sistemik tentang kebijakan "sekolah gratis" yang disuarakan oleh pemerintah, kandidat pemerintah sebelum terpilih, namun tak sepenuhnya tercermin dalam praktik pendidikan di lapangan. Realitas pendidikan ini sering menimbulkan polemik anatara sekolah, orang tua, dan masyarakat.
![]() |
Rawatlah Senyum Mereka dengan Menjaga Harga Diri Mereka Ayah Bunda (Foto by Istock) |
Sekolah hendak meningkatkan kualitas siswanya di bidang agama sebagai pembeda dengan sekolah lain, misalnya Tahfidz, Taman Pendidikan Al Quran, Muhadarah, Seni Tari, Ektrakurikuler, bahkan Olimpiade. Semua unggulan itu perlu latihan setiap hari, perlu listrik, air, dan guru pembina. Adapun program unggulan sekolah itu tak ada biaya dari dana bantuan operasional sekolah atau BOS. Semua kegiatan itu kebijakan sekolah dan disepakati dengan orang tua siswa akan pendanaannya sehingga sekolah swasta butuh dan negeri sekalipun butuh dana tambahan.
Nah, ketika disepakati, biasanya orang tua yang kurang puas dengan kemajuan hasil belajar anaknya akan merasa ogah-ogahan untuk membantu melunasi dana ini. Apalagi jika anak tak ikut kegiatan program unggulan tersebut. Padahal kegiatan di sekolah bisa jalan bila orang tua dan guru melaksanakan kewajiban sesuai pepatah "Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."
Dana besar untuk program sekolah akan ringan bila semua orang tua berkolaborasi untuk melunasi. Pendidikan emosional inilah yang masih kurang pada beberapa orang tua siswa dalam realitas pendidikan di Indonesia. Berpikir sebelum berbuat belum membudaya. Orang tua harus ligat berpikir sebelum memasukkan anak ke satu sekolah hebat yang kaya program unggulan seperti sekolah-sekolah dasar swasta di Kota Padang Panjang. Salah satunya SD Muhammadiyah.
Sekolah-sekolah itu tetap bisa menjadi pilihan karena ada Progul (Program Unggulan) Tahfidz, Taman Pendidikan Al Quran, Muhadarah, Seni Tari, Ektrakurikuler, bahkan Olimpiade. Inilah produk yang mereka jual karena kebutuhan beberapa orang tua saat ini, anak tetap mendapat progul di atas tanpa repot mengantar anak pergi TPA ke masjid setelah pulang sekolah. Berapa biaya orang tua pulang pergi mengantar anak ke sekolah dan TPA ditambah lagi orang tua terikat di kantor atau di pasar. Jujur inilah alasan kita memilih menyekolahkan anak kita di swasta. Tak mau repot antar jemput. Hemat tenaga dan ongkos. Tapi bukan berarti gratis.
Kata trainer, "Berpura-puralah menjadi orang gila sebanyak 21x, maka ke 22x-nya kita akan gila." Berpura-puralah jadi orang kaya sebanyak 21x, maka kita akan bermindset orang kaya ke 22x-nya. Mudah berzakat, berinfaq, berwakaf, dan melunasi semua kewajiban kita. In sya Allah dimudahkan Allah sesuai Rahman dan RahimNya.
Pemerintah memang sering menyampaikan bahwa pendidikan dasar di Indonesia "gratis", sebagai bagian dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan program wajib belajar 12 tahun. Namun yang sering luput dari penjelasan adalah: Apa saja sebenarnya yang dimaksud dengan “gratis”? Apakah benar seluruh kebutuhan operasional pendidikan ditanggung negara? Apakah sekolah-sekolah swasta seperti SD Muhammadiyah Padang Panjang juga menerima dana cukup untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan di sana?
Kenyataannya, sekolah swasta tidak mendapatkan porsi pendanaan sebesar sekolah negeri. Sebagian memang menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tetapi dana BOS tersebut sangat terbatas apalagi jika jumlah siswa sedikit seperti sekolah swasta. Sama seperti kita berjualan di pasar, semakin banyak jenis dagangan kita, jumlah penjualan dan keuntungan semakin besar. Jika kita hanya mengandalkan satu jenis barang saja untuk dijual, maka penjual tentu terbatas, otomatis untungpun sedikit.
Jumlah siswa yang sedikit maka dana BOS yang diterima pun sedikit. Dana sangat terbatasdan tidak mencakupi untuk kebutuhan penuh operasional sekolah seperti gaji guru honorer, biaya pemeliharaan, Progul Sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan pengembangan mutu pendidikan. Sering kali, pihak sekolah—dalam hal ini termasuk lembaga di bawah organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah—harus menutup kekurangan dana melalui iuran siswa.
Namun, akibat narasi “sekolah gratis” yang digaungkan terus-menerus, banyak orang tua menganggap bahwa kewajiban finansial terhadap sekolah bukan lagi urusan mereka. Mereka merasa cukup dengan mendaftarkan anak ke sekolah dan menganggap semua sudah menjadi tanggung jawab negara. Ketika kemudian muncul tagihan administrasi atau tunggakan, tidak sedikit yang bersikap pasif—bahkan ketika solusi angsuran ditawarkan pun tak direspons.
Dalam konteks SD Muhammadiyah Padang Panjang, belum adanya inisiatif orang tua untuk mengangsur kewajiban memperkuat kesan bahwa kebijakan "sekolah gratis" justru menjadi bumerang. Sekolah dalam posisi serba salah: jika menahan ijazah, dianggap melanggar hak siswa; jika membiarkan semua berjalan tanpa penyelesaian keuangan, institusi pendidikan bisa kolaps karena tidak ada biaya operasional. Nama baik seorang kepala sekolah selalu menjadi taruhannya. Istilahnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Pemerintah menyalahkan kepala dan pihak sekolah yang membawahi Pendidikan Dasar dan Menengah pun menyalahkan kepala. Ibarat Bika di atas api dan di bawah api.
Pemerintah memang telah mengucurkan dana bantuan pendidikan, tetapi pertanyaannya: apakah cukup? Lebih penting lagi, apakah komunikasi kebijakan itu tepat sasaran? Di sinilah letak persoalannya. Masyarakat tidak diberi pemahaman bahwa bantuan dari pemerintah hanya mencakup sebagian, dan dalam banyak kasus, itu pun lebih diprioritaskan untuk sekolah negeri.
Maka, perlu ada koreksi atas narasi “sekolah gratis”. Pendidikan yang terjangkau, ya; tetapi gratis sepenuhnya—apalagi di sekolah swasta? Itu mitos. Jika negara sungguh ingin memastikan tidak ada ijazah ditahan karena alasan ekonomi, maka bukan hanya sekolah yang harus ditegur—tetapi juga sistem pendanaan yang harus direformasi dan pola pikir masyarakat yang perlu diedukasi. Kemudian amal usaha harus sejak dini melakukan pengawasan kelancaran dana ini.
Bila ada indikasi kelalaian orang tua, pihak amal usaha dan sekolah harus mendatangi orang tua guna meninjau dan bersilaturahmi. Lihat kondisi siswa kita di lapangan. Meski mereka pedagang, bukan berarti mereka sedang aman-aman saja. Sebab dampak Covid-19 hingga kini masih memengaruhi ekonomi masyarakat. Semua orang melakukan penghematan anggaran. Biasa makan ayam dan daging sapi tiap hari tapi sekarang diminimalisir satu kali saja dalam satu bulan. Kadang kita kurang arif dengan kondisi orang tua siswa kita.
Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi institusi yang juga harus adil dan butuh keadilan. Kerjasama guru dan orang tua bukan sebatas melunasi kewajiaban dan mengajar. Guru juga perlu tahu kondisi ekonomi siswanya secara berkala. Keadilan tak akan terwujud selama beban finansial dibiarkan timpang, dan sekolah dipaksa “menggratiskan” apa yang sebenarnya tidak ditanggung negara tetapi sekolah juga harus pro aktif mencari kabar siswanya apalagi SD, SMP, dan SMA.
Universitas Indonesia saja tetap menugaskan satu mahasiswanya per tingkat untuk menjaga nama baik almamater. Mahasiswa ini akan mencari info mengapa temannya tidak hadir di kampus. Target UI, semua mahasiswanya per tahun sama wisuda 3,5 tahun untuk Cum Laude dan maksimal 4 tahun untuk reguler.
Kewajiban Yayasan atau amal usaha untuk menyelesaikan masalah keuangan sekolah bersama guru dan orang tua. Lakukan pencegahan penunggakan sedini mungkin. Jangan biarkan menumpuk hingga 2-6 tahun. Bila terjadi penunggakan orang tua bisa mencari donatur atau memanfaatkan dana BAZ. Tentu disertai Surat Keterangan Kurang Mampu. Kemudian Masjid tempat tinggal warga juga bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak kita. Alangkah akan lebih makmurnya masjid bila peduli pada pendidikan anak di sekitarnya. Kas masjid bisa juga kita sisihkan untuk membantu anak-anak yang sedang bermasalah di sekolah mereka. Inisiatif ini pun akan menimbulkan kesadaran kepada warga untuk datang ke masjid dan rajin berinfaq.
![]() |
Jagalah Semangatnya dengan Berpura Menjadi Orang Kaya untuk Sekolahnya Ayah Bunda |
Besaran Dana BOS Reguler per Siswa (2025)
Menurut PAWAS BOS – FAQ 2025, pemerintah memberi dana BOS Reguler standar:
SD: Rp 900.000/siswa/tahun SMP: Rp 1.100.000 SMA: Rp 1.500.000 SMK: Rp 1.600.000
SLB: Rp 2.000.000
reddit.com. pawasbos.blogspot.com, radarbanyuwangi.jawapos.com rakyatbengkulu.disway.id
Khusus untuk SD, berita dari Jombang menyebut Rp 950.000/siswa, dan dari Bengkulu serta Banyuwangi menyebut Rp 900.000/siswa – menunjukkan minimal Rp 900 ribu/siswa/tahun
Berita nasional dari KalderaNews memberikan angka sedikit berbeda berdasarkan indeks daerah:
SD: Rp 940.000 SMP: Rp 1.160.000 SMA: Rp 1.590.000 SMK: Rp 1.690.000 SLB: Rp 3.690.000
pawasbos.blogspot.com, kalderanews.com, puslapdik.dikdasmen.go.id
Kesimpulan: Sekolah swasta berhak menerima BOS Regulernya seperti sekolah negeri, dan nominalnya sekitar Rp 900 rb–Rp 1,6 juta per siswa/tahun, tergantung jenjang dan indeks daerah.
BOS Swasta: Apa yang Ditanggung?
Menurut Permendikbudristek 2025 (via Kaldera & Kemendikbud) — dana BOS digunakan untuk:
Buku minimal 10%, Pemeliharaan sarpras maksimal 20%, Honor guru honorer (maks 40% di swasta)
Cetak ijazah, kegiatan pembelajaran, dll (puslapdik.dikdasmen.go.id) pawasbos.blogspot.com, tekno.tempo.co
Peraturan terbaru membatasi penggunaan dana untuk gaji honorer maksimum 40 % dari anggaran BOS di sekolah swasta dan muridpun hanya 1 kelas menyebabkan dana BOS tak memadai.
Kenapa tetap ada iuran di Swasta?
Nominal BOS tidak mencakup biaya penuh operasional sekolah–terutama gaji guru, honor tambahan, kegiatan, pembangunan fasilitas, dsb.
Sekolah swasta menggunakan BOS sebagai subsidi, bukan pengganti biaya. Karenanya, mereka masih perlu iuran dari orang tua untuk menutupi kekurangannya.
Ringkasan
Jenjang Dana BOS/swasta per siswa/tahun
SD ~Rp 900.000 SMP ~Rp 1.100.000 SMA ~Rp 1.500.000
SMK ~Rp 1.600.000
BOS Reguler berlaku juga untuk swasta yang memenuhi syarat (izin, laporan, dsb.)
Catatan Penting
Pernyataan “sekolah gratis” acapkali muncul tetapi keliru jika diaplikasikan sepenuhnya di sekolah swasta. BOS memang meringankan sebagian beban, namun tidak mencakup: Gaji penuh guru honorer/instruktur, Progul Sekolah, Ekstrakurikuler, konsumsi, perbaikan gedung, Program tambahan seperti psikotes, transportasi, dll.
Apa Artinya untuk SD Muhammadiyah Padang Panjang dan Orang Tua?
SD Muhammadiyah bisa mengakses dana BOS Rp 900 ribu–Rp 1 juta per siswa. Namun karena kebutuhan operasional lebih besar — misalnya guru honorer semua hingga 40%, bahan ajar, fasilitas — maka tetap memerlukan iuran dari orang tua. Iuran inilah yang sering terlambat dibayar bila orang tua menganggap sekolah "gratis".
Saran Komunikasi Sekolah Muhammadiyah
Transparansi penggunaan BOS: Tunjukkan apa saja yang ditanggung BOS dan biaya yang belum tercakup. Kolaborasi dengan orang tua: Undang rodi dalam dialog terbuka perihal kebutuhan biaya operasional. Ringankan beban orang tua: Sediakan opsi angsuran atau beasiswa internal bagi yang kesulitan/menunggak. Untuk menjaga nama baik sekolah yang menunggak perlu diselesaikan dalam skala amal usaha Muhammadiyah. Menggalang dana bersama. Kolaborasi dengan anggota Muhammadiyah perlu dimulai dari sekarang. Mengapa membangun gedung kita bisa beriur tetapi menjaga nama baik lembaga sekolah kita lupakan.
Edukasi publik: Setiap bulan perlu edukasi orang tua siswa secara silaturahmi. Tekankan perbedaan antara BOS dan biaya operasional penuh agar mindset "sekolah gratis sepenuhnya" tidak terlanjur melekat. (Yus MM/Bs*)
0 Komentar