Oleh Musriadi Musanif
Wartawan Utama pada Harian Umum Singgalang
Pengelola Beberapa Media Siber
ADA anggapan sebagian orang di kampus, jurnalistik itu adalah ilmu pengetahuan, sehingga bisa dihapal dan diajarkan penuh teori di depan kelas.
Karena anggapan itu pulalah, kita banyak menemukan, dosen-dosen jurnalistik di sejumlah perguruan tinggi tidak memiliki karya jurnalistik, tak pernah menulis berita atau feature, tiada pernah ada artikel atau esai yang ditulisnya.
Ironisnya, orang yang mengajarkan ilmu jurnalistik itu, tidak bisa membedakan mana media cetak, mana pula media elektronik dan media siber. Tak pernah baca koran, tak pernah baca berita yang di-pubish media online yang menggunakan akses internet.
Lantaran menganggapnya sebagai teori belaka, maka setelah belajar sekian SKS, maka sang mahasiswa diberi nilai A atau B, oleh dosen yang tak pernah baca koran itu.
Dengan nilai Ilmu Jurnalistik A, sang mahasiswa setelah menjadi sarjana, juga tidak pernah menulis berita atau feature.
Parahnya lagi, membedakan antara koran harian dengan mingguan saja tak bisa. Menunjukkan mana yang tajuk rencana di sebuah koran, tak bisa dia.
Sementara di sisi lain, aktivitas jurnalistik sepanjang hari dilakukan oleh sebagian orang yang menyandang profesi wartawan atau jurnalis. Tidak pernah kuliah Ilmu Jurnalistik dengan dosen magister atau doktor jurnalistik itu.
Setiap hari, sang jurnalis memproduksi karya jurnalistik dalam bentuk berita. Sesekali dia juga menulis feature dan artikel. Otodidak saja. Di ma tumbuah sinan di siangi (dimana bersemak di situ dibersihkan).
Lama-lama, ahli juga dia mengaduk kata-kata, sehingga menjadi kalimat yang jernih dan enak dibaca. Tidak seperti ketiak ular, tak tentu entah mana titik dan komanya.
Wartawan otodidak itu banyak. Setiap hari mereka menekuni aktivitas mencari informasi dan menuliskannya, lalu dikemas dan terbit di media massa sebagai karya jurnalistik.
Wartawan yang sarjana dengan beberapa SKS mata kuliah jurnalistik, tidak seberapa. Jumlahnya cukup dengan hitungan jari tangan saja.
Adakah yang salah dengan perguruan tinggi yang menyediakan program studi menyiapkan jurnalis handal? Salah tentu tidak, tetapi persepsi yang perlu diluruskan.
Dahulu, saya sering berinteraksi dengan sebuah perguruan tinggi seni di Sumatera. Namanya perguruan tinggi, tentu menghasilkan sarjana.
Calon-calon sarjana itu diasuh para dosen di kampus, kebanyakan berasal dari praktisi juga. Ada dosennya yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Nampaknya, kombinasi antara ilmuwan dan praktisi.
Hasilnya? Banyak tamatan sekolah tinggi itu yang menguasai ilmu dan melakukan penelitian seni, tapi bisa pula berkesenian. Tidak seperti sarjana jurnalistik tapi tidak menghasilkan karya jurnalistik, sebagaimana disinggung di atas.
Harapan kita, ada pulalah hendaknya, perguruan tinggi yang memproduksi sarjana jurnalistik, tapi mampu mengasilkan karya jurnalistik.
Mereka diajarkan oleh dosen yang juga mampu menghasilkan artikel dan feature. Bukan diajar pakar jurnalistik yang tak pernah baca koran, majalah, atau yang di-publish oleh media massa online (siber).
KETERAMPILAN
Setiap bertemu dosen, guru, mahasiswa, dan pelajar yang mengikuti pelatihan jurnalistik, saya selalu menekankan, jurnalistik itu adalah keterampilan. Bukan ilmu pengetahuan belaka.
Kalau menempatkannya sebagai ilmu pengetahuan, maka seperti yang kita singgung di atas itulah jadinya.
Ilmu pengetahuan itu bisa dikuasai dengan menghafal, membaca buku-buku, dan merujuk berbagai referensi, yang kini jumlahnya sangat banyak di website, yang dengan mudah dapat diakses.
Ketika sudah hafal, maka berhenti sampai di situ. Takkan ada karya jurnalistik yang bisa dihasilkan.
Karya yang ditulis baru bisa disebut karya jurnalistik, ketika sudah terbit di media massa berbasis jurnalisme, bukan media sosial (medsos) yang kini sedang jadi idola.
Lantaran jurnalistik adalah keterampilan, maka agar terampil harus rutin berlatih. Semakin banyak latihan, maka akan kian cekatanlah kita. Tidak ada orang yang tiba-tiba saja hebat dan menjadi jurnalis trampil, tanpa tekun dan rutin berlatih.
BERNIAT
Selain mengingatkan soal menulis itu adalah keterampilan, saya juga sering berbincang dengan dosen, guru, dan mahasiswa yang menyatakan, mereka ingin menulis.
Lalu bertanya, bagaimana tulisannya itu bisa terbit sehingga berubah menjadi karya jurnalistik.
Orang yang mengungkapkan niatnya ingin menulis tersebut tidaklah sedikit. Tapi yang jadi, hanya satu dua orang saja. Selebihnya, berhenti pada niat ingin menulis.
Ketika menjawab pertanyaan seperti di atas, biasanya saya akan garisi dengan pernyataan: “Jangan pernah berniat jadi penulis, karena Anda tidak akan pernah menghasilkan karya tulis. Tapi tulis sajalah dulu. Kalau sudah ada wujudnya, baru kita diskusi kembali.”
Dengan pernyataan seperti itu, ada yang spontan surut, tapi ada juga yang diam-diam mencobanya, lalu kemudian mengirimkannya ke email pribadi saya. Setelah sedikit diperbaiki dan dipoles, ternyata karya tulis itu sangat luar biasa dan dahsyat.***
0 Komentar