Larinyo luruih
Kapalo tagak badiri
Badakek indak bagesoh
Bajarak indak bapisah
Kedua sapi disatukan tali cendang
TANAH DATAR, kiprahkita.com - BEGITULAH pacu jawi, olahraga tradisional masyarakat Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar. Pacu jawi bukanlah sekadar olahraga. Dalam tradisi budaya Minangkabau, ada banyak makna filosofis yang tersurat dan tersirat.
![]() |
foto dok prokopim tanah datar |
Sapi yang akan menang dalam ajang pacu jawi haruslah sepasang. Tidak bisa seekor-seekor. Sepasang sapi yang dipastikan akan menang adalah jawi yang seirama larinya. Lurus. Kepalanya tegak berdiri, mencermati jalan yang akan ditempuh dan membidik target yang hendak disasar.
Uniknya, sepasang jawi yang berlari kencang berada pada posisi yang berdekatan. Akan tetapi, mereka dibatasi tali bajak, sehingga tidak bisa saling bersinggungan. Mereka berjarak, tetapi tidak dapat dipisahkan. Tali cendang membuhul erat keduanya.
Sapi yang jadi pemenang itu adalah sapi menjadi pemimpin. Dia berhasil menjadi pimpinan yang baik selama berpacu. Bila dibawakan ke dalam kehidupan sehari-hari masayarakat Minangkabau, dalam sekali makna yang terkandung dalam filosofis pacu jawi itu.
Pacu jawi adalah olahraga eklusif masyarakat di Luhak Nan Tuo. Kendati menjadi kebanggaan Kabupaten Tanah Datar, namun pacu jawi hanya ada di empat kecamatan, yakni Pariangan, Limo Kaum, Sungai Tarab, dan Rambatan.
Di kecamatan-kecamatan lain di Tanah Datar, olahraga tradisional itu tidak pernah dilaksanakan dan tidak pula menjadi tradisi masyarakat.
Olahraga pacu jawi mulanya diselenggarakan masyarakat di Nagari Pariangan pada zaman dahulu kala. Kegiatan ini dilaksanakan setelah musim panen berlalu.
Nagari pelaksana biasanya mengundang nagari-nagari lain yang terdapat pada empat kecamatan terebut. Nagari-nagari itu, spontan saja sudah tahu giliran mereka sebagai tuan rumah.
Sawah masyarakat yang menjadi gelanggang pacu, bisa langsung ditanami ketika alek pacu jawi selesai. Tak perlu lagi melakukan penggarapan khusus, karena sudah ‘lanyah’ oleh sapi-sapi yang berpacu di situ.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur dan gembira setelah panen, pacu jawi juga dilaksanakan untuk berbagai alasan, di antaranya menjadi arena bertemu-temu dan membangun tali silaturahim.
Gelanggang pacu jawi juga menjadi momen bagi muda mudi untuk saling berkenalan. Semacam usaha penjajakan awal. Bila tercapai kecocokan, mereka akan meneruskan perkenalan itu hingga ke jenjang rumah tangga.
Bila dilihat dari aspek ekonomi, pacu jawi juga memiliki peranan yang cukup besar. Sapi-sapi pemenang di gelanggang, nilai jualnya akan melonjak tinggi. Ada yang bisa mencapai harga Rp60 juta-Rp80 juta. Sementara bagi masyarakat sekitar gelanggang pacu, alek pacu jawi dimanfaatkan untuk berdagang makanan tradisional dan cindera mata.
Pacu jawi merupakan aset terhebat yang dimiliki Kabupaten Tanah Datar. Karena itu, pemerintah daerah bersama segenap elemen terkait lainnya, diharap dapat melakukan berbagai usaha agar pacu jawi tetap lestari, dan terus berkembang sebagai bagian utama dari perkembangan daerah.
Ada daerah-daerah tertentu di Sumbar yang ingin pula mengembangkan pacu jawi, sebagai salah satu iven wisata yang akan mereka ‘jual’. Sayangnya, daerah-daerah itu tidak memiliki gelanggang pacu yang memenuhi syarat.
Faktor utamanya adalah ketersediaan gelanggang pacu, kondisi sawah dan ketersediaan air. Bila ketiga hal itu dipandang tak memenuhi syarat, maka joki dan pemilik sapi takkan mau ikut, karena mereka khawatir akan mendatangkan berbagai masalah, misalnya mengalami cedera saat berpacu.(musriadi musanif, wawancara dengan sejumlah narasumber)
0 Komentar