![]() |
Jalan menuju Tanjuang Lansek dari Pamusihan (2014). Kini belum ada perubahan signifikan. |
Oleh Musriadi Musanif
Wartawan Utama Harian Umum Singgalang
PENGANTAR
Tahun 2012 saya melakukan ekspedisi menelusuri pedalaman Lintau Buo Utara. Potret nelangsanya minta ampun. Akses sangat sulit, karena jalannya banyak yang terban dan tertimbun tanah longsor. Pendidikan anak-anak di 'daerah terluar' Tanah Datar itu amat memiriskan.
Dua tahun kemudian, persisnya pada Maret 2014, saya kembali ke sana. Tak banyak berubah. Nelangsa masih mewarnai. Tapi listrik sudah masuk. Kalau pada 2012, saat saya pertama kali ke situ, tak ada penerangan listrik. Warga menggunakan lampu dengan minyak tanah untuk penerangan di malam hari.
Ada juga beberapa rumah yang dapat bantuan teknologi solar system, peralatan yang dipasang di atap rumah untuk menyimpan tenaga matahari saat siang, lalu mentransformasinya menjadi tenaga listrik yang sanggup menyalakan satu hingga dua buah bola listrik jenis pijar. Itu pun hanya bertahan maksimal hingga pukul 23.00 WIB.
Ketika Muhammad Shadiq Pasadigoe menjadi bupati di Tanah Datar, saya juga berkesempatan ikut rombongan beliau ke Koto Niur, daerah terakhir yang jalannya cukup bagus sebelum tiba di Pamusihan. Bersama Wakil Bupati Hendri Arnis juga pernah.
Rabu, 15 Juni 2023 saya kembali lagi ke situ. Nelangsanya belum banyak berubah. Kalau pun ada perubahan, tidak terlalu banyak. Tapi cukup signifikan untuk disebutkan. Dahulu, bidan desa ditugaskan di Pamusihan, hanya dua hari lalu tak kembali-kembali.
Dulu, sekolah satu-satunya di sini dibuka dengan jam pelajaran tak menentu, kini sudah terjadwal dengan baik. Dulu, tak ada guru yang tinggal di situ, kini sudah ada.
Kini, bidan desanya sudah warga setempat. Beberapa orang guru juga begitu. Kepala sekolah yang sekarang, namanya Herdison Dt. Mangkuto Hitam, pindahan dari Kabupaten Pasaman, berkutat, mau dan bersemangat mendapat tugas ke situ.
Bersama majlis guru dan murid-muridnya, dia mau berhabis-habis hari di sana, walau muridnya hanya 24 orang dan kini tinggal 21 orang, karena tiga di antaranya sudah tamat. "Calon kelas satunya ada empat orang," sebutnya.
Anak-anak di sini tidak menggunakan gadget, begitu juga dengan warga, karena sinyal telekomunikasi seluler tidak ada. Kalau ada janji penting akan berkomunikasi menggunakan HP, warga biasanya pergi ke bukit-bukit mencari sinyal, atau menggunakan sepeda motor pergi 'mencari sinyal' hingga ke Jorong Duek, masih dalam Nagari Tanjung Bonai.
Lantaran tidak banyak perubahan signifikan, izinkan saya bernostalgia dengan feature perjalanan ke situ pada 2014. Feature ini sudah terbit di Harian Umum Singgalang, 20 Maret 2014. Selamat membaca!
BACA JUGA
- Anak-anak Hebat dari Pedalaman Lintau
- Tembang Pamusihan Masih Tetap Nelangsa
TANAH DATAR – Inilah cerita dari Pamusihan, sebuah kampung di pelukan belantara Lintau IX Koto. Ada banyak kisah mengalir dari bibir-bibir warga. Mereka merasa terlupakan. Tembang Pamusihan masih tetap nelangsa.
Dua tahun silam, Singgalang melakukan ekspedisi ke empat jorong yang berada di Nagari Tanjuang Bonai dan Lubuak Jantan itu, yakni Pamusihan, Tanjuang Lansek, Mawar II dan Mawar I. Kondisinya amat memprihatinkan. Jalan raya, kalau tidak ditimbuni material longsor, pastilah terban ke jurang.
Anak-anak banyak yang tak bersekolah karena sulitnya akses pendidikan. Untuk anak seusia SD, mereka harus rela berjalan kaki berkilo-kilometer melewati jalan berbalut belantara menuju sekolah. Dengan peluh meleleh di pipi, mereka bersantap siang di pinggir jalan raya. Tak ada sarana transportasi umum, termasuk angkutan pedesaan.
Ada sebuah SD negeri di pinggir Batang Sinamar (kini SD Negeri 28 Tanjung Bonai). Kondisi sekolah itu amat merisaukan. Bangunannya lusuh. Rumah-rumah guru rusak semua. Tak mungkin untuk ditempati. Akibatnya, para guru memilih berulang dari ‘tanah luar’ di jalan provinsi Lintau-Payakumbuh. Sampai di sekolah jadi telat. Proses belajar mengajar tidak maksimal.
Kala itu, penerangan listrik juga tidak ada. Rakyat menjalani malam-malamnya dengan lampu teplok. Gelap-gulita. Anak sekolah tak bisa belajar karena ketiadaan penerangan. Memang, beberapa rumah sudah memiliki penerangan menggunakan energi cahaya matahari, tapi itu hanya mampu menghidupi sedikit bola lampu dan harus sudah dimatikan pukul 21.00 WIB. Maka berkelam-kelamlah warga.
Layanan kesehatan juga merisaukan. Satu-satunya pusat layanan kesehatan di Pamusihan tak beroperasi. Bidannya tak kunjung datang ke sana. Bangunan puskesmas pembantu itu pun tak terurus.
Menyikapi persoalan itu, Pemkab Tanah Datar di bawah pimpinan Bupati M. Shadiq Pasadigoe pun bereaksi cepat. Wakil bupati yang kala itu dipegang H. Hendri Arnis ditugasi ke Pamusihan untuk mencarikan solusi. Sederetan pejabat juga dibawa serta.
“Tak banyak yang berubah pak. Harapan kami untuk memiliki jalan yang layak tempuh, sebagai solusi utama menyelesaikan masalah Pamusihan dan Tanjuang Lansek, hingga kini belum juga terealisasi. Sebulan belakangan, sudah agak mendingan, karena ada perusahaan tambang yang akan beroperasi. Tapi keadaannya tetap saja memilukan,” kata Walijorong Pamusihan (waktu itu) Syamsu, kepada Singgalang, kemarin. Persis dua tahun kemudian setelah kunjungan pertama ke sana.
Buruknya akses transportasi dan tidak tersedianya sarana angkutan umum, berdampak jelek terhadap masyarakat yang terpencil itu. Ekonomi jadi macet, pendidikan anak-anak terkendala, dan kesejahteraan berubah menjadi bahan yang amat mahal.(Realitas serupa ditemukan hingga kini)
Untuk menyekolahkan anak saja di tingkat SLTP, menurut Syamsu, mereka harus ‘merantau ke tanah luar’. Anak-anak kos di Balai Tangah, Lubuak Jantan, Tapi Selo, dan daerah-daerah terdekat dengan sekolah mereka. Tidak bisa berulang dari rumah orangtua mereka yang berjarak 10-15 kilometer saja.
“Bila punya anak sekolah di SMP dan SMA, maka terpaksa berdapur tiga kita. Biayanya tentu jadi lebih besar. Sulit sekali. Kalau ada satu anak yang bersekolah di luar, maka berdapur dua jadinya. Pokoknya, susahnya akses transportasi membuat semuanya jadi rumit,” aku Syamsu yang diamini sejumlah warga.(Ini masih berlangsung hingga saat ini)
Syamsu dan warganya berharap, jalan menuju Pamusihan bisa diaspal. Sarana transportasi umum dapat pula disediakan. Sementara jalan yang dipenuhi timbunan longsor dan terban ke jurang di jalur Pamusihan-Tanjuang Lansek-Mawar II bisa pula diperbaiki.
“Jangan lupakan kami. Mohonlah dibangun sarana transportasi yang memadai ke kampung kami ini. Hiba hati kami melihat kondisi jalan yang dari ke hari tak kunjung diperbaiki,” tutur Syamsu.(Musriadi Musanif)
0 Komentar