Berkebun Karet dan Alpukat di Malalo, Lai Sabananyo tu?

Andiko Putra, saat tampil sebagai narasumber pada FGD. Andiko adalah inovator perkebunan rakyat di Nagari Guguak Malalo.(musriadi musanif)

MALALO, kiprahkita.com - Berkebun karet di Malalo, ah yang benar sajalah. Apa ada getahnya? Apa cocok ditanami dengan kondisi tanah dan cuaca? Lai sabananyo tu (apa sebenarnya itu).


Begitulah pertanyaan masyarakat Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, ketika Yunarman mengutarakan niatnya memanfaatkan lahan gersang sepanjang perbukitan pantai barat Danau Singkarak itu.


"Cemoohan yang saya terima luar biasa. Ujian dan cobaan juga datang silih berganti. Tapi saya yakin, lahan tinggal itu harus diolah dan dimanfaatkan dengan menanami tanaman perkebunan. Berkebun di Malalo adalah cerita soal penghidupan di masa depan," ujar Yunarman yang saat ini dipercaya jadi walijorong Guguak.


Yunarman bercerita panjang sekaligus memotivasi, saat tampil sebagai pembicara inovator, yang dilaksanakan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Andalas Padang, dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD), Selasa (25/7), di Aula Kantor Walinagari setempat.


Tema FGD itu adalah Ka Pasia Perlu, Ka Parak Juga Perlu. Terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia: ke pasir sebagai nelayan tangkap di Danau Singkarak perlu, tetapi ke kebun (parak) juga perlu).


Selain Yunarman, FGD itu juga menghadirkan inovator lokal lainnya, yakni Andiko Putra yang sukses membuka kebun alpukat, dan inovator partisipan dari peserta diskusi atas nama Zamri, petani Malalo yang berhasil mengembangkan tanaman cabai rawit putih.


Yunarman menyebut, banyak yang menilai mustahil bertanam karet di Malalo. Tapi dia mengaku tidak pesimis. Lahan yang semula ditumbuhi lalang dan pimpiang itu, berjarak sekitar 1,5 kilometer dari pemukiman, tetap digarapnya untuk tanaman karet.


"Bibitnya saya beli ke Sungai Rumbai di Kabupaten Dharmasraya. Di sini, petani banyak yang sukses berkebun karet. Lalu saya tanami di lahan yang sudah disiapkan di Malalo ini. Alhamdulillah tumbuh dengan baik," ujarnya.


Tapi ketika tanamannya mulai terlihat subur. Cobaan dari Yang Maha Kuasa pun datang. Lahan yang baru ditanami itu terbakar. Musibah kebakaran ini dialaminya sampai dua kali. Tapi Yunarman mengaku tak patah arang. Dia kembali membersihkan lahan untuk ditanam karet lagi.


Dia pun berangkat ke Medan, masuk ke kebun-kebun karet berskala besar milik perusahaan besar di Sumatera Utara itu. Dikumpulkannya buah-buah karet yang berjatuhan, lalu dibawa ke Malalao untuk dibibitkan.


Lahan kembali ditanaminya karet. "Alhamdulillah kini sudah membuahkan hasil. Dari 500 batang pohon karet milik saya, mendatangkan uang rata-rata Rp200 ribu/hari. Keluarga besar kami memiliki 3.000 batang karet saat ini," tambahnya.


Yunarman pun membantah cemoohan dengan bukti, pihak yang menyebut kondisi tanah dan cuaca di Malalo tidak cocok untuk tanaman karet, karena getahnya sedikit tidak benar.


Lain Yunarman, lain pula kisah Andiko Putra yang bertanam alpukat. Tapi keduanya tetap diuji dengan cemoohan warga sekitar, yang menilai apa yang dilakukannya 'tidak-tidak saja.'


Andiko yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) itu bercerita, dia belajar banyak tentang perkebunan alpukat melalui media digital. Dia optimis, lahan yang luas di Nagari Guguak Malalo juga cocok ditanami alpukat.


"Saya optimis alpukat itu cocok. Saya belajar melalui aplikasi online, saya berkonsultasi dengan beberapa praktisi. Lalu saya beranikan untuk memulai berkebun alpukat. Alhamdulillah berhasil. Alpukat yang dihasilkan bernilai tinggi," katanya.


Inspirasi berkebun alpukat itu timbul, ketika dia datang ke Kabupaten Tanah Karo untuk membeli alpukat yang akan dijual kembali. Akhirnya timbul keinginan untuk baparak pokat di kampung halaman, setelah belajar hanya dengan menggunakan teknologi android.


"Saya mulai pada Januari 2022. Kini sudah membuahkan hasil maksimal. Setiap pohon menghasilkan 20 buah ketika usia setahun tujuh bulan dengan berat total 30 kg. Jenis yang saya tanam adalah Alpukat Miki. Keistimewaan jenis ini, kalau sudah masak lalu dipetik, tapi tidak busuk hingga 15 hari, harga jualnya Rp30 ribu hingga Rp35 ribu per kilogram," katanya.


Walinagari Guguak Malalo Mulyadi bercerita, dahulu sebelum warganya pindah ke pinggir danau dan kiri kanan jalan raya, kebanyakan tinggal di perbukitan yang memagari Danau Singkarak. Waktu itu, ujarnya, warga hidup dari berkebun cengkeh dan pala.


"Kami dulu berkebun cengkeh dan pala. Tapi kemudian hama menyerang. Tanaman tiba-tiba mati. Berkali-kali dicoba ditanami lagi, lalu mati juga. Akhirnya warga meninggalkannya, lalu pindah ke tepi danau dan menjadi nelayan Danau Singkarak," katanya.


Adalah benar. Cengkeh, kopi, dan pala komoditas historis Malalo, maka perlu ada penelitian juga terkait penyakit yang diceritaka warga. Pihak Unand pun berjanji, menjadikan Guguak Malalo sebagai living laboratorium di masa yang akan datang.


Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN Unand Najmuddin Muhammad Rasul, Ph.D memujikan, program kerja yang dilakukan mahasiswa di Guguak Malalo itu, mampu menyentuh persoalan yang paling mendasar dalam meningkatkan kesejahteraan warga.


“Menangkap ikan di danau itu adalah untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Dapat pagi habis sore. Tapi berkebun adalah jangka panjang. Hasilnya tentu lebih menjanjikan ,” katanya pula.(musriadi musanif)

Posting Komentar

0 Komentar