Muhammadiyah dan Pemilu 2024

Oleh Dr. H. Shofwan Karim El-Hussein, MA

(Dosen Program Pasca Sarjana UM Sumbar)


PENGANTAR

Pada pertengahan Juni hingga Juli 2022 lalu, saat itu masih menjabat sebagai ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumatera Barat, Dr. H. Shofwan Karim El-Hussein, MA, menulis essay politik, terutama dalam kaitan antara Muhammadiyah dan Pemilu 2024.


Essay itu sudah diterbitkan secara bersambung pada laman potretkita.net (kini: potretki4.blogspot.com). Sehubungan dengan semakin dekatnya pelaksanaan pemilihan umum itu, essay itu kami terbitkan ulang, guna memenuhi permintaan sejumlah pembaca. Selamat menikmati.

REDAKSI


KIPRAHKITA.com - Di tengah khittah, di antaranya ada yang berkaitan dengan politik praktis, bagi setengah orang dianggap rumit, namun penting. Bagi Muhammadiyah telah diiniasi berbagai cara. Perjalanan ikhtiar yang tidak mudah. Akan tetapi mungkin di situlah kekuatan Muhammadiyah.  


Pada Pemilu 1971, ada Parmusi. Partai ini pada awalnya bagi kamu muslimin berkemajuan atau waktu itu masih relevan disebut kaum modernis, menjadi rumah politik mereka. Sosok baru ini dianggap penjelmaan ulang atau reingkarnasi Masyumi. Dan warga Muhammadiyah mayoritas bersetuju dengan anggapan itu.


Ide atau gagasan untuk melakukan rehabilitasi Masyumi dimulai dengan  mendirikan Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) Desember 1965. 

Dr. H. Shofwan Karim El-Hussein, MA.(dokpri)

Pasca Orde Lama, setelah peristiwa G30S PKI, ada rekonstruksi politik dan ketatanegaraan. Elemen umat Islam modernis merasa belum terwakili dalam berberbagai partai yang dianggap mewakili Islam Politik. Ada partai NU, Perti dan PSI. Maka dari situ mereka melahirkan sebuah partai politik yang bernama Parmusi.


Kelahiran Parmusi yang disetujui pemerintah Soeharto pada tanggal 20 Februari 1968 M telah tercapai. Keputusan Presiden Nomor 70 tahun 1968 sebagai bukti bahwa Parmusi adalah partai politik yang sah dan dapat menikmati pesta demokrasi pada tahun-tahun selanjutnya.


Akan tetapi seperti sudah umum mengetahui, Djarnawi Hadikusum, Ketua Umum  dan Drs. Lukman Harun, Sekretaris Umum keduanya dari Muhammadiyah menjalankan keputusan Pemerintah sampai Muktamar Pertama Parmusi 5 November 1968. Hasilnya dipilih pengurus baru. Mr Mohammad Roem, (1908-1983) sebagai Ketua Umum dan Drs Hasbullah sebagai Sekeretaris Umum. 


Djarnawi, tokoh Muhammadiyah masa itu dan Lukman yang beberapa dekade belakangan menjadi Jubir PP Muhammadiyah,  menjadi salah seorang  ketua dan salah seorang sekretaris Parmusi produk Muktamar tadi. 


Keadaan itu tak berlangsung lama. Oleh karena Mr Mohammad Roem dianggap sangat kental Masyumi, maka menghadapi Pemilu 1971, Roem pun tak mendapatkan clearance dari pemerintah awal Ode Baru Soeharto waktu itu. 


Versi lain, Djarnawi, putra Kibagus Hadikusuma,  Penandatangan Piagam Jakarta dan penerima pembukaan UUD 1945 versi 18 Agustus 1945 itu bersama Lukman,  tokoh gemilang Muhammadiyah masa itu dari Minangkabau,  dicampakkan dari kepemimpinan Parmusi karena direbut oleh HJ Naro dan Drs. Imran Kadir. 


Oleh karena konflik itu, maka Pemerintah Soeharto menempatkan HMS Mintaredja, SH (1921-1984) sebagai Ketua Umum Parmusi.  Pada masa kepemimpinan Mintaredja, Parmusi mengikuti Pemilu tahun 1971. Saat itu partai tersebut mendapatkan 2.930.746 suara (5,36 persen) serta memperoleh 24 kursi di DPR atau urutan ketiga terbesar setelah Golkar dan Partai Nahdlatul Ulama. 


Mintaredja, adalah ketua PB HMI setelah pendiri organisasi mahasiswa terbesar dalam sejarah ini, Lapran Pane, 1947-1951. Mintaredja, Tokoh yang menolak pemikiran ideologis Masyumi ini, terutama tentang negara Islam dan bersetuju dengan ideologi pembangunan ekonomi Soeharto, pasca Pemilu 1971 menjadi Menteri Sosial Pada Kabinet Pembangunan I dan II hingga 1978.


Pada beberapa sumber, Mintaredja dinisbahkan sebagai Muhammadiyah. Dan pada masa itu, banyaka warga Muhammadiyah menjadi tokoh Parmusi. Lalu pada fusi Parpol Islam NU, PSI, Perti dan Parmusi menjadi PPP tahun 1973, tetap saja tokoh Mummmadiyah mendapat porsi di PPP ini. 


Lain halnya dengan Lukman Harun. Di peralihan Orla ke Orba, atas jasanya yang gigih melawan PKI, sempat Lukman Harun menjadi anggota DPRGR sampai 1971. Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun dianggap lokomotif penarik gerbong politik yang mulanya berada di Parmusi, tetapi tidak meneruskan ke PPP.


Pada selang waktu jedda politik itu Lukman Harun menjadi Jubir Muhammadiyah untuk masalah internasional. Mendirikan Solidaritas Internasional Perjuangan Rakyat Palestina. Berteman dekat dengan pejuang Palestina Yasser Arafat. Bergelut dengan masalah agama dan isu dunia.


Lukman menjadi Sekjen Asian Conference on Religion and Peace sebagai komponen dari World Conference on Relogion and Peace. Selain itu, ia berjuang membantu Umat Islam di Bosnia dan Afghanistan. 


Sampai tahun 1992, Orientasi Politik Tokoh Muhammadiyah tetap di PPP. Baru memasuki ujung kejatuhan Soeharto, di mana ICMI (Lahir 1990) dianggap menjadi tonggak baru kekuatan Islam Indonesia, mulai melirik keluar. Antara lain ke Golkar. Di tingkat Pusat ada Lukman Harun (1934-1999) come back ke politik. Mungkin karena terdepak dari Muhammadiyah, pada Muktamar Aceh, 1995, Amin Rais terpilih sebagai Ketua PP Muhmmadiyah. 


Lukman tersingkir. Suasana kebatinan Muhammadiyah pada Muktamar Aceh, merupakan “pembangkangan” terhadap Soeharto. Amin, yang sejak 1993 kritis terhadap Soeharto, agak berbeda dengan Lukman. Meski tidak memuji Soeharto, Lukman sepertinya terbawa suasana aura oleh “hijau royo-royo” ICMI di bawah kepemimpinan Habibie yang masa itu dianggap “anak emas” Soeharto. 


Lalu ketika Amin Rais dan tokoh sepaham mendirikan Partai Amanat Nasional 23 Agustu 1998, ada kesan Lukman tidak terlalu “happy”. Paling tidak begitu kesan penulis serial ini pada masa sebelum Lukman wafat April 1999. 


Pasca Muktamar Muhammadiyah Aceh 1995 tadi, Lukman, menyebut dirinya waktu itu hanya menjadi Pengamat Muhammadiyah. Meskipun hampir tiap hari masih tetap berkantor di PP Muhammadiyah Jl Menteng Raya 62  yang hanya lebih kurang 1 kilometer dari rumahnya di Jl Sukabumi Noi 11  Menteng Jakarta Pusat itu. 


Konon, bangunan Kantor Pusat Muhammadiyah itu berdiri antara lain karena Filantropi dari Timur Tengah. Hal itu antara lain jasa lobby dari Lukman Harun dan beberpa rekomendasi Mohammad Natsir. Maka itu, PP Muhammadyah tetap menganggap Lukman adalah tokoh PP Muhammadiyah non-portopolio. Dan Lukman merasa tidak sungkan. 


Benar saja Lukman Harun terpilih menjadi anggota DPR RI  dari Golkar, 1997-1999 Dapil Sumbar.  Din Syamsuddin dan Hajriyanto Y Tohari bahkan masuk ke DPP Golkar. Din  sempat menjadi Wakil Sekjen Golkar. Ia pernah menjadi Dirjen Binapenta Kementerian Tenaga Kerja. 


Lalu Hajriyanto  menjadi anggota DPR RI  1997-1999, 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014 dari Golkar  untuk Dapil Jateng. Ketua Umum PP Pemuda Muhammmadiyah, 1993-1998 itu bahkan menjadi salah seorang Wakil Ketua MPR RI, 2009-2014. Kini, seperti telah ditulis pada serial sebelum ini, sejak 2019 Hajriyanto menjadi Dubes RI di Libanon. 


Maka dari panorama atau seketsa perjalanan politik beberapa tokoh Muhammadiyah tadi, kelihatan terjadi pintalan benang yang rumit. Namun politik itu penting. Mungkin itu pula yang menjadi kekuatan Muhammadiyah atau sekaligus kelemahan.***

Posting Komentar

0 Komentar