Tim Gabungan Padamkan Lahan Terbakar di Kabupaten Toba

Warga Napitupulu menghindar dari titik kebakaran lahan.(BNPB.go.id)

SILAEN, kiprahkita.com - Musibah kebakaran lahan terjadi di Desa Napitupulu, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba, Jumat (21/7) pukul 18.47 WIB.


Informasi yang dirilis pada laman resmi BNPB.go.id menyebut, lahan yang terbakar itu sekitar lima hektar. Peugas gabungan berhasil melakukan pemadaman dalam waktu yang tidak terlalu. Kendati tidak ada korban jiwa, namun warga harus diungsikan.


Sebelumnya, Polres Toba Samosir sudah menginstruksikan semua Polsek di jajarannya, untuk melakukan sosialisasi kepada masyakarat terkait dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Sosialisasi ini dilakukan terus menerus menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan pembakaran hutan dan lahan.  

“Saat memasuki musim kemarau ini, diminta agar semua warga dalam melakukan pembukaan lahan agar tidak membakar lahan untuk mencegah polusi udara. Jika pun terpaksa membakar agar dilakukan dengan hati-hati atau dengan pertimbangan,” terang Kapolsek Silaen Iptu R. Tampubolon, dikutip dari laman tribratanews.sumut.polri.go.id.


Musibah kebakaran lahan di kawasan Kabupaten Toba dan perbukitan di sekitar Danau Toba memang sering terjadi, terutama pada musim kemarau. Wilayah ini masuk kategori mudah dan sangat mudah terbakar.


Selain di seputaran Danau Toba, menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, beberapa daerah di Sumatera terpantau dengan parameter tersebut menunjukkan pada kategori mudah dan sangat mudah terbakar. Provinsi dengan potensi tersebut antara lain Jambi, Sumatra Selatan dan Lampung.


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ujarnya, telah mengidentifikasi provinsi-provinsi di Pulau Sumatra yang hampir setiap tahun dilanda kebakaran hutan dan lahan, seperti Provinsi Riau, Jambi dan Sumatra Selatan.


Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati pun sudah mengingatkan, ancaman El Nino diperkirakan akan mencapai puncaknya pada bulan Agustus-September. 


Fenomena ini diprediksi akan berintensitas lemah hingga moderat dan dapat berdampak pada ketersediaan air serta produktivitas pangan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi ketahanan pangan di Indonesia.


Dwikorita menjelaskan, meskipun saat ini memasuki musim kemarau kering, namun wilayah Indonesia dipengaruhi oleh dua samudra, dan memiliki topografi yang bergunung-gunung di sepanjang khatulistiwa.


Hal ini menyebabkan kemungkinan adanya perbedaan kondisi cuaca di berbagai wilayah, di mana satu wilayah mungkin mengalami kekeringan, sementara tetangganya mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi.


"Oleh karena itu, penting untuk menyadari, kondisi tidak selalu seragam, dan beberapa wilayah mungkin mengalami dampak basah dari fenomena ini.(*/mus)

Posting Komentar

0 Komentar