Ulama dan Perubahan Iklim

Oleh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd.

(LPLH dan SDA MUI Pusat) 


KIPRAHKITA.com - Pada Selasa, 18 Juli 2023, saya diundang oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat Banten Jakarta, membahas tentang Ulama dan Perubahan Iklim.


Ada beberapa narasumber yang diundang untuk bercerita sesuai dengan pertanyaan yang ditetapkan oleh peneliti, PTIQ, PKU Istiqlal, UIN sendiri. Pertanyaan menarik yang disampaikan, apa yang bapak ibu ketahui tentang pemanasan global, pertanyaan ini hapir semua nara sumber, yang lain lebih kepada spesifikasinya masing-masing. 


Pemanasan global yang dipahami adalah bumi yang ditempati ini suhunya sudah semakin panas semenjak dahulu sampai sekarang, dan semakin ke depan juga akan semakin panas lagi, kalau tidak ada intervensi dan solusi yang efektif.


Peningkatan suhu bumi meningkat secara signifikan pasca industrialisasi, penambahan secara berkala pada tataran 1,8 derajat celcius per tahun, dengan kadar pada masing-masing zona tentu berbeda. 


Mengapa bumi semakin panas, secara alamiah bumi disinari oleh matahari yang mengandung radiasi dan carbon, dikenal dengan symbol Co2 (karbondioksida). Karbon dioksida dapat ditangkap oleh zat hijau daun dengan melakukan fotosintesis dan mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang bermanfaat untuk pernapasan manusia. 


Bumi hijau tentu bagian dan zero peningkatan karbon dioksida, dimana semua karbon dioksida yang dihasilkan oleh sinar matahari dapat ditangkap seluruhnya oleh hijau daun yang tumbuh di bumi, dimanfaatkan untuk pernapasan semua makluk hidup yang berada di permukaan bumi.


Kalau demikian tentu tidak ada aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia. Karena manusia makhluk ekonomi memiliki kebutuhan, kebutuhannya ada di bumi, tentu ia akan beraktifitas menggunakan sumber daya yang ada di bumi, sehingga lahan hijau dialih fungsi menjadi gedung. 

Pembangunan gedung jelas sudah mengurangi aktifitas penyerapan sinar matahari sehingga berpeluang mengendap di atmosfir. Bukan hanya sampai di situ, tetapi manusia juga mengembangkan industrialisasi, membangun pabrik, membuat kendaraan yang berenergi fosil, semuanya menghasilkan karbon yang berkumpul di atmosfir bumi.


Untuk pengembangan bahan baku pabrik menjadi barang yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, manusia juga menggali isi perut bumi berupa tambang, menebang pepohononan dengan melakukan deforestation. 

Semua aktifitas yang dilakukan itu jelas, berkontribusi terhadap pemanasan, manusia menghasilkan karbon, hutan yang akan menyerap karbon ditebang pula, maka sempurnalah pekerjaan manusia yang akan menghasilkan tingkat pemenasan bumi. 


Permasalahan ini telah terjadi dan dirasakan oleh semua pihak tanpa memandang ia beragama apa, bermazhab apa, dari etnis mana dan dari negara mana, semua merasakan hal yang sama. Sekarang yang menjadi pertanyaan apa yang harus dilakukan dan bagaimana untuk meminimalisasi permasalahan tersebut sehingga kita bisa kembali kepada kehidupan yang lebih baik. 


Dalam menjawab itulah maka PPIM melakukan riset tentang ulama dalam perubahan iklim. Ulama dalam konteks keindonesiaan memiliki peran strategis terhadap ummat terhadap pemerintah, maka disebut ulama khadamul ummah dan khadimul hukumah.


Ulama produk nilai, sumber nilai, panutan, ikutan dan rujukan baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat. Pesan-pesan ulama sangat di dengar oleha masyarakat, dibutuhkan oleh pemerintah sebagai mitra dalam mengayomi ummat. Ulama dalam berbagai kasus, permasalahan kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan.


Efektifitas sebuah pesan tertentu kepada masyarakat, besar pengaruhnya dari ulama, termasuk dalam hal ini perubahan iklim. 


Perubahan iklim memang permasalahan global, mondial, universal, semua terlibat dalam permasalahan ini. Inti permasalahan ada pada perusahaan multi nasional, pemerintah, pengusahan nasional, pengusaha lokal dan masyarakat secara umum.


Pada masalah internasional, berbagai negara di dunia sudah melakukan berbagai pertemuan, COP 26 yang menekankan bahwa menjaga agar suhu bumi tidak naik melebih 1,50C. Semua pimpian negara dunia sudah berkomitmen untuk menekan suhu bumi tidak boleh lemebih taget di atas. 


Tetapi pada aspek perilaku dan gaya hidup masyarakat yang sudah terbiasa dengan gaya hidup anthropocentric, merasakan bahawa ala mini adalah anugerah yang maha kuasa kepada manusia, sehingga manusia boleh melakukan dan memanfaatkannya sesuai dengan keinginan manusia, tanpa menghiraukan tentang keseimbangan (equilibrium) dan keberlangsungan (sustainable).


Alam ini memang dianugerahkan Allah kepada manusia dengan segalanya, lebih dari cukup kalau hanya untuk kebutuhan manusia, tetapi akan habis apabila di diambil dalam basis kerakusan dan ketamakan. 


Memberikan petunjuk dan nilai inilah yang harus dilakukan oleh ulama sebagai rujukan ummat, maka semenjak dari KH Ali Yafie menerbitkan Fighi Lingkungan. Ulama sangat peduli, perhatian, dan bertanggungjawab terhadap pemuliaan lingkungan, sehinga Majelis Ulama Indonesia mendirikan lembaga pemuliaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. 


Sudah banyak yang dilakukan ulama dalam meminimalisasi perubahan iklim tersebut terhadap manusia, diantaranya, pertama, membuat berbagai produk fatwa tentang pemuliaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, mulai dari fatwa pembakaran hutan dan lahan, pengelolaan sampah, pertambangan ramah lingkungan, pelestarian satwa langka, pendaan sanitasi dari ZIS, restorasi mangrove dan gambut, pemusnahan sampah mulia, pemanasan global.


Setiap fatwa yang dihasilkan MUI, diikuti dengan kumpulan kajian tentang permasalahan lingkungan yang difatwakan tersebut, berikut juga bahan khutbah, tentu ini adalah peran ulama dalam meminimalisasi pemanasan global dalam skala nasional. 


Kedua, bukan hanya sebatas fatwa dan pengumpulan bahan-bahan kajian, tetapi juga melakukan gerakan. Gerakan sedekah sampah yang digulirkan untuk masjid, majlis taklim, madrasah dan pesantren dan sekolah.


Dalam kerangka gerakan sedekah sampah juga berbasis sungai bersih dengan penyelenggaraan pengelolaan sampah berbasis sedekah dan pengjihauan daerah aliran sungai.


Ketiga, masjid ramah lingkungan, pengembangan dan pengelolaan masjid yang bertandar eco masjid. MUI telah memiliki standar masjid ramah lingkungan, semenjak dari aspek managerial, pengembangan fisik, pengelolaan air, dan pelayanan jamaah yang mengedepankan lansia dan anak.


Keempat, pelatihan manajemen pengelolaan sampah terpadu (Management Solid Waste Training Centre (MSWTC), dilakukan pelatihan dalam beberapa titik, sebagai role model untuk dikembangkan kepada kepemimpinan MUI di bawah, propinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.


Kelima, penggalangan dan menggerakkan hutan wakaf, dalam rangka mewujudkan konsep value, konstribusi oksigen dan rehabilitas dan konservasi hutan, yang siap dikonversi untuk mengurangi poljutan karbon di atmosfier.   


Keenam, MUI merupakan organisasi berskala nasional dan internasional, tentu produknya adalah berupa kebijakan dan model yang dikembangkan oleh level organisasi di bawah baik, propinsi, daerah dan kecatamatan.


Semua melakukan kegiatan yang sama seperti dicontohkan oleh pimpinan pusat. Hal inilah bagian dari fokus yang dteliti oleh PPIM dipublikasikan dalam jurnal berskala nasional dan internasional.***

Posting Komentar

0 Komentar