Cara Sampai ke Danau Laut Tinggal

foto jadesta kemenparekraf

ARTIKEL SEBELUMNYA Kawah Purba di Pedalaman Pasbar


SIMPANG AMPEK, kiprahkita.com - Danau Laut Tinggal adalah kawah purba di pedalaman Pasaman Barat. Belum dikembangkan jadi destinasi wisata, tapi sudah banyak orang yang berkunjung ke situ.


Mencapai Danau Laut Tinggal itu memang tidak mudah. Butuh kesiapan fisik, mental, dan perbekalan. Pulang pergi dengan titik kumpul di Simpang Ampek, ibukota Pasaman Barat, setidaknya dibutuhkan empat hingga lima hari.


Lokasinya sekitar 20 kilometer dari Sitobu Nagari Rabijonggor, perkampungan masyarakat terakhir di bibir hutan, sebelum melintasi jalan setapak bersungkup rimba raya.


Pengunjung yang ingin menikmati pesona kawah purba itu, harus melapor dulu di Sitobu kepada pemuka masyarakat atau pemerintahan nagari.


Perlu persiapan tersendiri sebelum menuju danau di ketinggian desa lantaran rutenya yang sangat menantang, mirip seperti mendaki gunung. Meski jaraknya 20 km dari Desa Sitobu, namun perlu waktu hampir dua hari untuk mencapai Danau Laut Tinggal.


Berwisata ke Danau Laut Tinggal sangat cocok bagi wisatawan minat khusus penyuka kegiatan di alam terbuka (adventuring), seperti pendaki gunung dan penjelajah rimba. Tapi bukan berarti masyarakat awam tak bisa mengikuti pelesiran ke Danau Laut Tinggal.


Mereka bisa tetap berlibur, asalkan didampingi penunjuk jalan yang umumnya berasal dari warga desa dan sudah mengenal sangat baik rutenya. Perjalanan sebaiknya dilakukan berombongan berjumlah 8-10 orang.


Anton Setiawan dalam artikelnya pada laman indonesia.go.id menjelaskan, ada sejumlah aturan yang mesti ditaati oleh pengunjung Danau Laut Tinggal. Mereka wajib membawa tas ransel besar berisi logistik perbekalan, pakaian secukupnya, jas hujan, jaket hangat, obat-obatan, senter, golok, dan alat komunikasi semacam handy talkie.


Juga perlu membawa tenda berkemah, peralatan masak, tongkat mendaki (pole) dan tak kalah penting adalah membawa kantong sampah agar kelestarian lingkungan sekitar tetap terjaga. 

Empat jam pertama perjalanan, kita banyak ditemani kicau suara aneka burung dan  teriakan khas owa siamang.


Hutan lindung Desa Sitobu banyak dihuni flora langka seperti aneka jenis anggrek hutan, kantong semar (Nepenthes gymnamphora), keluarga paku-pakuan, dan talas raksasa setinggi hampir 2 meter.


Selepas berjalan empat jam, kita bersua Desa Simpang Lolo yang berpenghuni satu kepala keluarga saja, karena puluhan lainnya terpaksa pindah setelah desa mereka tersapu banjir bandang.


Setelah beristirahat sejenak, perjalanan diteruskan ke daerah bernama Sosopan, jaraknya sekitar 6 km ke depan dan menyusuri tepian sungai kecil, Batang Kanaikan yang beraliran sangat jernih dan banyak terdapat batuan besar seukuran mobil.


Saat di Sosopan ini, kita bisa kembali beristirahat atau bermalam karena terdapat pondokan yang ditinggalkan penghuninya. Uniknya, di tempat ini kita banyak menemukan mata air panas alami.


Warna airnya ada yang jernih, sedikit keruh karena mengandung belerang dan saat bertemu di sebuah kolam warnanya dapat berubah menjadi sangat keruh. Sosopan juga menjadi titik terakhir perhentian sebelum ke Danau Laut Tinggal. Masih dibutuhkan perjalanan sekitar 6-7 jam lagi dengan rute makin menanjak.


Usai menaklukkan rute menanjak, jalan setapak mulai menurun dan ini menjadi pertanda kita tak lama lagi sampai ke lokasi.


Lelah dua jam menjinakkan rute menuruni lereng curam, perjuangan kita akan terbayarkan karena kaki dapat menjejak di tepian Danau Laut Tinggal yang luasnya sekitar 3 km bujursangkar. Air di tepian danau jernih dan makin ke tengah warnanya menjadi hijau toska.


Suasana alam sekitarnya masih sangat asri diwarnai hijaunya pepohonan tinggi, termasuk pandan hutan (Pandanus tectorius) yang pohonnya dapat mencapai tinggi 10-15 meter dan daunnya menjulur sepanjang 1-3 meter.


Menurut LAJ Thomson dalam The Traditional Tree Initiative, akar tunjang pandan hutan menjulur keluar dari tanah mirip pohon bakau tetapi bisa mencapai ketinggian 5 meter. Batang pohonnya sangat besar, berdiameter minimal 80 sentimeter.


Kadang, akar udara turut menjulur dari batangnya. Pohon ini dikenal pula dengan nama pandan duri, pandan semak, atau pandan pantai dan mudah ditemui di pesisir atau belantara hutan dekat danau.


Masyarakat memanfaatkan daunnya untuk dianyam sebagai tikar, peralatan makan, dan lainnya. Pelepah besarnya dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar.(Anton Setiawan/indonesia.go.id)

Posting Komentar

0 Komentar