Jejak Hamka di Padang Panjang, seperti lokasi bekas rumah orangtuanya di Gatangan, Surau Jembatan Besi, Perguruan Thawalib dan Perguruan Muhammadiyah mesti ditata dengan aroma Hamka. Paling tidak, ada ciri-ciri Hamka di sana
Oleh Musriadi Musanif
(Wakil Ketua PDM Pabasko/Wartawan Utama)
OPINI, kiprahkita.com - Suatu ketika di Bulan Ramadhan, saya berkunjung ke Museum Hamka di Sungai Batang, Maninjau. Saya berharap, dengan berkunjung ke situ, dapat menapaktilasi sepak terjang Prof. Dr. Hamka dan ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
Kedatangan saya ke Sungai Batang, murni untuk mendapatkan referensi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri benda-benda warisan Hamka. Saya berkunjung ke Sungai Batang, karena sulitnya menemukan sosok dan bekas sepak terjang Hamka di Kota Padang Panjang.
Kendati demikian, saya termasuk orang yang sangat bangga mendapat kabar Hamka ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Perjalanan hidupnya dikemas dalam sebuah kisah inspiratif lewat film, tayangan audio visual yang membuat orang semakin berdecak kagum.
Perjuangan agar Hamka ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional, tidaklah singkat. Apalagi, banyak pihak berkuasa ketika Hamka masih hidup, berseberangan pendapat dengan beliau.
Sebagai seorang tokoh reformis kenamaan di masa penjajahan Belanda, terutama pada dasawarsa kedua dan ketiga abad 19, semestinya Hamka memiliki banyak jejak bersejarah di Padang Panjang.
Ayahnya dikenal sebagai tokoh besar yang mendirikan pusat pendidikan yang dikenal sepanjang sejarah, yakni Perguruan Thawalib Padang Panjang. Hamka sendiri adalah kepala sekolah pertama di Kulliyatul Muballighien Muhammadiyah (KMM) Kauman, Padang Panjang.
Satu hal yang membahagiakan, di Kauman saat ini ada aula dan pojok baca yang nama Hamka dilekatkan di situ.
Sosok Hamka memang amat luar biasa. Dia berani lantang menantang arus. Kalau persoalan itu berkaitan langsung dengan akidah dan keyakinan, Hamka tidak akan segan-segan menyatakan penolakannya, meski itu datangnya dari rezim yang sedang berkuasa.
Hamka sangat bangga menjadi anak Minangkabau, sebagai bagian integral dari kelompok besar bernama Melayu. Hamka punya keyakinan kuat, Melayu takkan berarti sama sekali tanpa Islam.
“Tak ada Melayu tanpa Islam, di balik Melayu adalah Islam. Melayu tanpa Islam, maka hilanglah me-nya, maka layulah ia. Minangkabau tanpa Islam, maka hilanglah minangnya, tinggallah kerbau,” terang Hamka suatu ketika, sebagaimana dikutip Rusydi Hamka dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, terbitan Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983.
Satu hal yang kini mulai jarang dibicarakan orang, Bahasa Melayu memiliki saham yang amat besar dalam Bahasa Indonesia. Bagi penulis-penulis asal Minangkabau, Medan merupakan titik sentral Bahasa Melayu tersebut.
Di dalam Bahasa Melayu, pengaruh Islam dan Bahasa Arab sangatlah kental. Ini pulalah alasan lain, kenapa Hamka sangat mencintai bahasa tersebut.
Dalam pidatonya pada salah satu sidang Konstituante membahas tentang Bahasa Indonesia, Hamka tegas-tegas menyatakan, lidah Melayu yang telah menerima Islam sejak abad-abad pertama tahun hijriyah, tidak asing lagi dengan istilah Arab, bahasa agamanya. Oleh sebab itu, Bahasa Arab dapat memperkaya Bahasa Indonesia.
Selain bahasa, Hamka menekankan, ciri kemelayuan lainnya adalah Islam, tanpa mengabaikan pandangan bahwa memang ada bangsa Melayu yang beragama selain dari Islam. Satu hal yang perlu diperhatikan, Melayu memang tidak dapat dipisahkan dari Islam.
Hamka memang manusia multitalenta. Dia adalah pejuang yang berupaya menegakkan bendera tajdid di kalangan umat Islam Indonesia yang kala itu dibutakan penyakit tachyul, bid’ah dan churafat (TBC). Hamka berjuang lewat pendidikan, sastra dan jurnalisme.
Beliau selalu menunjukkan komitmennya terhadap pengembangan Islam dengan turut mendirikan Majlis Ulama Indonesia (MUI), kendati kemudian dia memilih mengundurkan diri karena merasa tidak bisa sejalan lagi dengan laku pemerintah Indonesia.
Tokoh kebanggaan masyarakat Minangkabau itu kini sudah menyandang gelar pahlawan nasional. Ini adalah momen bagi anak Minangkabau untuk kembali membangkit kejayaan intelektual dan keulamaan masa lalu.
Pemerintah Sumbar kini berkewajiban menghadirkan pusat informasi tentang Hamka di kota-kota tempat beliau pernah berkiprah. Museum Hamka yang ada di Sungai Batang harus dikelola dengan profesional.
Jejak Hamka di Padang Panjang, seperti lokasi bekas rumah orangtuanya di Gatangan, Surau Jembatan Besi, Perguruan Thawalib dan Perguruan Muhammadiyah mesti ditata dengan aroma Hamka. Paling tidak, ada ciri-ciri Hamka di sana.***
0 Komentar