![]() |
Aktivitas petugas GAW Kototabang.(gawbkt.id) |
PALUPUH, kiprahkita.com - Satu dari 33 stasiun pengawas atmosfer di seluruh dunia, ada di Bukik Kototabang, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Stasiun itu adalah milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Pusat riset dan monitoring itu bernama Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang atau Global Atmosphere Watch (GAW). Lokasinya memang terpencil di daerah ekuatorial, pada ketinggian 864,5 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan 40 km dari garis pantai bagian Barat.
Fasilitas yang tersedia meliputi bangunan yang cukup luas yang menyediakan ruang kantor, ruang rapat, dan laboratorium. Di area atap seluas 300 m2, inlet udara dan beberapa peralatan radiasi dan meteorologi dipasang.
Stasiun ini beroperasi sejak 7 Desember 1996, dapat dicapai dari jalan kecil yang tertutup untuk publik, dan berjarak beberapa kilometer dari sebelah barat Jalan Lintas Tengah Sumatera yang menghubungkan Bukittinggi dan Medan.
![]() |
Dwikorita Karnawati |
Kepala BMKG Prof. Dwikorita Karnawati menyebut, dari stasiun yang terletak di tengah hutan dengan kondisi udara yang bersih itu, dimonitor kondisi atmosfir global.
"BMKG memonitor gas rumah kaca di lokasi yang belum tercemar tersebut. Data BMKG menunjukkan adanya lonjakan konsentrasi gas rumah kaca mulai 1996-2023, yang kenaikannya sudah hampir mencapai 40 ppm," ujarnya.
Dwikorita mengatakan hal itu, saat menjadi narasumber pada kuliah umum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diikuti 1.600 mahasiswa Fakultas Teknik, Senin (16/8), dikutip dari publikasi laman resmi bmkg.go.id, yang diakses pada Kamis (17/8) pagi.
Itulah kondisi kita saat ini, ujarnya, seluruh umat di dunia mestinya mengetahui perubahan iklim global, dan harus memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan laju gas rumah kaca.
Saat ini, katanya, telah terjadi perubahan iklim yang sangat signifikan. Akibatnya sering terjadi bencana alam, baik basah maupun kering. Dampak perubahan iklim ini tidak pilih-pilih, baik negara maju, negara berkembang, ataupun negara adidaya.
Tren kejadiannya, kata Dwikorita, semakin meningkat dan frekuensi kejadiannya semakin sering. Studi menunjukkan inilah ciri-ciri dampak dari perubahan iklim.
Selain perubahan iklim, Dwikorita juga menyoroti pentingnya kesiapsiagaan bencana, salah satunya dengan rutin melakukan gladi posko.
Menurutnya, gladi posko bertujuan meningkatkan kapasitas agar cekatan dan mampu menolong diri sendiri serta orang yang ada di sekitar ketika bencana terjadi, seperti di Jepang yang sudah menjadikan kesiapsiagaan sebagai budaya.
"Penting juga membuat peta-peta rute evakuasi, agar semua orang memiliki peluang untuk selamat dalam keadaan darurat," sebutnya.
Dwikorita menegaskan, perubahan iklim adalah yang sangat menakutkan bagi seluruh dunia, lebih dahsyat dari pandemi dan peperangan. Seluruh dunia, tegasnya. tidak bisa mengelak dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim itu.
Berdasarkan komposit data seluruh dunia, yang dikumpulkan oleh Organisasi Meteorologi Dunia, dibandingkan dengan data sebelum Revolusi Industri (1850-1900) dengan data sampai dengan tahun 1980, maka dapat diketahui, kenaikan temperatur udara permukaan dari 1900 hingga 1950 masih sangat landai.
Namun mulai 1980, ujarnya, kenaikan suhu mengalami lonjakan. Sampai tahun 2022, menurut Dwikorita, kenaikan suhu global mencapai 1,2 derajat Celcius, tren kenaikan suhu terus meningkat. Sejak 2015-2022, merupakan tahun terpanas kelima sepanjang sejarah sejak pasca Revolusi Industri.
Di tahun 2100 atau di akhir abad 21, BMKG memprediksi dengan menganalisis secara matematis, suhu udara permukaan dapat meloncat. Saat ini, kenaikannya menjadi 3,5 derajat Celsius dibandingkan masa sebelum Revolusi Industri. Ini terjadi di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia.
"Kita perlu melakukan mitigasi, yaitu upaya menekan laju kenaikan temperatur. Cara menekan laju temperatur bermacam-macam, dan di sinilah peran Fakultas Teknik sangat ditunggu untuk berhasil menekan laju kenaikan temperatur," tegas Dwikorita.(bmkg.go.id; ed. mus)
0 Komentar