Menikmati Wisata Tambang

 

Museum Kereta Api Sawahlunto.(shutterstock/zulfikri sasma)


SAWAHLUNTO, kiprahkita.com - Sektor pariwisata kini menjadi unggulan Kota Sawahlunto di Sumatera Barat. Kota yang dulu disebut berada di dalam sebuah 'kuali besar' itu, pantang tak dikunjungi, bila Anda datang ke Minangkabau.


Pemerintah Kota Sawahluto konsisten mengembangkan destinasi wisata. Apalagi kini, kotanya juga sudah diperluas, tak lagi sekadar kawasan pertambangan dan pemukiman di dalam 'kuali besar' saja. Slogan Kota Wisata Tambang yang Berbudaya kini terus disyiarkan.


Bukan hanya beranjak dari tradisi, kisah Sawahlunto tertulis indah dalam sejarah yang penuh keunikan, dari sebuah kota penambangan batubara. Cerita sejarah Kota Sawahlunto erat kaitannya dengan sejarah kedatangan Belanda ke Indonesia.


Kekuatan Sawahlunto semakin diperhitungkan, seiring dengan ditetapkannya kota ini sebagai Warisan Tambang Batubara Ombilin sebagai Warisan Dunia oleh Unesco pada 2019 lalu.


Mengutip potretkita.net (kini potretkit4.blogspot.com),terdapat puluhan situs Geopark Nasional di situ. Situs tambang Lubang Mbah Soero adalah salah satu taman geopark yang telah ditata menjadi objek wisata.


Di sini, pengunjung bisa belajar tentang lapisan mineral bumi, melihat dan menyentuh langsung lapisan batubara hitam berkilau. Kabarnya, inilah batubara berkualitas terbaik di dunia, jenis antrasit.


Lubang Mbah Soero dan museum-museum di sekitarnya, bercerita tentang sejarah berdirinya pertambangan tertua di negara tercinta ini, yakni dari masa penelitian geologi oleh insinyur Belanda, di hutan belantara Lembah Segar hingga pedihnya kehidupan pertambangan di zaman pekerja paksa atau orang rantai.


Geopark Kota Arang yang tak kalah seru dikunjungi, yakni beberapa danau yang terbentuk akibat aktifitas tambang dan telah ditata menjadi objek wisata, seperti Danau Kandih yang dilengkapi dengan Taman Satwa, serta Danau Tandikek yang bisa dinikmati keindahannya sambil seru-seruan di Taman Buah Kandi.


Sawahlunto juga memiliki geopark non geologi, seperti Kampung Tenun Silungkang dan desa penghasil atsiri Balai Batu Sandaran. Di sini pengunjung bisa melihat langsung tangan-tangan terampil memproses helaian benang, berubah menjadi kain etnik yang indah.


SEJARAH

Sawahlunto dikenal dengan Tambang Batu Bara Ombilin. Tambang ini kini dikenal sebagai situs tambang batu bara tertua di Asia Tenggara, dan satu-satunya tambang batu bara bawah tanah di Indonesia.


Menurut laman polri.go.id, dua orang insinyur tambang; Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth, adalah warga Belanda yang turut serta dalam proyek pertambangan di Ombilin sejak 1874. Kedua insinyur tersebut melanjutkan apa yang dilakukan oleh WH de Greeve pada 1872.


Dengan waktu yang sebentar setelah produksi batu bara tambang, di Sawahlunto pun menjadi gabungan antara teknologi Eropa dan kekayaan alam  Indonesia. Pertambangan di Sawahlunto menggunakan metode pertambangan yang langka, karena cara menambangnya dari bawah tanah dan melewati lorong-lorong.


Tambang batu bara Sawahlunto juga mempunyai sejarah pilu dan kelam, karena menyimpan kisah mengenai manusia yang rantai, yakni para pribumi tahanan politik dan bekerja secara paksa, dengvan rantai yang dipasang pada kaki, tangan, serta leher mereka. Mereka bekerja dengan kondisi diikat tali besi.


Itulah yang kini dikenal dengan nama Lubang Mbah Soero, yang berlokasi di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar. Nama Soero juga berasal dari nama mandor yang bekerja di lubang tersebut. Tempat ini ramai dikunjungi wisatawan, mulai dari mancanegara sampai lokal Sumbar.


Mbak Soero adalah sosok yang dikenal sebagai pekerja keras, tegas, dan juga turut disegani oleh para buruh tambang. Orang-orang rantai di sana mempunyai jumlah yang sangat banyak, namun diperlakukan dengan tidak manusiawi.


Kisah pilunya juga menceritakan, banyak dari pekerja tambang yang tewas mengenaskan, dan jenazahnya ditimbun dalam gorong-gorong dengan begitu saja.


Bekas galian tambang Ombilin itu, menjadi museum sejarah yang sudah diakui oleh dunia, terutama pada 16 Juli 2019 UNESCO menetapkan tambang Ombilin menjadi situs budaya dunia.


Dalam museum tersebut para pengunjung bisa melihat peralatan-peralatan tambang yang digunakan dan juga perkembangan teknologi alat tambang yang digunakan juga diperlihatkan dalam museum tersebut.


Sementara itu, situs indonesia.go.id mengulas, penetapan museum sejarah tambang itu dilakukan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada sidang sesi ke-43, Pertemuan Komite Warisan Dunia di Kota Baku, Azerbaijan pada Sabtu, 6 Juli 2019.


Ombilin menjadi situs warisan dunia di Indonesia ke-5 setelah Candi Borobudur dan Prambanan (1991), situs sejarah manusia purba Sangiran di Sragen (1996), dan sistem irigasi persawahan Subak di Bali (2012).


Menilik sejarah penamaan kota itu sebagai Sawahlunto, rupanya berasal dari “sawah” dan sungai “Lunto”. Lembah Sungai Lunto yang subur itulah, yang kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batubara.


Sampai pada 1868, geolog muda Belanda bernama Willem Hendrik de Greeve menemukan kandungan batubara di Ombilin, Sawahlunto. Laporan ke Batavia mengenai penemuan ini disusun pada 1871 dengan judul “Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het transportstelsel op Sumatra Weskust.”


Setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan potensi ekonominya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi. Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang dan pendukungnya di Sawahlunto. Pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan pada tahun 1883 hingga 1894.


“Sebelum penemuan minyak dan sumber bahan bakar lainnya, batubara berperan penting dalam mendukung berbagai kegiatan perekonomian,” tulis Erwiza Erman dalam buku Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatera Barat 1892-1996 (2016).


Pada 1872, de Greeve kembali melakukan eksplorasi lanjutan di Sumatera Barat. Namun nasib sial, penemu batubara di Ombilin ini tewas setelah mengalami kecelakaan di Sungai Indragiri saat melakukan penelitian. Penelitian de Greeve kemudian dilanjutkan oleh dua insinyur tambang asal Belanda lainnya, Jacobus Leonardus Cluysenaer dan Daniel David Veth pada tahu 1874.


Veth kemudian juga menulis laporan yang berjudul “The Expedition to Central Sumatra”. Menurut Erwiza dalam bukunya, inilah yang mendasari pembangunan jalur kereta api dari lokasi eksploitasi tambang menuju pelabuhan Emmahaven (dikenal sebagai Teluk Bayur).


Terkait pengembangan pengelola tambang di Ombilin Sawahlunto, Cluysenaer menulis tiga laporan rinci tersebut pada 1875 dan 1878. Seperti pada laporanya, Cluysenaer menawarkan anggaran yang lebih rasional untuk rel kereta yang membelah lembah barat-timur, misalnya, membutuhkan biaya sekitar 24,4 juta gulden.


Dikutip dari buku Dinamika Kota Tambang Sawahlunto: Dari Ekonomi Kapitalis ke Ekonomi Rakyat (2006) yang ditulis Erwiza Erman dan kawan-kawan, Rancangan Undang-Undang (RUU) pertambangan batubara Ombilin disahkan oleh parlemen Belanda pada 24 November 1891.


Jalur rel kereta dari Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur telah ada sejak tahun 1894 yang digunakan untuk mengangkut hasil tambang batubara sekaligus alat transportasi. Setalah diangkut meggunakan kereta api, hasil tambang tersebut di ekspor menggunakan kapal uap SS Sawahlunto dan SS Ombilin-Nederland. 


Bila Anda penasaran dan ingin mendalami kisahnya, memang tak ada pilihan lain: Datanglah ke Sawahlunto! (musriadi musanif, diramu dari beberapa sumber)

Posting Komentar

0 Komentar