Pengertian Miskin dan Yatim Perlu Ditinjau Ulang

Prof. Abdul Mu'ti.(dok)

YOGYAKARTA, kiprahkita.com - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Abdul Mu'ti, mendorong majlis dan lenmbaga terkait untuk menunjau ulang pengertian miskin dan yatim, sehingga menjadi relevan dengan konteks kekinian.


“Pengertian dalam banyak aspek ajaran agama perlu dikaji ulang, kemudian kontekstualisasikan dalam realitas kehidupan sehari-hari,” ucap Mu’ti dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial (MPKS) PP Muhammadiyah, yang diadakan pada Jumat (11/08) di SM Tower, Yogyakarta.


Sebagai contoh, sebutnya, terdapat ayat dalam Al-Quran Surat Al-Balad ayat 16, yang menyiratkan tentang Aw miskinan za matrabah atau orang miskin yang sangat fakir.


Dari situ, sebutnya, maka dipandang perlu merumuskan ulang pengertian miskin dalam kandungan makna ayat tersebut. Konsep miskin dalam konteks ini, tegasnya, mengacu pada homeless people atau orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.


"Dengan meresapi esensi ayat ini sesuai dengan realitas sosial saat ini, muncul pemahaman, bahwa membantu orang-orang tanpa tempat tinggal adalah bentuk nyata dari pelaksanaan nilai-nilai kemanusiaan yang diemban oleh agama," ujarnya, dikutip dari muhammadiyah.or.id, laman resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.


Begitu pula pemahaman terhadap QS. Al-Balad ayat 15, ujarnya, terdapat frasa Yatiiman zaa maqrabah, yang menyoroti anak yatim yang memiliki hubungan kerabat.


Mu’ti menghadirkan pendekatan baru yang mengarah pada pemahaman, bahwa kedekatan emosional memiliki peran penting dalam membantu mereka yang terlantar.


"Tidak harus terikat secara biologis, pemahaman ini memberikan pijakan untuk masyarakat dalam memberikan dukungan kepada anak-anak yatim yang merasa memiliki kedekatan emosional tanpa mengenal batasan konvensional," sebutnya.


Kajian ulang terhadap pengertian ajaran agama, menurutnya, membawa implikasi positif yang mendalam. Pendekatan kontekstualisasi mengakomodasi dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang terus berubah.


"Ini mengarah pada kesadaran yang lebih mendalam tentang urgensi kemanusiaan yang melekat dalam ajaran agama. Ajaran tersebut menjadi landasan untuk tindakan nyata yang mengatasi masalah nyata dalam masyarakat, seperti pengangguran, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan sosial," jelas Mu'ti.


TAK PANDANG BULU

Sementafra itu, Ketua PP Muhammadiyah Prof. Muhadjir Effendy, pada rakernas itu menegaskan, Muhammadiyah dalam melayani masalah-masalah kemanusiaan tidak pandang bulu, karena prinsip yang dianut adalah Islam menjadi rahmat bagi sekalian alam.


“Semua atas nama kemanusiaan, atas nama Islam rahmatan lil’alamin, maka harus dilakukan secara betul-betul inklusif. Menegakkan kalimat Allah tidak harus dengan jihad melalui medan perang, tapi juga menyantuni mereka yang kelaparan, kesusahan, dan lain-lain,” jelasnya.


Sama dengan Mu'ti, Muhadjir juga mndorong reformasi dalam pemahaman keagamaan, seperti definisi baru mengenai yatim, yang sekarang tidak hanya merujuk pada anak di bawah umur yang tidak memiliki orang tua, melainkan juga anak yang tidak memiliki perlindungan dan kekurangan.


“Kiai Dahlan dulu tidak nanya kamu yatim atau bukan, tapi sesiapa yang terlantar ia tolong. Muhammadiyah berusaha mewujudkan prinsip-prinsip agama dengan tindakan nyata dalam membantu mereka yang membutuhkan, sejalan dengan semangat filantropi dan kepedulian terhadap sesama manusia," katanya.(muhammadiyah.or.id; ed. mus)

Posting Komentar

0 Komentar