Guru Bimbingan Konseling semestinya tidak berperan sebagai polisi dan petugas pemadam kebakaran di sekolah, bekerja tatkala ada kasus. Tetapi bekerja dengan program, dan menjadi garda terdepan dalam pelayanan anak
Oeh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd.
(Dosen, Praktisi Pendidikan, Aktivis Organisasi Kemasyarakatan)
KIPRAHKITA.com - Data Digital Yearbook Report pada 2019, menunjukkan jumlah pengguna media sosial di Indonesia terus meningkat, mencapai rata-rata 15 persen per tahun. Hampir 150 juta dari 268,3 juta orang Indonesia adalah pengguna media sosial aktif.
Rata-rata setiap orang memiliki 11,2 akun. Intensitas rata-rata waktu harian yang dihabiskan untuk menggunakan media sosial melalui smartphone di Indonesia adalah 3 jam 26 menit. Angka ini lebih tinggi dari angka global, yaitu hanya 2 jam 16 menit.
Hasil penelitian yang melibatkan 314 responden di Surabaya, terdiri dari remaja berusia 15-18 tahun menunjukkan tingginya intensitas penggunaan smarphone, memiliki korelasi atau hubungan terhadap tingkat kecanduan media sosial, ketakutan akan ketertinggalan atau FoMO, dan meningkatnya kebutuhan akan sentuhan atau NFT.
Permasalahan ketergantungan gadget bukan hanya pada remaja, ibu rumah tangga dan bapak-bapak, juga merambah pada anak usia sini dan usia pendidikan dasar.
Manfaat gadget jelas terlihat, peningkatan pembelajaran dengan aneka sumber pembelajaran, pengembangan keterampilan dan teknologi serta literasi digital. Tetapi di balik itu terdapat dampak negatif.
Pertama, gangguan perkembangan anak, baik fisik, emosi dan sosial. Kedua, mengganggu konsentrasi anak dalam pembelajaran, mengganggu retensi informasi. Ketiga, gangguan kesehatan mata, seperti ketegangan mata dan penglihatan kabur. Keempat, anak-anak dapat beresiko melihat beberapa content yang tidak sesuai dengan usia.
Anak-anak yang terlahir dari para profesional dan penguasaha, kebanyakan ditinggal di bawah asuhan pengasuh yang dipercaya oleh orang tua, kebanyakan anak diberikan suguhan gadget, sehingga anak terpapar, selera makan berkurang. Banyak anak yang dari keluarga mampu dan kaya tetapi mengalami stunting. Akibat diasuh oleh pengasuh yang kurang amanah dan tidak profesional.
Ada juga permasalahan bagi anak usia pendidikan dasar, sekolah pada sekolah resmi baik negeri dan swasta, tetapi anak diberikan uang jajanan, mereka jajan pada pedagang di sekitar sekolah, jajanan yang ditawarkan banyak yang tidak memenuhi standar, menggunakan pengawet, minyak yang sudah menghitam, kemasan yang tidak steril, pembuatan jajanan yang tidak steril, sehingga berakibat pada gangguan pertumbuhan dan kesehatan anak.
Anak pergi dan pulang sekolah ada yang diantar, ada juga yang mandiri, sehingga banyak kasus terjadi penculikan terhadap anak. Anak diambil oleh manusia yang kurang beradab, diminta nomor telepon orang tuanya, dihubungi, diminta tebusan dan mengancam akan membunuh anak jika melaporkan kepada pihak berwenang.
Banyak juga diantara anak yang bermain dengan teman, tidak pulang, atau pulangnya kesorean, banyak diantara anak yang terpapar dalam jejaring dan sindikat narkoba. Banyak kasus anak usia pendidikan dasar, tetapi sudah terpapar narkoba dan psikotropika. Akibatnya mencuri uang orang tua di rumah untuk pembelian narkoba, berujung kepada gagal sekolah, masuk ke panti rehabilitasi.
Melihat fenomena tersebut, agak sangat layak dan realistis lembaga-lembaga pendidikan berpikir untuk menyelenggarakan sekolah multi layanan.
Sekolah bukan hanya sebagai tempat pembelajaran, tetapi juga dapat difungsionalisasikan sebagai wahana pengembangan minat bakat anak, sekaligus tempat pengasuhan anak secara full-day , dari mulai penjemputan sampai dengan mengantarkan ke rumah, sehingga orang tua pergi bekerja tidak merisaukan anaknya lagi.
Sekolah setidaknya melakukan pelayanan, pertama, antar jemput anak dari rumah ke sekolah. Sekolah menjamin anaknya aman dan nyaman dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah kembali dengan memasukkan anak dalam asuransi perlindungan, jika ada hal-hal yang tidak diinginkan, pihak keluarga dapat melakukan klaim asuransi sesuai dengan perjanjian.
Kedua, standarisasi nutrisi anak. Sekolah menstandarkan kadar nutrisi anak dengan gizi yang proporsional, mempekerjakan para professional nutrition, yang bertugas merancang asupan gizi dan mengawasi perkembangan asupan gizi anak. Pihak sekolah melengkapi dengan dapur umum dan restoran sekolah yang standar, hal ini dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan dengan vendor.
Ketiga, kegiatan pembelajaran sesuai dengan minat dan bakat anak, berbasis kepada kurikulum merdeka yang dirancang oleh Kementrian Pendidikan, coba diimplementasikan secara realitas dan faktual, bukan abstraksi dan imajinasi.
Pendidikan yang diselenggarakan berbasis kepada talenta anak dengan pengukuran oleh guru Bimbingan dan Konseling dan para psikolog. Guru Bimbingan Konseling sebagai leading sector dalam pelayanan pendidikan anak berbasis talenta, bukan seperti realitas, guru bimbingan konsling berperan sebagai polisi dan petugas pemadam kebakaran di sekolah, bekerja tatkala ada kasus, tetapi semestinya bekerja dengan program, dan menjadi garda terdepan dalam pelayanan anak.
Keempat, layanan pengajaran yang dilakukan berbasis kepada pengembangan modul, dan belajar tuntas (mastery of learning), pembelajaran yang tidak mengenal pekerjaan rumah, pembelajaran yang tidak mengenal tugas, pembelajaran yang tidak menyiksa orang tua di rumah, akibat tugas yang diberikan oleh guru segudang kepada anak.
Modul dikembangkan berbasis digitalisasi, tidak ada kertas, dan tidak ada tinta. Pembelajaran lebih banyak di luar ruangan, bukan di dalam ruangan dengan menghabiskan energi listrik berupa lampu, kipas angin dan AC.
Kelima, anak diberikan waktu untuk beristirahat, sehingga sekolah mempersiapkan ruang istirahat anak, ruang mandi anak, ruang ganti pakaian, dan ruang bermain anak, sekolah bagi anak segalanya dalam kehidupan.
Sekolah sebagai rumah, sekolah sebagai pengembangan diri, sekolah sebagai tempat peristirahatan, sekolah sebagai pengatur pertumbuhan badan yang proporsional dengan asupan gizi yang optimal.
Keenam, sekolah memberikan layanan pengembangan keyakinan dan kepercayaan dari orang tua sesuai dengan agama yang dimiliki orang tuanya. Sekolah mempersiapkan guru agama sesuai dengan masing-masing agama orang tua anak.
Pihak sekolah menjamin anak menganut dan komitmen terhadap keyakinan tersebut, secara demokratis dan pluralis. Agama dijadikan basic character diri anak. Pembangunan karakter anak berbasis pada keyakinan yang dianut anak, berbasis kepada keyakinan orang tua, tidak boleh sekolah mengintervensi keyakinan anak sesuai dengan misi sekolah. Misi sekolah hanya menumbuh kembangkan jiwa dan raga anak berbasis talenta dan keyakinannya masing-masing.
Mudah-mudahan beberapa organisasi sosial kependidikan dapat mengembangkan layanan ini, sesuai dengan kebutuhan di masa ini, dengan mengedepankan pelayanan dari pada usaha ekonomi kreatif.
Tentu, untuk menunjang keberlangsungan pelayanan, tetap menghitung cost operational yang adil dan berkemampuan.***
0 Komentar