Oleh Dr. H. Shofwan Karim Elhussein, MA
PENGANTAR REDAKSI
Setiap akan Pemilihan Umum (pemilu) atau pemilihan-pemilihan pimpinan partai politik, ada dinamika tarik ulur yang hebat di kalangan kader Muhammadiyah. Ada yang membolehkan kadernya terjun ke gelanggang politik praktis, tapi dengan syarat tak boleh memimpin Muhammaiyah. Ada juga yang toleran dan memboleh begitu saja.
Bagaimana sesungguhnya posisi pimpinan dan anggota Muhammadiyah di kegiatan politik praktis itu? Berikut adalah ulasan tokoh Muhammadiyah Dr. H. Shofwan Karim Elhussein, MA. Ulasan ini kami terbitkan kembali setelah melalui pengeditan seperlunya, dari essay beliau yang sudah terbit di potretkita.net (kini potretkit4.blogspot.com).***
OPINI, kiprahkita.com -- Buya Allah Yarham Ketua PP Muhammadiyah (waktu itu belum ada istilah Ketua Umum) Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif, MA (1935-2022) menyebut, Muhammadiyah itu yatim-piatu politik.
Ketua umum yang sekarang, Prof. H. Haedar Nashir pernah mengatakan, meski Muhammmadiyah menggerakkan amal usaha 164 perguruan tinggi, 28 ribu BA-TK, MIN, SD, SLTP-SLTA, lebih 150 rumah sakit, ribuan panti asuhan dan seterusnya, tetapi bila ada Pemilu, yang dihitung itu jumlah setiap kepala warga Muhammdiyah-Aisyiyah, organisasi otonom, dan amal usaha jadi tidak seberapa. Hingga sulit sekali menang, kalau ada kader yang paten Muhammadiyahnya dan didukung pihak lain baru bisa menang.
Tafsiran tematik terhadap kedua contoh stigma itu, banyak lagi yang lain, politik itu penting. Saya membaca ulang Alquran Surat 3; 104, 110. Amar ma’ruf Nahy Mungkar (AMNM) itu tidak jalan sempurna, bila tidak dengan kekuasaan.
Bagitu menurut Tafsir Ibnu Katsir dan Said Qutub dalm Kitab Tafsirnya. Bedanya yang pertama graduatif-bertahap dan yang kedua langsung: tanpa kekuasaan, AMNM itu nihil.
Itulah sebabnya Prof H. Amien Rais dan Prof H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, Ketua dan Ketua Umum PP Muhammadiyah, (1995-1998; 2005-2015) terjun ke dunia politik.
Sejalan dengan itu Drs Hajrianto Thohari, MA menjadi petinggi Golkar, kemudian menjadi wakil ketua MPR dan Dubes di Libanon. Mereka segelintir tokoh Muhammadiyah struktural, biologis, genetik dan ideologis.
Yang lain, tokoh Muhammadiyah kultural, biologis, genetik, ideologis. Untuk menyebut di antaanya adalah H. Irman Gusman yang menjadi wakil ketua dan ketua DPD RI 2004-2009; 2009-2016. H. Darul Siska di Fraksi Golkar DPR RI 1997-1999; 2019-2024. dan H. Guspadi Gaus, dari DPRD Sumbar melompat menjadi anggota DPR RI 2019-2024.
Kemudian dari Fraksi PAN. H. Asli Chaidir, SH dari DPRD Sumbar ke DPR RI 2014-2019. H. Leonardy Harmainy, dari ketua DPRD Sumbar menjadi DPD RI 2016-2024. Hj. Emma Yohanna, DPD RI 2009-2024 dan banyak lagi tokoh yang lain.
Kembali ke tokoh struktural, Amien Rais menjadi motor utama pendirian Partai Amanat Nasionnal (PAN) 23 Agustus 1998. Menjadi Ketua MPR RI (1999-2004). Kemudian mendirikan Partai Umat 1 Oktober 2020.
Din Syamsuddin pernah menjadi Wakil Sekjen Golkar sebelum 1998 dan Dirjen Binapenta pada Kemenaker. Pasca Ketum PP Muhammadiyah, mendirikan Ormas Pergerakan Indonesia Maju (2016). Beliau mendeklarasikan Partai Pelita, 28 Februari 2022.
Kedua tokoh utama Muhammadiyah pada zamannya itu berazam menjadi Presiden RI . Begitu menurut portal beberapa media main-stream dan situs online.
Tujuan yang sangat ikhlas dan sangat mulia. Meskipun Partai Umat lolos verifikasi untuk Pemilu dan Partai Pelita, belum untuk Pemilu 2024. Tentu saja bila didalami ke lubuk hati keduanya dengan mendalam niat azam tadi mungkin masih terpendam.
Kiranya sudah menyebar dan meresap semua semangat pengabdian poilitik tadi itu ke kader Muhammadiyah di berbagai wilayah, provinsi dan daerah kota-kabupaten di seluruh Indonesia.***
0 Komentar