Universalitas Taufiq Ismail (II)

Siswa SMA di luar negeri bisa menghasilkan sedikitnya satu karangan dalam sepekan, 18 karya tulis dalam satu semester, 36 topik tulisan dalam setahun, dan 108 karya tulis dalam tiga tahun. Di Indonesia, untuk mendapatkan siswa yang mampu menghasilkan satu karangan saja dalam setahun sudah sulit.

Oleh Musriadi Musanif, S.Th.I

(Wartawan Utama/Korda Singgalang Kabupaten Tanah Datar)


PADANG PANJANG, kiprahkita.com - Latar belakang kepenyairan Taufiq Ismail adalah ajaran Islam dan budaya Minangkabau. Itu tentu tersangkut erat dengan posisinya sebagai tokoh masyarakat Minangkabau dan ulama di jalur kepenyairan.

Taufiq Ismail

SERIAL SEBELUMNYA


Taufiq adalah putra kedua pasangan Tinur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek dengan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Jambu Air, Bukittinggi. Putra pertama pasangan ini bernama Taufiq Ismail, dilahirkan di Pekalongan pada 2 Februari 1934. Seminggu kemudian, Taufiq Ismail bayi ini meninggal dunia.


Ketika hamil kedua, Tinur dipanggil oleh ibu dan mertuanya di Pandai Sikek dan Jambu Air, dekat Bukittinggi, agar melahirkan di kampung halaman. Akhirnya, pada 25 Juni 1935, wanita yang merupakan tamatan pertama Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang itu melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat.


Kabar kelahiran putranya diberitakan oleh Tinur kepada suaminya di Pekalongan, sekalian menanyakan nama yang akan dilekatkan pada bayi yang baru lahir tersebut. “Beri nama Taufiq pada anak kita,” jawab A. Gaffar Ismail  yang merupakan alumni Perguruan Thawalib Parabek melalui telegram.


Jan diagiah namo anak nan alah mati. Singkek umuanyo baiko (jangan diberi nama anak yang sudah meninggal dunia. Nanti umurnya singkat),” demikian reaksi yang muncul menyatakan ketidaksetujuan atas nama yang diberikan ayahnya, karena dianggap bayi ini akan cepat menyusul abang sulungnya yang meninggal dunia.


Reaksi itu pun kembali dilaporkan ke Pekalongan. Telegram balasan datang: “Tetap nama anak kita Taufiq. Allah yang menentukan panjang pendek umur, bukan nama.”


Demikianlah rasa tauhid dalam praktek kehidupan disampaikan kepada masyarakat, melawan tahyul dan tradisi yang tidak Islami. Kendati dikhawatirkan berumur singkat karena memakai nama anak yang telah meninggal, namun faktanya menunjukkan bukti lain, bayi itu kini telah mencapai usia 88 tahun.


Taufiq menjalani pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Solo, Semarang dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, SMA di Pekalongan dan Whitefish Bay, Wisconsin, Amerika Serikat. Dia bercita-cita menjadi sastrawan sejak kecil, dan untuk menopang nafkah sebagai sastrawan, dia ingin memiliki usaha peternakan.


Karena itu, dia kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia (kini bernama Institut Pertanian Bogor), tamat tahun1963. Taufiq ternyata gagal jadi pengusaha ternak, tetapi berhasil menjadi penyair.


Taufiq adalah salah seorang pendiri majalah sastra Horison pada tahun 1966. Kini dia menjabat sebagai redaktur senior pada majalah kenamaan itu. Taufiq tercatat sebagai seorang pendiri Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1968.


Dia telah menulis lebih dari 14 judul buku sastra sejak tahun 1966. Bersama Himpunan Musik Bimbo, Ian Antono, Chrisye, Dwiki Darmawan dan lain-lain, Taufiq telah menelorkan hampir 100 judul lagu.


Prof. Victor A. Pogadaev dalam prakatanya pada buku Dengan Puisi, Aku; 1 Puisi, 80 Bahasa, 80 Tahun menyebut, banyak puisi Taufiq Ismail menurut spritulitas dalaman ialah sangat religius. 

Renungan tentang timbang rasa, keadilan, amoralitas, totalitarisme adalah sesuai dengan religiusitas mendalam sang penyair. “Saya merasa lebih dekat dengan Allah bila bersajak,” kata Taufiq, sebagaimana dikutip Pogadaev.


Memasuki usia 88 Tahun, komitmen Taufiq tak kunjung kendor dalam mengawal sastra dan budaya nasional. Menegakkan panji-panji kebenaran ajaran Islam yang diyakininya. Dengan Puisi, Aku….Taufiq mengawal Indonesia dari serangan arus global dan komunisme.


“Akhir-akhir ini, ada upaya-upaya kalangan tertentu untuk menyudutkan para ulama dan umat Islam dengan mengungkit-ungkit sejarah. Ironisnya, pertemuan itu dilakukan di luar negeri. Mereka memojokkan  Islam dan menuduh ulama-ulama memotori pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) terhadap anggota Partai Komunis Indonesia alias PKI,” ujar Taufiq, mengungkapkan kerisauan.


Menurut Taufiq, tuduhan terhadap ulama dan umat Islam yang berbuat kejam terhadap anggota PKI, terutama pascapemberontakan PKI 30 September 1965, sungguh tidak fair. Mereka yang mengaku budayawan Indonesia dan memojokkan Indonesia di luar negeri itu, sebut Taufiq, tidak pernah menyebut-nyebut pemberontakan PKI yang melakukan pembantaian di Madiun pada tahun 1948.


Dikatakan, pembantaian yang dilakukan PKI di Madiun merupakan pengkhianatan luar biasa yang dilakukan tokoh PKI bernama Moeso, saat bangsa ini masih lemah, karena baru dua tahun diproklamasikan sebagai negara merdeka.


Para budayawan dan sastrawan yang bernaung di bawah bendera PKI, tegasnya, cenderung memojokkan ulama dan bangsa Indonesia dan menutupi sejarah kelam pemberontakan dan pembantaian yang pernah mereka lakukan.


“Sastra dan budaya adalah lini kehidupan yang saya tekuni. PKI juga punya sejumlah sastrawan dan budayawan yang hingga kini masih terus bergerak sampai ke Eropa. Mereka senantiasa cenderung memojokkan bangsa ini yang berasaskan Pancasila. Saya amat prihatin melihat realitas demikian,” ujar Taufiq yang juga menyandang gelar adat Tuanku Pujangga Diraja.


Untuk mengawal bangsa ini agar tidak dipojokkan terus, Taufiq menyebut, dia bersama sejumlah sastrawan dan budayawan muslim Indonesia terus bekerja keras dan ‘mengejar’ mereka hingga ke mancanegara.


Menurut Taufiq, untuk mengawal bangsa ini, terutama dari sisi sastra dan kebudayaan, memang dibutuhkan adanya dukungan berbagai kalangan. Kalau itu hanya dilakukan sastrawan dan budayawan Pancasila semata, sebutnya, jelas tidak akan membuahkan hasil maksimal.


“Semua pihak harus saling bekerjasama. Saya merindukan perdamaian total. Dua utas rantai sangat panjang terjela-jela ke tanah air kami, satu dari kuburan Karl Marx di London, dan satu lagi dai Mausoleum Vladimir Lenin di Moskow, yang membelit kami sebagai bangsa lebih dari setengah abad lamanya. Kami harus menetak rantai itu, menghancurkannya berkeping-keping, dan menguburkannya,” ujar Taufiq.


RUMAH PUISI

Ketika berkunjung ke Rumah Puisi yang didirikannya di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, tempat yang paling strategis untuk memandang lepas ke Nagari Pandai Sikek, kita akan angkat topi. Hormat setinggi-tingginya menyaksikan puisi beliau yang dikemas ke dalam berbagai format.


Di halamannya yang penuh bunga-bunga indah, puluhan puisi pilihan karya Taufiq Ismail sepanjang masa, digantung indah di tonggak-tonggak yang dibuat khusus. Ada juga puisi-puisi karya para penyair dari Ranah Minang dan berbagai daerah lainnya/


Di titik-titik lainnya, puisi-puisi fenomenal beliau dikemas dalm format baliho, lalu dipasang di dinding-dinding bangunan yang sehari-harinya digunakan sebagai rumah tamu penyair, tempat yang sangat strategis dipandang dari dalam ruang pertemuan Rumah Puisi.


Di dalam ruangan Rumah Puisi, selain menyimpan ribuan buku, juga terdapat beberapa media peraga hasil penelitian beliau, terkait masih rendahnya apresiasi pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap dunia kepenyairan dan baca-tulis.


Rumah Puisi? Ya, itu adalah pengejawantahan Jo Puisi, Denai….dalam format lain. Jo Puisi, Denai….akan mendidik masyarakat Indonesia mencintai puisi, gemar menulis, dan cinta membaca. Jo Puisi, Denai….mendidik anak-anak di kampung halaman menjadi cinta dan hafalan Al-Quran. Semua, dikemas apik dari Rumah Puisi itu.


Rumah Puisi merupakan akumulasi kegiatannya, untuk meningkatkan budaya baca buku dan kemampuan menulis generasi muda bangsa Indonesia, selama beberapa dasawarsa terakhir. Pada Desember 2008, Taufiq Ismail bersama istrinya; Ati Ismail, mendirikan Rumah Puisi di Nagari Aia Angek, Kecamatan X Koto, Tanah Datar.


Terletak di ketinggian Ranah Minang. Diapit dua gunung kebanggaan masyarakat Sumatra Barat; Gunung Marapi (2.968 mdpl) dan Gunung Singgalang (2.877 mdpl). Hampir setiap saat ditutupi kabut dengan embunnya yang lembut.


Dari pesona alam yang demikian luar biasa itulah, Rumah Puisi mengayuh bakti menabur karya untuk negeri. Jo Puisi, Denai….teraplikasi dalam bentuk karya nyata nan monumental.


Sejak memulai operasional di penghujung 2008 silam, Rumah Puisi telah mempersembahkan hal-hal yang amat luar biasa untuk mengharumkan kembali Sumatra Barat di mata dunia. Ada banyak agenda sastra dan budaya yang dilakukan. Ada banyak sastrawan berkaliber nasional dan internasional yang telah unjuk kebolehan dari simpul ini.


“Ini adalah karunia Allah terbesar yang dianugerahkan kepada saya. Dari tempat yang begini indah, kami terus berupaya menggenjot pembangunan kesusastraan dan kebahasaan untuk kejayaan Indonesia. Hampir tak masuk akal rasanya dahulu, Rumah Puisi ini bisa dibangun,” kata Taufiq dalam suatu kesempatan berbincang khusus dengan beliau.


Rumah Puisi telah dikunjungi belasan ribu orang dari Eropa, Amerika, Malaysia, Singapura, dan kota-kota di Indonesia. Selain bisa menikmati ‘kebun puisi’ yang ditanami di sekeliling gedung utama, pengunjung juga dapat menikmati puluhan ribu koleksi buku Taufiq Ismail yang terhimpun ke dalam tujuh ribuan judul.


Rumah Puisi ini mendapat pujian dan decak kagum dari berbagai pihak, karena mampu memperkaya jiwa dan menambah pengetahuan. Ya, Dengan Puisi, Denai… memajukan kampung halaman Ranah Bundo dan negeri tercinta Republik Indonesia.


Saat berada di Komplek Rumah Puisi, penyair Jerman Berhold Damshauser dan maestro biola Indonesia Idris Sardi (almarhum), mengaku seakan-akan berada di sorga Ranah Minang yang demikian luar biasa mempesona. “Ini sesuatu yang amat luar biasa mengagumkan. Seakan tak percaya, Taufiq Ismail bisa mendapatkan lokasi pembangunan Rumah Puisi yang begini hebat,” kata keduanya dalam kesempatan terpisah.


Menurut Taufiq, pembangunan Rumah Puisi bermula dari gagasannya bersama sang istri, Ny. Ati Taufiq Ismail. Tumbuh dari pengalaman kolektifnya bersama tim redaktur Majalah Sastra Horison, dan sejumlah sastrawan Indonesia dalam suatu program yang diberi nama gerakan membawa sastra ke sekolah sejak 1998 hingga 2008.


Lewat gerakan itu, kata dia, telah berhasil dilatih 2.000 guru dalam program Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) selama enam hari di sebelas kota, melibatkan 113 sastrawan dan sebelas aktor dan aktris, masuk ke 213 SMA untuk membacakan karya sastra dan bertanya jawab dengan siswa dan guru di 164 kota yang terletak di 31 provinsi dalam kegiatan bertajuk Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB).


Program itu, tambah Taufiq, telah berhasil pula menyalurkan tulisan siswa dan guru dalam sisipan Kaki Langit selama sebelas tahun dalam Majalah Horison, menerbitkan delapan antologi puisi, cerpen, fragmen novel, drama dan esai dengan tiras 37 ribu, tebal 2.280.120 halaman yang dikirim ke 4.500 perpustakaan SMA negeri dan swasta di Indonesia.


Masih dalam kerangka itu, telah pula berhasil dibentuk 30 sanggar sastra di seluruh Indonesia, yang kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan budaya baca buku, dan kemampuan menulis anak bangsa.


Kegiatan yang pada awalnya berbasis dari Jakarta dan meluas ke 164 kota di Indonesia, maka dengan hadirnya Rumah Puisi, titik kulminasinya berpindah ke Nagari Aie Angek, dari bangunan indah bernama Rumah Puisi, dimana Taufiq Ismail dengan leluasa bisa menikmati keindahan kampung halamannya, Nagari Pandai Sikek, yang terletak persis di pinggang Gunung Singgalang.


Rumah Puisi yang dana awal pembangunannya bermula dari hadiah sastra Habibie Award yang diterima Taufiq Ismail pada tahun 2007. Nilainya adalah USD 25 ribu atau setara dengan Rp200 juta setelah dipotong pajak. Kini, setelah menjalani kegiatan pencerdasan anak bangsa selama 15 tahun. Jo Puisi, Denai….akan tetap berjuang mencerdaskan anak bangsa.


Pemberian nama sebagai Rumah Puisi, menurut Taufiq, tidaklah dimaknai dalam kosa kata yang sempit sebagai pusat kegiatan yang semata-mata berkait persajakan saja, tetapi merangkum seluruh aktifitas yang bersangkutan dengan literatur, literasi, karya sastra, pembacaan dan pelatihan penulisannya dengan warna keindahan puitik sebagai intinya.


“Sesungguhnya, seluruh karya sastra, mencakup sajak, cerpen, novel, drama, esai dan sebagainya, pasti memiliki keindahan puitiknya masing-masing yang khas. Demikianlah, istilah puisi menjadi kata sifat bersama dan payung dari seluruh karya sastra,” ucap Taufiq.


Adalah benar, berkunjung ke Rumah Puisi seakan kita berada di suatu tempat, di mana semua kenyamanan dan kesejukan, terangkum dalam sebuah kemasan yang sangat menarik.


Pesona alam yang terhampar demikian mengagumkan beserta udara yang begitu sejuk, ditambah dengan taman-taman berisi kata-kata indah, yang bergelantungan di tiang-tiang khusus, taman yang tertata dengan apik, serta gedung-gedung artistik bercita rasa seni tingkat tinggi, membuat kita selalu merasa kekurangan hari, dan kehabisan kata-kata untuk menjelaskannya.


Hadirnya Rumah Puisi tak bisa dilepaskan dari kekecewaan Taufiq bersama sejumlah penyair nasional atas fakta menyedihkan, di mana kemampuan mengarang dan membaca para siswa di Indonesia amat rendah.


Siswa SMA di luar negeri bisa menghasilkan sedikitnya satu karangan dalam sepekan, 18 karya tulis dalam satu semester, 36 topik tulisan dalam setahun, dan 108 karya tulis dalam tiga tahun. Di Indonesia, untuk mendapatkan siswa yang mampu menghasilkan satu karangan saja dalam setahun sudah sulit.


Rendahnya kemampuan mengarang, sebut Taufiq, tentu tidak bisa pula dilepaskan dari tradisi membaca. Seseorang yang banyak membaca, dipastikan akan semakin produktif dalam menghasilkan tulisan.


Di Amerika Serikat, siswa SMA diwajibkan membaca minimal 8-9 judul buku sastra dalam setahun. Tujuannya bukanlah menjadikan siswa sastrawan, tetapi untuk menumbuhkan dan menyuburkan budaya baca buku pada umumnya.


Setelah terbentuk budaya baca buku sastra, imbuh Taufiq, siswa yang sudah terbiasa membaca sebagai tugas di sekolah itu, akan memilih buku yang memang disukainya dan dirasakannya perlu dibaca untuk kehidupannya, baik di sisi pendidikan maupun politik, bisnis, arsitektur, agama, kedokteran dan seterusnya.


“Masukan bacaan ditambah dengan pengalaman hidup, menjadi bahan tulisan dan perbendaharaan memori penyair, tidak hanya karya sastra, tetapi juga karya penulisan di bidang apapun. Makin banyak bahan yang masuk, makin kaya perbendaharaan bahan yang akan dapat dipergunakan dalam menulis di masa jauh ke depan. Puisi hanyalah salah satu di antara banyak kemungkinan,” sebut Taufiq.(bersambung)

Posting Komentar

0 Komentar