Mempertuhankan Hawa Nafsu

Oleh Drs. H. Talkisman Tanjung

Praktisi Dakwah dan Guru di Mandailing Natal

 

OPINI, kiprahkita.com - Apabila kita membuka napak tilas perjalanan kehidupan dan kepemimpinan Rasulullah SAW, maka akan ditemukan berbagai mutiara kehidupan dan kepemimpinan yang luar biasa.


Fakta itu sekaligus sangat pantas untuk dijadikan contoh tauladan bagi kehidupan kita apalagi sebagai seorang pemimpin. Tidak ada persoalan yang dimintai solusi kepada Rasulullah, kecuali umat akan mendapatkan jalan keluar dan solusi terbaik.


Tidak ada persoalan hukum yang menjerat kehidupan seorang sahabat, kecuali selalu menemukan keadilan dari keputusan Rasulullah SAW. Artinya, seluruh bentuk hidup dan kehidupan ummat dengan seluruh persoalan yang meliputinya, senantiasa berbuah solusi indah, berkeadilan dan jauh dari kezholiman.


Sehingga Allah SWT menyatakan dengan tegas, bahwa di dalam diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik, hal itu ditegaskan di dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 21 :


...لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة، لمن كان يرجوا الله واليوم الاءخر، وذكر الله كثيرا...


"....sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), yaitu bagi siapa yang mengharapkan perjumpaannya dengan Allah dan hari akhir, serta mereka banyak berdzikir kepada Allah SWT."


Sementara, bila dilihat realita kehidupan dan kepemimpinan hari ini justru banyak yang bertolak belakang dengan Rasulullah SAW.


Al-Quran Surat Al-Jaatsiyah : 23 telah menginformasikan kepada kita bahwa sebenarnya apa yang dilihat dan disaksikan hari ini, sebenarnya sudah ada di masa lalu, sehingga Allah SWT menegaskan :


افرءيت من اتخذ الهه هواه واضله الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصاره غشاوة فمن يهديه من بعد الله افلا تذكرون.( الجاثية : ٢٣)


"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan penutup atas penglihatan matanya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka apakah kamu tidak ber'akal?"


Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa siapa saja yang menjadikan hawa nafsunya menjadi Tuhan, maka Allah sangat tidak menyukainya, sehingga seluruh fasilitas yang diberikan-Nya berupa pendengaran, hati, penglihatan, yang semestinya tanggap terhadap kebenaran, tetapi justru semuanya tidak berfungsi.


Pendengaran dan hatinya akan dikunci, sedangkan penglihatannya akan dihalangi oleh penutup, sehingga tidak sedikitpun akan bisa berfungsi merespon kebenaran. Dan Allah membiarkannya sesat secara permanen, sehingga siapapun tidak akan mampu meberinya petunjuk. 


Sudah demikian jelasnya rambu-rambu Allah berikan secara gamblang kepada ummat manusia, tetapi justru masih saja banyak diantara kita apalagi sebagai pemimpin yang cenderung mengabaikan rambu-rambu Allah SWT ini, sehingga di ujung ayat Allah SWT memberikan pertanyaan yang sangat menyakitkan, yaitu : "apakah kamu tidak berakal?"


Ketika hawa nafsu yang mengendalikan hidup dan kepemimpinan, maka tidak ada lagi yang namanya etika dan hati nurani. Praktek penjajahan di masa lalu adalah contoh dari mempertuhankan hawa nafsu.


Sementara hari ini praktek korupsi, kolusi dan nepotisme juga potret dari hawa nafsu yang berkuasa. Penggusuran pemukiman rakyat dengan alasan mega proyek yang akan dijalankan adalah bentuk dari manifestasi bertuhan kepada hawa nafsu. 

     

Yang menjadi masalah bagi kemanusiaan universal adalah, orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan, dia akan menjadi sesat secara permanen, dan tidak ada peluang sedikitpun untuk bisa menerima kebenaran atau petunjuk, dan akibatnya ketika kekuasaannya berlangsung lama, karena selalu menang dalam pemilihan umum akan membawa kepada kerusakan, bencana dan kehancuran bagi kemanusiaan universal.


Semoga kita bisa membaca yang tersurat dan tersirat di balik firman Allah ta'ala ini, demi keberlangsungan kemanusiaan yang berkeadilan, sebagaimana kepemimpinan Rasulullah SAW dalam membangun peradaban Islam, sehingga sebuah kota yang heterogen, awalnya memperlihatkan  konflik-konflik sosial, ekonomi, budaya, hukum dan keamanan.


Apakah itu dipicu oleh persoalan Suku, Agama dan Ras (SARA) atau oleh persoalan yang lain, akhirnya bisa disulap dan dilakukan perubahan secara signifikan dengan keadaan terbalik 180 derajat.


Sebagai buah dari keberhasilan tersebut diabadikan oleh Rasulullah SAW dengan merubah nama Yatsrib menjadi MADINATUL MUNAWWARAH, sebuah kota yang tercerahkan.***

Posting Komentar

0 Komentar