Oleh Dr. Suhardin, S.Ag., M.Pd.
Sekretaris Lembaga Pemuliaan Lingkungan dan SDA
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
OPINI, kiprahkita.com - Berbagai sebutan kemulian disandangkan kepada Ramadhan, bulan penuh keagungan, bulan penuh barokah, bulan kemuliaan, penghulu bulan dan sebagainya.
Sebutan tersebut menandakan betapa agung dan mulianya bulan Ramadhan. Betapa tidak? Karena bulan Ramadhan tersebut pusat spiritualisasi, pada bulan tersebut segenap orang-orang beriman, mengasah keimanannya agar lebih tajam dan kuat signalnya, sehingga betul-betul bersama dengan Allah SWT.
Di bulan Ramadhan para Muttaqien mengasah ketaqwaannya agar lebih ngejreng lagi, sehingga betul-betul dirasakan manfaat dirinya oleh orang lain.
Ia menjadikan dirinya bermanfaat dengan menabur sedekah, ia berusaha untuk menjadi seorang pemaaf dengan menjadikan puasanya sebagai perisai jika terjadi perselisihan, ia berusaha beristighfar dalam kondisi tubuh yang tengah lapar, agar lebih fokus menghadap Allah SWT, dimana saja dan kapan saja, sehingga implementasi ihsan praktis diterapkan oleh personality shoimun.
Namun fenomena menarik pada Bulan Ramadhan, pertama, bangkitnya industri rumah tangga, bermunculan usaha kecil menengah, penjual takjil, di pinggiran jalan utama, semenjak dari selesai Shalat Dzuhur sampai dengan selesainya pelaksanaan qiyamur Ramadhan.
Kedua, banyaknya kegiatan bukber (buka bersama), masing-masing komunitas mengundang komunitasnya melaksanakan kegiatan buka bersama, demikian juga kantor melaksanakan kegiatan yang sama, termasuk pada jajaran kementerian.
Waktu Ramadhan adalah momentum yang sangat strategis untuk bersilaturahmi, saling bertemu, bercakap dan bercengkrama, karena kita makan dan minumnya terjadwal dengan baik dan teratur.
Ketiga, sahur on the road, berbagi sahur di jalanan, dalam rangka memupuk kepedulian para millennial dan para komunitas untuk berbagi dengan pekerja di jalanan, termasuk pedagang asongan, gelendangan, dan penikmat begadang malam.
Keempat, volume masakan keluarga yang kebanyakan mengalami over volume dibandingkan dengan memasak pada hari biasa.
Pada bulan Ramadhan beraneka ragam jenis masakan dihidangkan, untuk membangkitkan selera makan di waktu berbuka. Mungkin karena tingginya tingkat keinginan untuk memakan makanan tertentu, disebabkan oleh suasana biologis yang tengah menahan rasa lapar.
Keempat fenomena di atas jelas menghasilkan volume sampah (waste) yang berlebih juga, dibandingkan dengan hari biasa. Kebanyakan tempat pembuangan akhir sampah sudah mengalami over capacity, tidak sanggup lagi menerima beban sampah, maka menyikapi hal ini dibutuhkan kesadaran para shoimun untuk memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kemubaziran dalam berbelanja dan mengkonsumsi.
Para shoimun sukses dalam menahan rasa lapar dan dahaga semenjak terbit fajar sampai tenggelam matahari, tetapi kebanyakan juga mengganti jadwal makan saja.
Selesai berbuka semua yang menjadi keinginan dari siang langsung di jamak dalam waktu malam, sehingga tidak ada bedanya antara volume makan di hari biasa dibandingkan dengan di bulan Ramadhan, malah terkadang lebih banyak makan di bulan Ramadhan dibandingkan dengan di bulan biasa.
Perbelanjaan keluarga juga, lebih tinggi biaya di bulan Ramadhan dibandingkan dengan di bulan biasa. Hasilnya kontribusi sampah di bulan Ramadhan lebih banyak dibandingkan dengan di bulan biasa.
Hal ini perlu menjadi perhatian dengan cara, pertama, mengubah life style masing-masing individu dan keluarga, bahwa ibadah puasa, hakekatnya adalah imsak, menahan secara substansi di hari yang dilarang, semenjak terbit fajar sampai dengan tenggelam matahari, tetapi imsak yang hakiki, mengendalikan keinginan, hawa nafsu dari pola hidup yang consumerism.
Kedua, melakukan kegiatan praktis, daur ulang sampah di rumah tangga masing-masing. Diawali dengan pemilahan sampah organic dan unorganic.
Sampah organic dicoba untuk melakukan daur ulang dengan membuat pengolahan keluarga, sehingga lebih bermanfaat untuk kegiatan kompos. Kalau dapat dikelola oleh komunitas di lingkungan rukun tetangga.
Sampah unorganic, sedapat mungkin dikumpulkan dimasukkan ke dalam bank sampah, kalau memungkinkan juga diberikan kepada masjid-masjid yang melaksanakan program gerakan sedekah sampah (GRADASI) yang dikelola oleh organisasi kemasyarakatn Islam, dan kegiatan keagamaan lain, dan langsung menjadi bagian dari Gerakan Majelis Ulama Indonesia.***
0 Komentar