OPINI, kiprahkita.com - Puyu. Itulah kata pertama yang diucapkannya, ketika bertemu dengan saya. Selalu! Sekitar tahun 1988-1996, di Komplek Perguruan Muhammadiyah Kauman, Padang Panjang, Sumatera Barat.
Selalu disapa begitu, saya tidak marah, tidak pula tersinggung.
Waktu itu, saya aktif di Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) setempat sebagai sekretaris umum berlanjut ke ketua umum. Kemudian, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Padang Panjang, juga sebagai sekretaris umum yang pada periode berikutnya berlanjut sebagai ketua umum.
Lantaran kapasitas sebagai pimpinan organisasi itu pulalah, saya sering berurusan dengan sang buya –waktu itu masih dipanggil bapak senior karena masih berusia muda. Setiap bersua, nyaris setiap hari, “Puyu” adalah kata pertama yang meluncur ringan dari mulutnya menyapa.
Sebenarnya, bukan hanya saya yang disapa dengan sebutan “Puyu” itu, tapi ada beberapa Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) lainnya di Padang. Ya, di Padang. Itu yang saya tahu. Apakah ada “puyu” lainnya di Bukittinggi atau Payakumbuh pada masa itu, saya tidak tahu persis.
Sering-sering dipanggil “Puyu”, akhirnya penasaran juga. Selidik punya selidik, rupanya, panggilan itu adalah sapaan motivasi. Dia ingin, AMM pada zaman itu meniru sifat ikan puyu, yang untuk hidup dan sukses, tidak memerlukan genangan “air mewah” seperti lubuk dengan air bersih atau sungai yang jernih.
Puyu adalah jenis ikan yang mudah hidup di rawa-rawa, kolam, sungai, atau habitat bermedan berat lainnya.
Puyu tergolong ikan yang agresif. Kemampuan bertahan hidupnya juga sangat baik, dan berada di atas rata-rata ikan lainnya. Sebagai contoh ia akan tetap bisa bertahan hidup, meskipun kolam tempatnya berada, kekurangan air.
Dalam keadaan normal, sebagaimana ikan umumya, puyu bernafas dalam air dengan insang. Akan tetapi seperti ikan gabus dan lele, puyu juga memiliki organ labirin (labyrinth organ) di kepalanya, yang memungkinkan alat ini sangat berguna, manakala ikan mengalami kekeringan dan harus berpindah ke tempat lain yang masih berair.
Puyu mampu merayap naik dan berjalan di daratan dengan menggunakan tutup insang, yang dapat dimekarkan dan berlaku sebagai ‘kaki depan’. Namun tentu saja ikan ini tidak dapat terlalu lama bertahan di daratan. Kalau hampir mencapai seminggu, harus segera mendapatkan air.
Ah, sudahlah! Siapa sih yang tega-teganya memanggil dengan sapaan “Puyu” itu? Beliau adalah Drs. H. Adrian Muis Chatib Saripado. Saya memanggilnya dengan Mak Katik. Waktu itu, sapaan ayahanda, ibunda, dan kakanda, belum populer di internal warga Persyarikatan Muhammadiyah.
Mak Katik ini tidaklah sembarang orang. Waktu itu, beliau adalah Pembantu Dekan III/IV yang membidangi Kemahasiswaan, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat.
Beliau juga Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Padang Panjang Batipuh X Koto (Pabasko) yang membidangi Badan Koordinasi Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah (BKPAMM).
Lantaran kompetensinya itulah, Mak Katik selalu diminta jadi narasumber atau pemateri pada kegiatan-kegiatan IPM Pabasko dan IMM Padang Panjang. Ada tiga materi yang wajib beliau narasumbernya, yaitu ke-IMM-an, Problem Solving, dan Protokoler.
Selain Mak Katik, kalau beliau sedang berada di Padang Panjang dan tidak ada urusan dinas luar, maka tidak akan ada narasumber lain yang berani menggantikannya. Hampir selalu, ketika beliau jadi narasumber, saya jadi pemandu materinya. Terkadang, bergantian dengan Sulhan Harahap dan Nasoha.
Alhamdulillah, sedikit banyaknya tuah beliau dapat juga saya kantongi. Setelah Mak Katik kembali ke Padang, karena masa pengabdiannya selesai di FKIP UM Sumbar dan Kauman, materi-materi beliau banyak pula yang saya menggantikan jadi narasumber, khususnya Problem Solving. Sampai sekarang!
Bergaul dengan Mak Katik, bagi AMM Pabasko masa itu, amatlah menyenangkan. Orangnya gagah. Supel, sesekali suka guyon. Kalimat-kalimatnya banyak memotivasi dengan metode khasnya yang tegas. Tapi biasanya, kalimat-kalimat tegas itu selalu diakhiri dengan tawa.
Kalau berceramah, tidak saja sebagai narasumber pada pelatihan dan perkaderan, tetapi juga sebagai muballigh di masjid-masjid, beliau suka sekali membuat makalah yang dibagikan kepada jamaah. Saya sering jadi tukang ketik makalahnya, lalu digandakan oleh Mardalis dan Khairul Basman menggunakan mesin stencil.
Mardalis kini adalah dosen UM Sumbar di Bukittinggi dan PDM Bukittinggi, juga. Sedangkan Khairul, kini berkhidmad di tengah-tengah masyarakat di Nagari Balimbiang, Kecamatan Rambatan.
Ihwal membagi-bagikan makalah ketika berceramah, sampai saat ini saya cermati masih jadi kebiasaan beliau.
Sisi unik lainnya dari Mak Katik, yang pada 1985-1990 tidak disukai warga Muhammadiyah adalah bercuap-cuap di udara menggunakan peralatan komunikasi radio dua arah. Pada masa itu disebut orang ‘radio orari’. Suara Mak Katik seakan selalu dinanti di frekuensi radio, baik Paguyuban Busur maupun frekuensi resmi.
Setahu saya, tidak ada orang Muhammadiyah selain Mak Katik pada masa itu yang punya radio dua arah tersebut. Apalagi, radio itu sering ‘disalahgunakan’ orang untuk mojok alias ngomong-ngomong mesra dan bercanda di udara.
"Berkenalan nama samaran
lewat gelombang radio
5973 angka untuk kamu ber-QSO
lalu cherio
cup ah cup ah cup ah
di udara aku menunggu
kau panggil namaku,
ku panggil namamu
papa alpha charlie alpha romeo
mengajakku gombal di udara
memang cinta asyik dimana saja
walau di angkasa
papa alpha charlie alpha romeo mengajakku gombal di udara".
Begitulah artis kenamaan tahun 1980-1990 Fariz Harja, menyorot penggunaan radio komunikasi dua arah dalam lirik lagunya. Dan, Mak Katik tidak sungkan-sungkan masuk ke dunia itu, walau sekadar mengucapkan “Assalamualaikum.”
Di samping kantor Dekan FKIP UMSB itu, berdiri megah sebuah antene tiga kumis berketinggian sekitar sepuluh meter, tersambung dengan kabel ke perangkat radio di ruang kerja Mak Katik.
Di kediamannya, di kawasan Guguk Malintang, juga demikian. Di kap mobil toyota kijangnya nan berwarna putih, juga ada antene portabel.
Pokoknya, untuk dunia yang satu itu, Mak Katiklah satu-satunya warga Muhammadiyah yang memasuki sepenuhnya.
Bercerita tentang Mak Katik, sungguh tidak akan ada habisnya. Banyak sisi-sisi keteladanan yang amat patut ditiru oleh AMM saat ini. Caranya berinteraksi dan memotivasi, sungguh amat mengena!
Selamat memasuki usia 70 tahun, Mak Katik. Beliau lahir pada 13 Juli 1954.(MUSRIADI MUSANIF, wartawan utama)
0 Komentar