Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd
(Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
SEBELUMNYA : KPAI Kecam Aksi Biadab Pengasuh Aniaya Balita
OPINI, kiprahkita.com - Kasus pengasuh menganiaya anak berusia 3,5 tahun alias balita, menjadi catatan tragedi memilukan dalam sejarah pengasuhan. Banyak hal, sesungguhnya yang bisa kita cermati dari kejadian ini.
Evaluasi total didukung dengan aspek hukum terhadap paradigma cara mengasuh, perlu terus kita lakukan. Kejadian-kejadian kekerasan di ranah privat, seperti anak yang meninggal di bunuh ayahnya di Jakarta Selatan. Kita tahu tetangga ingin sekali melaporkan, tapi ketika tidak ada RUU Pengasuhan Anak, maka itu semua akan mustahil terjadi.
Karena tidak ada mandat yang diberikan kita semua, dan negara bisa mewakili untuk melakukan intervensi ranah privat tersebut.
Karena dari tahun ke tahun, catatan pengaduan KPAI, kluster kekerasan di ranah privat yaitu pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif, trenya angkanya terus meninggi, harus ada upaya luar biasa melapisi, untuk mencegah, mengurangi, dan percepatan penanganan yang tepat. Dan itu tidak mungkin bila tidak berwujud payung kebijakan dengan RUU Pengasuhan Anak.
Agar hutang peradaban anak-anak kehilangan pengasuhan, yang data perceraian pasca pandemic terus meninggi, harusnya ada prasyarat kondisi, ada peran peran kuat yang bisa menggantikan.
Jangan sampai dari berbagai peristiwa ini, kita hanya mengumpulkan keprihatinan dan menyesali, dan tidak bisa berbuat apapun. Mari bergerak sahkan RUU Pengasuhan Anak.
Kita dorong akreditasi pengasuhan lembaga penyalur Pembantu Rumah Tangga (PRT), melalui RUU Pengasuhan Anak, guna dukungan pengasuhan semesta.
Selain itu, juga kapasitasi ini membantu dan membekali perempuan PRT, sebagai calon ibu atau juga memang sudah menikah dan memiliki anak, tetapi bekerja sebagai PRT dan meninggalkan anaknya di kost, kontrakan atau menitipkan orang di kampungnya.
Akreditasi ini, akan kita perkuat dan masukkan sebagai draft pasal baru di RUU Pengasuhan Anak. Juga sebagai pasal tambahan, para profesi yang bekerja dengan anak, untuk memiliki akreditasi pengasuhan anak. Karena ketika ada yang menggantikan peran pengasuhan dari rumah, tetapi tidak konek dengan kondisi rumah dan lingkungan, maka pengasuhan anak terancam tidak layak.
Setiap orang, badan, lembaga, organisasi, perusahaan punya kewajiban mendukung pengasuhan semesta ini dalam RUU Pengasuhan Anak.
Juga termasuk mereka yang menjalankan bisnis dengan ada unsur pengasuhan, ada karyawannya memiliki anak yang butuh perhatian khusus, pekerja anak, wajib melakukan akreditasi dengan meningkatkan kapasitas parenting, mekanisme referal, rujukan, konseling.
Setidaknya dalam kasus oknum pengasuh yang memukuli anak di Malang kita belajar.
1. Menganalisa, dari literasi membaca berbagai sumber berita.
Bahwa diduga ada pemicu dari luar, sehingga anak jadi pelampiasan. Karena maunya melampiaskan emosi kepada pemicunya, tapi jauh. Akhirnya anak jadi penggantinya, pelampiasannya.
2. Diduga kuat ada dampak ikutan panjang pasca perceraian pelaku, yang baru saja terjadi dan anak yang ditinggalkan di kampung. Membawa isu mental health.
Mungkin konflik ini sudah berumur setahun lebih dan tidak terselesaikan sampai sekarang. Jadi ada dampak ikutan yang panjang
3. Media pemicunya itu semua terjadi, diduga karena pelaku masih berkomunikasi dengan sumber masalah perkawinan dan perceraian (HP pelaku), termasuk perkawinan dini yang dialami pelaku
4. Ditambah pelaku, mungkin memang tidak pernah dikenalkan jiwa dan pengelolaan emosi, sehingga penyalurannya tidak terkendalikan.
5. Juga berlaku pesan, seperti di perjalanan untuk para driver, kalau untuk isu pengasuhan. Anda ngantuk, berhenti dan istirahatlah, berhenti di rest area berikutnya.
Bahwa dalam mengasuh "jika kondisi jiwa guncang, tidak stabil, segera ambil cuti dan istirahatlah." Hanya istirahatnya, perlu dilengkapi fasilitas pemulihan, pelatihan parenting dan sosialisasi hak anak.
6. Dalam menjawab, kenapa mau break atau istirahat atau cerai yang meninggalkan pengasuhan anak di kampung, berarti ada masalah yang harus dijawab. Lalu adakah lembaga penyedia layanan terdekat?
7. Disamping itu, ada isu perempuan juga di sini, karena baru bercerai. Suami pergi begitu saja, ditinggalkan anak, belum siap single fighter. Jadi masuk juga peristiwa ini, ke isu perempuan, yang terbebani ditinggalkan, single fighter tidak siap, tidak bisa membayangkan masa depan, gak sanggup.
8. Mungkin juga isu perkawinan dini kalau melihat tahun lahir pelaku. Yang dibilang Bappenas, sebagai akar berbagai masalah (kemiskinan, anak stunting, kerja tidak layak, tempat tinggal tidak layak)
9. Pentingnya mandat UU Pendidikan dan Layanan Psikologi yang memandatkan layanan jiwa yang layak untukk setiap orang, dibuka seluas-luas aksesnya untuk konseling situasi keluarga pasca perceraian, yang mengancam jiwa anak anak.
Jadi penting, dan perlu komperhensif. Kalau ingin tuntas, melihat permasalahan ini.
Dalam kasus itu ada isu perempuan sebagai pelaku, isu anak sebagai korban, isu anak yang ditinggalkan di kampung nya, isu pengasuhan, isu pengasuhan alternatif, dan pentingnya akreditasi lembaga melalui kehadiran RUU Pengasuhan Anak.
Juga, perlunya kepastian orang tua mengakses lembaga PRT yang memiliki akreditasi, dan pentingnya kluster kesehatan dan kesejahteraan anak menjadi kajian dalam kasus ini, sehingga penangananya holistik.***
0 Komentar