![]() |
dok google |
PADANG PANJANG, kiprahkita.com - Ada dua potensi bencana senantiasa mengintai masyarakat di Provinsi Sumatera Barat: Zona Megathrust di sepanjang pantai barat, dan Patahan Semangko yang membelah daratan Sumatera.
Patut kita sadari, rentetan peristiwa alam yang kemudian dapat memicu terjadinya bencana di Indonesia cenderung berulang. Oleh sebab itu, seluruh unsur, baik pemerintah maupun masyarakat, harus dapat mengenali ancaman dan terus meningkatkan kesiapsiagaan.
Pada setiap Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 16 April, potensi ancaman itu selalu diingatkan. Pemerintah Provinsi Sumbar dan kabupaten kota harus menyikapinya dengan bijak, jika tidak ingin korban semakin banyak yang berjatuhan.
Mengutip informasi dari wikipedia.org diketahui, Sesar Besar Sumatera (bahasa Inggris: Great Sumatran Fault) atau Patahan Semangko adalah bentukan geologi yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan, dimulai dari Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung.
Patahan inilah membentuk Pegunungan Bukit Barisan, suatu rangkaian dataran tinggi di sisi barat pulau ini. Patahan Semangko berusia relatif muda dan paling mudah terlihat di daerah Ngarai Sianok dan Lembah Anai di dekat Kota Bukittinggi.
Sumatera juga mempunyai sesar strike-slip yang besar, yang biasa disebut Sesar Sumatera besar (Great Sumatran Fault), yang menggerakkan sepanjang pulau.
Zona sesar ini mengakomodir sebagian besar gerakan strike-slip yang berasosiasi dengan konvergen oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.
Sesar tersebut berakhir di utara, tepat di bawah Kota Banda Aceh, yang pernah porak-poranda pada gempa bumi Samudra Hindia pada tahun 2004 lalu.
Semenjak gempa tersebut, tekanan pada Sesar Sumatra meningkat secara signifikan, terutama di wilayah utara. Patahan ini merupakan patahan geser, seperti patahan San Andreas di California.
Patahan Semangko terletak di antara Zona Semangko patahan Lampung. Bagian selatan dari blok Semangko terbagi menjadi bentang alam seperti pegunungan Semangko, Depresi Ulehbeluh dan Walima, Horst Ratai dan Depresi Teluk Belitung.
Terbentuknya Patahan Semangko bermula sejak jutaan tahun lampau saat Lempeng (Samudra) Hindia-Australia menabrak secara menyerong bagian barat Sumatera yang menjadi bagian dari Lempeng (Benua) Eurasia. Tabrakan menyerong ini memicu munculnya dua komponen gaya.
Komponen pertama bersifat tegak lurus, menyeret ujung Lempeng Hindia masuk ke bawah Lempeng Sumatera. Batas kedua lempeng ini sampai kedalaman 40 kilometer, umumnya mempunyai sifat regas dan di beberapa tempat terekat erat.
Suatu saat, tekanan yang terhimpun tidak sanggup lagi ditahan, sehingga menghasilkan gempa bumi yang berpusat di sekitar zona penunjaman atau zona subduksi. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi sampai suatu saat nanti kembali terjadi gempa bumi besar.
Gempa di zona inilah yang sering memicu terjadinya tsunami, sebagaimana terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004.
Adapun komponen kedua berupa gaya horizontal yang sejajar arah palung dan menyeret bagian barat pulau ini ke arah barat laut. Gaya inilah yang menciptakan retakan memanjang sejajar batas lempeng, yang kemudian dikenal sebagai Patahan Besar Sumatra.
Geolog Katili dalam The Great Sumatran Fault (1967) menyebutkan, retakan ini terbentuk pada periode Miosen Tengah atau sekitar 13 juta tahun lalu.
Lempeng Bumi di bagian barat Patahan Sumatera ini, senantiasa bergerak ke arah barat laut, dengan kecepatan 10 milimeter per tahun sampai 30 mm per tahun relatif terhadap bagian di timurnya.
Sebagaimana di zona subduksi, bidang Patahan Sumatera ini sampai kedalaman 10-20 km terkunci erat, sehingga terjadi akumulasi tekanan.
Suatu saat, tekanan yang terkumpul sudah demikian besar, sehingga bidang kontak di zona patahan tidak kuat lagi menahan dan kemudian pecah.
Batuan di kanan-kirinya melenting tiba-tiba dengan kuat, sehingga terjadilah gempa bumi besar. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali merekat dan terkunci lagi, dan mengumpulkan tekanan elastik sampai suatu hari nanti terjadi gempa bumi besar lagi.
Pusat gempa di Patahan Sumatera pada umumnya dangkal dan dekat dengan permukiman. Dampak energi yang dilepas dirasakan sangat keras, dan biasanya sangat merusak.
Apalagi gempa bumi di zona patahan, selalu disertai gerakan horizontal yang menyebabkan retaknya tanah, yang akan merobohkan bangunan di atasnya. Topografi di sepanjang zona patahan yang dikepung Bukit Barisan juga bisa memicu tanah longsor.
Adapun lapisan tanah yang dilapisi abu vulkanik, semakin memperkuat efek guncangan gempa. Beberapa tempat di Patahan Semangko, merupakan pula zona lemah yang ditembus magma dari dalam bumi.
Getaran gempa bumi bisa menyebabkan air permukaan bersentuhan dengan magma. Karena itu, pada saat gempa bumi, kerap terjadi letupan uap (letupan freatik) yang dapat diikuti munculnya gas beracun, sebagaimana terjadi di Suoh, Lampung, pada 1933.
HIDUP DALAM KEWASPADAAN
Penduduk Sumatera Barat memang harus selalu hidup dalam kewaspadaan, menghadapi ancaman gempa bumi yang sering mengguncang daerah ini. Daerah yang dilalui oleh patahan geser Sesar Semangko ini, memang terkenal rawan terhadap gempa bumi, yang dapat menimbulkan kerusakan dan bahkan korban jiwa.
Sejarah gempa bumi yang melanda Sumatera Barat telah tercatat sejak zaman kolonial hingga era modern. Mulai dari gempa kecil dengan kerusakan yang terbatas, hingga gempa besar yang menyebabkan korban jiwa yang besar dan kerusakan infrastruktur yang parah.
Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, daerah ini memiliki catatan sejarah gempa yang panjang, dengan beberapa kejadian gempa yang signifikan.
Pada tahun 1835, gempa di Padang hanya menyebabkan kerusakan ringan, tetapi pada tahun 1926, gempa di Padang Panjang menelan lebih dari 345 korban jiwa, dan menyebabkan bencana di sekitar Danau Singkarak dan Maninjau.
Selain itu, gempa-gempa lainnya seperti yang terjadi pada tahun 1995 dan 2009 juga meninggalkan trauma mendalam bagi penduduk setempat. Bahkan pada tahun 2007, gempa yang mengguncang Bukittinggi, Padang Panjang, Payakumbuh, dan Solok menelan korban jiwa sebanyak 67 orang dan ribuan bangunan rusak.
Kerapnya gempa di daerah ini tidak lepas dari adanya sesar-sesar yang melintasi Sumatera Barat, terutama Sesar Sumatera yang terdiri dari 20 segmen utama. Sesar Sumatera ini merupakan sesar strike slip berarah dekstral yang membentang sepanjang pulau Sumatera dari Lampung hingga Aceh.
Ancaman gempa bumi tidak hanya berasal dari Sesar Sumatera, tetapi juga dari Mentawai megathrust, Mentawai Fault System (MFS), dan Sumatera Fault System (SFS).
Semua potensi ancaman ini, membuat penduduk setempat harus selalu siaga dan memiliki kesiapan menghadapi bencana alam tersebut.
Meskipun demikian, masyarakat Sumatera Barat tetap tegar, dan berusaha untuk bangkit dari setiap bencana yang melanda. Mereka terus berupaya meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana, guna mengurangi risiko dan dampak yang ditimbulkan oleh gempa bumi di daerah ini.
Berikut catatan peristiwa gempa merusak yang pernah melanda Sumbar:
26 Agustus 1835
Lokasi gempa berada di Padang. Tak ada dampak yang berat. Hanya kerusakan ringan dan retakan pada bangunan.
5 Juli 1904
Lokasi gempa di Silisori, Sumatera Barat. Gempa menyebabkan tsunami di pantai Silisori.
28 Juni 1926
Lokasi gempa berpusat di Padang Panjang, Sumatera Barat. Dampaknya lebih dari 345 orang meninggal dunia. Gempa juga menyebabkan bencana di sekitar Danau Singkarak, Danau Maninjau, Kabupaten Solok, Sawah Lunto, dan Arahan Panjang.
4 Februari 1971
Lokasi gempa di Sumatera Utara dengan magnitudo 6,3. Gempa berdampak pada kerusakan bangunan di Pasaman.
8 Maret 1977
Lokasi gempa di Pasaman (sekarang Pasaman Barat). Gempa menyebabkan 737 rumah di Sinurut, Kecamatan Talamau, rusak.
7 Oktober 1995
Gempa berkekuatan 7 magnitudo. Gempa menyebabkan 84 orang meninggal, 558 orang luka berat, 1.310 luka ringan, dan 7.131 rumah rusak.
16 Februari 2004
Gempa di Tanah Datar dengan skala 5,6 magnitudo.
22 Februari 2004
Lokasi gempa di Pesisir Selatan dengan skala 6 magnitudo. Sejumlah orang dilaporkan meninggal dan mengalami luka-luka.
6 Maret 2007
Gempa berkekuatan 6,4 SR mengguncang Tanah Datar. Gempa itu menelan 67 korban jiwa dan 826 orang mengalami luka. Sebanyak 43.719 bangunan di Bukittinggi, Padang Panjang, Payakumbuh dan Solok rusak.
30 September 2009
Gempa berskala 7,6 magnitudo terjadi di dekat Padang Pariaman. Sejumlah orang dilaporkan meninggal dan ribuan bangunan rusak.
25 Februari 2022
Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, diguncang gempa Magnitgudo 5,2 dan M6,2. Ratusan rumah rusak berat dan sedang. Belasan warga mengalami luka-luka.(*/mrd)
0 Komentar