Oleh Supartoyo
Penyelidik Bumi Utama di PVMBG, Badan Geologi
OPINI, kiprahkita - Zona penunjaman adalah area pertemuan atau interaksi antar lempeng tektonik, yang bersifat konvergen.
Interaksi ini bisa melibatkan dua lempeng yang berbeda, seperti lempeng benua dan lempeng samudera, yang dikenal sebagai subduksi, atau dua lempeng sejenis yang dikenal sebagai kolisi.
Proses subduksi terjadi ketika lempeng dengan massa jenis berbeda saling bertumbukan, seperti lempeng benua dengan lempeng samudera.
Ciri khas dari proses ini adalah terbentuknya magma pada kedalaman sekitar 150 hingga 200 kilometer, yang kemudian menerobos ke permukaan bumi dan membentuk gunung api. Sebaliknya, kolisi antara lempeng sejenis tidak menghasilkan magma dengan cara yang sama.
Zona penunjaman terbagi menjadi dua jenis: megathrust, dengan kedalaman penunjaman kurang dari 50 kilometer, dan intraslab atau zona Benioff, dengan kedalaman lebih dari 50 kilometer.
Gempa bumi yang bersumber dari zona megathrust memiliki potensi untuk menghasilkan gempa dengan magnitudo besar, di atas delapan, dan berpotensi menyebabkan tsunami.
Isu tentang potensi gempa bumi megathrust dan tsunami sudah sering muncul, termasuk pada tahun 2004, 2018, 2022, dan terbaru pada 2024.
Kekhawatiran tersebut seringkali disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang informasi ini. Data dan informasi tentang risiko ini, seharusnya digunakan untuk meningkatkan upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami.
Di Indonesia, zona penunjaman merupakan sumber utama gempa bumi. Zona ini membentang dari barat Pulau Sumatera, selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara, laut Banda, utara Papua, utara Sulawesi, timur Sulawesi Utara, dan barat Halmahera.
Zona penunjaman di barat Pulau Sumatera hingga selatan Jawa dikenal sebagai Busur Sunda. Berdasarkan catatan Badan Geologi (BG), pada tahun 2022 terjadi beberapa gempa bumi di selatan Banten dan Jawa Barat, yang terkait dengan aktivitas pada zona penunjaman (megathrust dan intraslab).
Busur Sunda, terutama di selatan Jawa, merupakan zona penunjaman yang aktif dengan seringnya terjadi gempa bumi.
Gaya tektonik yang bekerja pada zona ini menyebabkan penumpukan energi, yang pada akhirnya dilepaskan dalam bentuk gempa bumi.
BACA JUGA
- Siaga di Bawah Ancaman Megathrust dan Sesar Semangko
- Risiko Megathrust Mentawai Sangat Tinggi
- Gempa nan Meremuk Sumbar, 14 Tahun Kemudian
Data sejarah menunjukkan bahwa gempa bumi besar di Busur Sunda terjadi pada tahun 1903 (M 7,9), 1921 (M 7,3), 1937 (M 7,2), 1994 (M 7,8), dan 2007 (M 7,7).
Para ahli memperkirakan, gempa bumi di zona megathrust Busur Sunda, terutama di selatan Jawa, dapat mencapai magnitudo delapan dan berpotensi menimbulkan tsunami.
Informasi ini digunakan untuk memodelkan bahaya gempa bumi dan tsunami dan mendukung upaya mitigasi.
Badan Geologi (BG) berperan dalam mitigasi dengan menyediakan peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi (KRBG), dan Peta Kawasan Rawan Bencana Tsunami (KRBT).
BG juga melakukan sosialisasi dan simulasi untuk meningkatkan kesadaran tentang gempa bumi dan tsunami.
Untuk menghadapi ancaman dari gempa bumi megathrust di selatan Jawa, BG merekomendasikan agar pemerintah daerah meningkatkan upaya mitigasi.
Ini termasuk pemanfaatan peta KRBG dan KRBT dalam penataan ruang dan penyusunan regulasi khusus tentang mitigasi gempa bumi dan tsunami, seperti peraturan daerah (Perda) atau peraturan gubernur/bupati/walikota.
Semoga upaya-upaya ini dapat mengurangi risiko dari kejadian gempa bumi dan tsunami di masa depan.(esdm.go.id)
0 Komentar