Mengepung Anak dalam Perilaku Kekerasan


Oleh Dr. Jasra Putra, M.Pd.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Penyelesaian masalah dengan cara kekerasan yang ditiru anak dan jeratan industri candu, meninggalkan problematika kemanusiaan yang memilukan


OPINI, kiprahkita.com - Peristiwa ini tentu sangat memprihatinkan, dan arah perhatian kita semua harus fokus kepada keluarga korban, agar dapat menjalankan proses dengan sangat baik, dan layak atas peristiwa yang terjadi. 

Mulai pemulasaran jenazah, pendampingan yang terus menerus kepada keluarga korban dan setiap anggota keluarganya, kebutuhan keluarga korban, termasuk penggantian atas duka yang terjadi, harus menjadi perhatian dan proses hukum yang panjang. 

Karena ada proses pemulihan yang panjang, menyita perhatian, menguras habis energi keluarga dan menjadi perjalanan hidup yang tak mudah bagi keluarga korban, setelah kehilangan mendadak anggota keluarga.

KPAI sangat konsen pada kondisi keluarga korban. Saya kira ini butuh waktu pemulihan yang panjang. Di sinilah tantangan hakim dalam memberi rasa keadilan, ketika vonis dijatuhkan.

Tentu saja sangat tidak layak, bila kita terjebak pada perdebatan apa yang akan dijalani anak-anak yang menjadi pelaku, yang dinyatakan dengan anak anak berkonflik dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. 

Namun satu kata kepada mereka, adalah bagaimana mewujudkan tuntutan keluarga dalam rangka akses keadilan korban dan pemulihan bagi keluarga korban, proses pemidanaan yang membawa efek jera dan menyadari perbuatan menjadi fokus utama.

Tidak hanya yang terlihat, saat pelaku melakukan tindak pidana berat bersama teman temannya, anak-anak yang berkonflik dengan hukum, seringkali melakukan perbuatan, karena ada kelalaian pada perlindungan, pengawasan dan pengasuhan yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana berat. 

Hal ini akan diperburuk, jika anak-anak terperangkap atau di barengi dengan konsumsi industri candu, seperti pornografi, judi online, miras, narkoba, paparan kekerasan melalui game, rokok, karena akan menuntut dosis candunya terus meningkat.

Penting sekali litmas atau penelitian masyarakat menjadi bahan dalam putusan hakim nanti. KPAI juga ingin keluarga pelaku, sekolah dan lingkungan menyadari juga dampak dari perlindungan, pengasuhan dan pengawasan yang gagal terhadap anak-anak yang terperangkap dalam industri candu.

Tentu saja dalam masa menjalani proses pidana nanti, menjadi tolak ukur, sejauh apa anak-anak patuh dan mengikuti pembinaan dan pembimbingan yang dijalani, kemudian bagaimana lembaga pemasyarakatan memilih materi rehab yang menitikberatkan dengan berhubungan atas tindakan pelaku pada sikap hidupnya.

Saya kira ruang hukum kita berada di koridor yang hidup. Bahwa proses pemidanaan dan pembimbingan di LPKS atau LPKA, juga sangat memperhatikan perkembangan kondisi keluarga korban. 

Bahwa bila memperhatikan kondisi yang bisa permanen dalam jangka waktu tertentu yang akan dialami keluarga korban, tentu saja putusan hakim akan mempertimbangkan, tidak hanya menuntut para pelaku dan anak berkonflik dengan hukum tetapi juga tanggung jawab secara moral dan kerugian yang akan di alami keluarga korban.

Saya kira, bila hakim menggunakan SPPA ada proses yang lebih menyeluruh dalam proses acara dan pemidanaan. Agar akar masalahnya terungkap, saya kira biarlah hakim yang nanti mempertimbangkan dan memutuskan. 

Karena penting memperhatikan banyak aspek, sebab seringkali anak berkonflik dengan hukum, adalah anak-anak yang sudah berada di puncak masalah.

Apalagi kalau kita tahu, anak-anak juga berakar perbuatannya dari industry candu yaitu konsumsi pornografi. 

Yang kita tahu, namanya indutri candu selalu saja menuntut dosis candu yang lebih tinggi. 

Inilah yang seringkali meruntuhkan segala upaya kita dalam mendidik anak, setelah terperangkap industry candu. Kita tahu, berbagai industri candu bertali temali dalam menjerat anak. 

Sehingga penting pemerintah mengambil peran untuk mengurangi dampak industri candu yang secara dini menyerang anak anak.

Sangat tidak elok kita selalu bicara kasus, tapi tidak ada edukasi atau hikmah buat kita semua. 

Pertama kesalahan pengasuhan, akan membentuk karakter anak. Kedua, pergaulan dan lingkungan dimana anak berada, akan sangat menentukan karakternya. Sehingga ruang dialog keluarga harus selalu dihidupkan, orang tua menjadi teman anak anak remajanya. 

Ketiga, relasi pacaran yang tidak sehat, tidak bisa dibiarkan, apalagi bila salah satu mendominasi dan keempat ketergantungan anak mendapatkan sesuatu dari pacar, jangan menyebabkan anak tidak kritis dan tidak berani menolak. Untuk itu butuh wajib para orang tua yang mengetahui anaknya berpacaran, bertemu kedua belah pihak, memperhatikan kondisi anak, agar memiliki tanggung jawab lebih dalam relasi sosial.

Begitu juga pertemanan korban dengan pelaku anak di medsos. Bahwa seringkali media sosial adalah kondisi sesungguhnya relasi anak dengan teman temannya. Sehingga orang tua harus berteman di medsos anak, mengecek pesan medsos anak. 

Supaya dapat menjadi teman anak dalam memilih, memilah, berdiskusi dan mengawasi pergaulan anak anak mereka di sosial media.

Dalam kronologi di media juga digambarkan 4 pelaku anak yang menertawakan 1 perempuan dalam kekerasan, dan dengan bangganya menceritakan pada sebayanya tanpa rasa bersalah.

Seringkali pergumulan patriarki menempatkan anak perempuan dalam tingkatan relasi yang paling bawah. Perempuan kemudian dipermasalahkan. 

Artinya penting sekali anak anak sekolah mendapatkan pendidikan relasi kesetaraan, tidak melihat anak perempuan sebagai obyek kekerasan, dipersalahkan.***

Posting Komentar

0 Komentar