- Oleh Dr. Irwandi
- Dosen UIN Bukittinggi, Sumbar, Indonesia
- E-mail: [email protected]
OPINI, kiprahkita.com - Bersama tim peneliti riset kolaborasi internasional melalui skema Program Bantuan Penelitian, Publikasi Ilmiah, dan Pengabdian Kepada Masyarakat (Litapdimas) Kementerian Agama RI tahun 2024, penulis melakukan kunjungan ke Malaysia dan Thailand.
Tajuk penelitian adalah The Impact of Local Wisdom Values in the Implementation of Religious Moderation Education in Indonesia, Malaysia,and Thailand (Dampak Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Penerapan Pendidikan Moderasi Beragama di Indonesia, Malaysia, dan Thailand).
Kami ingin menggali sejauhmana pandangan keagamaan wasathiyah (moderat) menjadi ideologi dan bahkan identitas keperibadian mahasiswa di universitas Islam di Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Selain penulis, bergabung pula Dr. Iswantir, M. M.Ag (UIN Bukittinggi), Hidra Riza, M. Pd. (UIN Bukittinggi), Prof. Madya Zetty Nurzuliana Binti Rasyed (University Islam Selangor), dan Ass. Prof.Dr. Phaosan Jehwae (Fatoni University, Pattani, Thailand).
Dari kanan ke kiri: Dr, Irwandi (UIN Bukittinggi) Dr. Iswantir (UIN Bukittinggi), Prof. Madya Zetty Nurzuliana (UIS), dan Hidra Riza, M. Pd. (UIN Bukittinggi) |
Pandangan wasathiyah yang didasarkan ajaran Islam menjadi diskursus yang tak hanya menguat terkait persoalan keagamaan di internal perguruan tinggi, tapi juga menyangkut persoalan keagamaan dengan kehidupan di ruang publik.
Ajaran wasathiyah didasarkan pada QS. Al-Baqarah:143. “….Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….”
Terminologi ummatan wasatho adakalanya diartikan sebagai sesuatu yang sangat baik, dan indah yang bagaikan oase di tengah gurun (mata air dengan pepohonan yang rindah, dimana orang bisa mendapatkan ketenangan yang luar biasa).
Ummatan Wasatho itu adalah umat yang kehadirannya membawa kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik dan penampilannya menenangkan.
Pada level ini, istilah Ummatan Wasatha dimaknai sebagai tingkat kemakmuran dan keadaban dari seseorang atau suatu komunitas.
Ummatan Wasatha sebagai umat terbaik juga digali dari QS Al-Imran ayat 110. Wasatha dalam hal ini menjadi tuntunan yang mengantarkan manusia menjadi komunitas yang baik, komunitas yang unggul dan meraih kebahagiaan hidup.
Idealnya umat Islam menjadi umat terbaik karena diberikan oleh Allah Ta'ala kelebihan diantara umat yang lainnya termasuk dengan umat yang sebelumya. Karenanya, umat Islam yang wasathiyah itu adalah umat Islam yang mampu mewujudkan ajaran agamanya yang mengandung kemuliaan dalam kehidupan.
Ummatan Wasatha adalah umat yang adil yang memiliki dua pengertian, yaitu ‘Adilun fi ‘Ilmi dan ‘Adilun fi hukmi. ‘Adilun fi ‘Ilmi adalah orang yang adil yang memiliki keilmuan yang tinggi.
‘Adilun fi hukmi adalah orang yang menegakkan hukum sebagaimana mestinya, menegakkan aturan tanpa pandang bulu. Dalam beberapa ayat adil itu dikaitkan dengan takwa, misalnya dalam QS.Al-Maidah: 8,yang menjelaskan dengan tegas supaya tidak memutuskan sesuau secara subyektif, apalagi didasarkan dengan suka atau tidak suka.
Adil berkaitan dengan sikap dan pandangan kita dalam berperilaku yang dikaitkan dengan 7 hal yang menggambarkan bagaimana nilai-nilai washatiyah yang diajarkan Islam.
Apabila diamalkan akan menjadi cara kita untuk menciptakan tata dunia yang damai, rukun antara yang satu dengan yang lainnya.
Tujuh hal itu intisarinya adalah pertama, I’tidal, berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab.
Kedua, Tawazul, seimbang. Islam mengajarkan kita keseimbangan antara ukhrowi dengan duniawi, antara yang material dengan spiritual, antara yang individual dengan yang komunal.
Ketiga, Tasamuh atau toleransi, karena kita hidup dalam masyarakat yang berbeda maka perlu ada sikap toleransi, dikap di mana kita menerima perbedaan, toleransi terhadap perbedaan itu tanpa meninggalkan prinsip dasar yang berkeyakinan agama kita.
Tasamuh menjadi prasyarat untuk kita hidup saling memberi atau menerima di berbagai perbedaan yang ada di sekitar kita
Keempat, Syura atau permusyawaratan, dalam penyelesaian masalah diperlukan permusyawaratan.
Kelima, Ishlah adalah mendamaikan jika terjadi persoalan, ishlah juga berarti pembaharuan untuk memperbaiki berbagai permasalahan yang timbul dalam konteks pergaulan kita dengan masyarakat.
Ishlah dalam beberapa ayat dikaitkan dengan peristiwa sekelompok muslim saling berperang antara satu dengan yang lain, di sisi lain juga berkaitan dengan perbaikan hubungan yang rusak.
Keenam, Qudwah sebagai upaya untuk memprakarsai perbuatan-perbuatan yang baik, mempelopori inisiatif yang mulia.
Ketujuh, Muwatonah, berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sikap wasathiyah ini juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang terbaik adalah pengambilan jalan tengah, tidak ekstrim sehingga solusi yang menimbulkan pemenangan bagi semuanya, solusi yang mendatangkan kebahagiaan bagia semuanya, solusi yang tidak ada pihak dipermalukan.
Konsep wasathiyah dalam mengamalkan ajaran Islam dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sebuah keniscayaan, bahkan menjadi sesuatu yang mendesak untuk kita lakukan sebagai ikhtiar mewujudkan tata dunia yang damai.(*)
0 Komentar