PADA 6-8 Desember 2024, Pemko Padang menggelar Pameran dan Kontes Batu Akik, yang digelar sebagai bagian dari rangkaian Festival Budaya. Acara ini berlangsung di Gedung Balai Kota. Seakan menjelma kembali, batu akiak yang hits pada 2015-2016 silam, kembali jadi perbincangan.Pada 20 April 2015, saya menulis feature tentang batu akiak yang diterbitkan ada halaman 1 Harian Umum Singgalang. Berikut tulisan utuhnya.
TANAH DATAR, kiprahkita,com – Jauh sebelum booming batu akiak di Indonesia, masyarakat Minangkabau telah memasukkannya ke dalam bagian dari benda budaya. Untuk berbagai upacara adat, batu yang telah diikat jadi cincin itu, selalu tampil di muka.
“Kita harus menyadari, batu akik sebagai benda budaya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Minangkabau. Dengan demikian, persoalan ini bukan masalah baru lagi,” ujar Budayawan Minangkabau Musra Dahrizal alias Mak Katik, menjawab Singgalang, Minggu (19/4/2015), di Rumah Budaya Fadli Zon, Nagari Aie Angek, Tanah Datar.
Bila berbicara soal batu akiak, tegasnya, tidak boleh dilepaskan dari makna budaya, supranatural, sufistik, dan hal-hal yang melekat erat di dalamnya. Batu akiak, imbuhnya, juga tidak bisa lepas dari makna sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Dari sisi kebudayaan, jelas Mak Katik, batu akik di beberapa daerah Minangkabau malah dijadikan syarat dalam proses melamar, misalnya yang terjadi di Padang Pariaman dan Daerah Bungus.
Di Padang Pariaman, jelasnya, manjapuik marapulai sudah ditradisikan dengan membawa tiga batu akiak yang diikat dengan kain kuning.
Mak Katik tak menepis kenyataan, kini batu akiak telah berkembang luas di masyarakat dalam bentuk benda ekonomi dan politik.
Dikatakan demikian, ulasnya, karena telah membuka lapangan usaha baru bagi masyarakat yang mendatangkan beragam keuntungan finansial.
“Dari sisi politik, ini adalah bagian dari upaya mengalihkan perhatian publik agar melupakan betapa rumitnya persoalan politik di negara kita hari ini. Dengan bergelimang batu akiak setiap saat, orang jadi lupa itu semua,” tegasnya.
Terkait dengan upaya Rumah Budaya Fadli Zon menambah koleksi benda budayanya berupa ratusan batu akik, menurut Mak Katik, itu merupakan bagian dari kepedulian yang amat luar biasa pengelola Rumah Budaya itu terhadap kejayaan benda-benda budaya di Minangkabau.
Pengelola Rumah Budaya Fadli Zon Edin Hadzalic (waktu itu), secara terpisah menjelaskan, sebagai bagian dari kecintaan terhadap budaya bangsa, pihaknya merasa berkewajiban mengoleksi beragam batu akiak, sebagai bagian tak terpisahkan dari kehadirannya di Sumatera Barat.
”Ada seratusan batu akiak yang kita koleksi saat ini, varian utamanya adalah lumut suliki dan lumut sungai dareh. Kedua varian tersebut bagian utama dari budaya batu perhiasan kebesaran Sumatera Barat,” jelas Edin.
Batu akiak yang sebagian besar sudah diasah dan diberi ikatan itu, menurut Edin, bisa dinikmati para pengunjung Rumah Budaya Fadli Zon dan tamu The Aie Angek Cottage.
Kehadiran ratusan batu akiak itu, melengkapi koleksi benda budaya Rumah Budaya Fadli Zon yang telah ada sebelumnya, meliputi ratusan setrika bara, ratusan keris Minang, buku-buku kuno, surat kabar kuno, songket kuno, fosil kepala kerbau yang telah berusia dua juta tahun, dan benda-benda budaya lainnya, termasuk patung Muhammad Hatta, Tan Malaka dan Gandhi.
Kendati tidak untuk diperjualbelikan, tapi lebih difokuskan kepada memberi pengetahuan pengunjung dan tamu terhadap lumuik suliki dan lumuik sungai dareh, namun batu-batu itu pada tahun 2015 sudah diberi bandrol di kisaran Rp400 ribu hingga Rp25 juta.(Musriadi Musanif)
0 Komentar