KPAI Terima 2.057 Aduan Sepanjang 2024 Terkait Kasus Anak

JAKARTA, kiprahkita.com – Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr. Jasra Putra, M.Pd, mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, pihaknya menerima sebanyak 2.057 pengaduan kasus perlindungan anak. 

Dari jumlah tersebut, sebanyak 954 kasus telah ditindaklanjuti hingga tahap terminasi, sementara kasus lainnya diberikan layanan psikoedukasi dan rujukan ke penyedia layanan setempat.

KPAI juga mencatat, pengawasan kasus dilakukan di 78 wilayah, mencakup klaster Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA). 

Dari seluruh laporan yang diterima, kategori kasus terbanyak adalah terkait lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif dengan jumlah 1.097 kasus. 

Selain itu, terdapat 265 kasus anak korban kejahatan seksual, 241 kasus anak yang mengalami hambatan dalam pemenuhan pendidikan serta pemanfaatan waktu luang, budaya, dan agama, 240 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 40 kasus anak korban pornografi dan kejahatan dunia maya.

Berdasarkan data KPAI, kata Jasra, anak-anak yang menjadi korban berasal dari berbagai rentang usia. 

Kelompok usia terbanyak adalah balita berusia kurang dari 1-5 tahun dengan 581 kasus, diikuti oleh usia 15-17 tahun sebanyak 409 kasus. 

Sementara itu, anak usia 6-8 tahun mencatat 378 kasus, usia 12-14 tahun sebanyak 368 kasus, dan usia 9-11 tahun sebanyak 342 kasus.

Tingginya jumlah kasus pada anak balita disebabkan oleh kondisi fisik dan psikologis mereka yang masih rentan. 

Sementara itu, faktor usia remaja yang mulai memasuki dunia sosial yang lebih kompleks juga berkontribusi terhadap tingginya kasus kekerasan pada kelompok usia 15-17 tahun.

Dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan terhadap anak berasal dari lingkungan terdekat mereka. 

"Data KPAI menunjukkan bahwa 259 kasus melibatkan ayah kandung sebagai pelaku, sementara 173 kasus melibatkan ibu kandung. Selain itu, terdapat pula 85 kasus yang melibatkan lingkungan sekolah dan 70 kasus yang melibatkan aparat penegak hukum." tuturnya.

Sebagian besar pengaduan yang diterima KPAI adalah kasus-kasus yang mengalami hambatan akses keadilan, terutama di tingkat daerah dan provinsi. 

Hal ini menunjukkan masih lemahnya sistem perlindungan anak dalam memberikan solusi hukum bagi korban.

KPAI menyoroti beberapa kasus utama sepanjang tahun 2024. Salah satu yang paling banyak dilaporkan adalah anak korban pengasuhan bermasalah akibat konflik orang tua. 

Menurutnya, masalah pengasuhan ini mencakup perebutan hak asuh dan pemenuhan hak anak dalam keluarga, yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis serta sosial anak.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak juga menjadi perhatian serius dengan 265 pengaduan. Dari jumlah tersebut, 53 kasus telah mendapat pengawasan, sementara sisanya dirujuk ke lembaga layanan untuk mendapatkan pendampingan lebih lanjut. 

"Sayangnya, masih terdapat hambatan dalam penyelesaian kasus akibat kurangnya pemahaman petugas terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta masih adanya upaya damai dalam kasus yang melibatkan pelaku dewasa."

Selain itu, terdapat 241 kasus anak yang terhambat pemenuhan hak pendidikan, termasuk korban perundungan di sekolah, kebijakan pendidikan yang diskriminatif, serta anak yang putus sekolah akibat faktor ekonomi dan budaya.

Dalam kasus kekerasan fisik dan psikis, KPAI menerima 240 laporan, yang mencakup penganiayaan, tawuran, hingga pembunuhan. 

Fenomena filisida, yaitu pembunuhan anak oleh orang tua, juga menjadi perhatian khusus. Faktor pemicu tingginya angka kekerasan terhadap anak meliputi budaya kekerasan yang masih dianggap wajar, lemahnya pengawasan dalam lingkungan keluarga, serta pengaruh media sosial dan game online terhadap perilaku anak.

KEJAHATAN DUNIA MAYA

Jasra menekankan, sepanjang 2024, KPAI menerima 41 laporan terkait anak yang menjadi korban pornografi dan kejahatan dunia maya. Kasus yang sering dilaporkan meliputi eksploitasi seksual serta perundungan di dunia maya.

Rendahnya literasi digital pada anak dan orang tua menjadi faktor utama yang menyebabkan tingginya angka kejahatan siber pada anak.

Di sisi lain, KPAI juga mencatat 22 kasus anak yang mengalami hambatan dalam pemenuhan hak sipil, seperti kesulitan dalam mendapatkan identitas.

Beberapa daerah, khususnya di Papua, mengalami penurunan persentase anak yang memiliki identitas resmi, dari 53,77% pada 2023 menjadi 50,85% pada 2024.

Anak-anak di wilayah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (3T) memerlukan perhatian serius, terutama mereka yang berada di daerah konflik. 

Anak-anak di wilayah ini mengalami pelanggaran hak dasar, termasuk hak atas pendidikan, kesehatan, serta perlindungan dari kekerasan.

Eksploitasi anak juga menjadi tantangan besar di tahun 2024. KPAI mencatat kasus eksploitasi ekonomi dan seksual yang didominasi oleh prostitusi anak, perdagangan manusia, jual beli bayi, serta pekerja anak. 

Faktor utama yang mendorong eksploitasi ini adalah kondisi ekonomi, buruknya pola pengasuhan, serta penyalahgunaan media dan teknologi informasi.

Menghadapi berbagai tantangan ini, KPAI menekankan bahwa perlindungan anak tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab satu lembaga saja. 

Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, serta lembaga pendidikan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak-anak. 

"KPAI juga mendorong peningkatan literasi digital, penegakan hukum yang lebih kuat, serta edukasi bagi orang tua dan tenaga pendidik untuk mencegah berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap anak di masa mendatang," sebutnya.(mus)

Posting Komentar

0 Komentar