Presiden dan Kritik Publik: Antara Ketegasan dan Keterbukaan

Presiden dan Kritik Publik: Antara Ketegasan dan Keterbukaan

KRITIK, JAKARTA , kiprahkita.com –Dalam sistem demokrasi, kritik terhadap presiden bukanlah hal yang asing, melainkan tanda bahwa kebebasan berpendapat masih terjaga. Seorang presiden, sebagai pemimpin tertinggi negara, akan selalu menjadi sorotan publik—baik saat mengambil kebijakan populer maupun ketika menerapkan keputusan yang kontroversial. Pertanyaannya adalah: bagaimana seorang presiden sebaiknya menanggapi kritik yang datang bertubi-tubi?

130 hari kerja kian banyak kritik

Presiden Prabowo Subianto telah menghadapi berbagai kritik terkait sejumlah kebijakan pemerintahannya. Salah satu kebijakan yang menuai kontroversi adalah penerbitan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang memerintahkan efisiensi anggaran hingga Rp306,69 triliun. Kebijakan ini memicu protes luas, terutama dari kalangan mahasiswa yang menggelar aksi "Indonesia Gelap" di berbagai kota, menyoroti kekhawatiran terhadap pemangkasan anggaran yang dapat berdampak pada sektor pendidikan dan layanan publik lainnya.

"Kelas panas. Tak boleh hidup AC," kata Khalid salah satu mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Semarang.

"Kami harus mematikan lampu agar bisa jurusan Teater praktik," keluh seorang dosen seni pula.

Selain itu, pengesahan undang-undang yang memperluas peran militer dalam pemerintahan sipil juga mendapat sorotan tajam. Kritikus khawatir bahwa langkah ini mengingatkan pada era Orde Baru di bawah Suharto dan berpotensi mengancam reformasi demokrasi yang telah dicapai. Meskipun demikian, Prabowo menegaskan bahwa pemerintahannya terbuka terhadap kritik dan menganggapnya sebagai sarana untuk meningkatkan kewaspadaan dan kinerja pemerintah.

Di tengah riuhnya opini publik, presiden memiliki dua pilihan: bersikap defensif atau menunjukkan keterbukaan. Pemimpin yang bijak biasanya memilih jalan kedua. Ia memahami bahwa kritik bukan selalu serangan, melainkan cermin dari aspirasi rakyat. Kritik yang tajam kadang justru membuka ruang refleksi terhadap kebijakan yang mungkin kurang berpihak pada rakyat kecil, atau pelaksanaan yang tidak berjalan sesuai harapan.

Respon yang Bijak dari Presiden Terhadap Kritik Bisa Terlihat dalam Beberapa Bentuk

Pertama, ia tetap menjaga komunikasi publik secara terbuka, misalnya melalui pidato resmi, konferensi pers, atau kanal media sosial. Dalam kesempatan itu, ia tidak sekadar membela diri, melainkan menjelaskan alasan di balik kebijakan dan menunjukkan kesediaan untuk mengevaluasi langkah-langkahnya.

Kedua, presiden menunjukkan empati. Ini sangat penting, terutama ketika kritik berasal dari kelompok masyarakat yang merasa terdampak langsung oleh keputusan pemerintah. Sebuah ungkapan "saya mendengar suara Anda" dari pemimpin bisa menjadi penyejuk di tengah panasnya perdebatan.

Ketiga, presiden menindaklanjuti kritik dengan tindakan nyata. Ini adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap demokrasi. Bukan hanya mendengar, tapi juga memperbaiki. Misalnya, merevisi aturan, mengevaluasi menteri atau pejabat yang bekerja di bawahnya, atau membentuk tim independen untuk mengkaji ulang kebijakan yang menuai banyak keluhan.

Namun, penting pula bagi presiden untuk bersikap tegas terhadap kritik yang tidak berdasar, seperti hoaks, fitnah, atau narasi provokatif yang mengancam stabilitas negara. Dalam hal ini, hukum tetap harus ditegakkan. Keterbukaan bukan berarti kelemahan, dan demokrasi bukan berarti membiarkan kebebasan berubah menjadi anarki.

Presiden yang berhasil menanggapi kritik dengan kepala dingin dan hati terbuka akan meninggalkan jejak kepemimpinan yang kuat sekaligus humanis. Sebab sejatinya, di balik setiap kritik, ada harapan rakyat agar negeri ini bisa lebih baik. Dan presiden yang mampu merangkul harapan itu akan dikenang sebagai pemimpin yang bukan hanya memimpin dengan kuasa, tapi juga dengan nurani.

Berikut beberapa contoh presiden yang sukses karena mendengarkan kritik rakyatnya, baik dalam kebijakan maupun pendekatan kepemimpinan:

1. Abraham Lincoln (Amerika Serikat)  

Kritik: Lincoln banyak dikritik karena kebijakannya selama Perang Saudara, termasuk keputusan awalnya yang dianggap lambat dalam menghapus perbudakan.  

Respons: Lincoln mendengar kritik rakyat dan tekanan dari kelompok abolisionis, lalu mengeluarkan Proklamasi Emansipasi yang menghapus perbudakan di negara-negara bagian tertentu.  

Hasil: Diingat sebagai salah satu presiden paling berpengaruh dan dihormati dalam sejarah AS.

2. Joko Widodo (Indonesia) 

Kritik: Jokowi banyak dikritik soal kebijakan seperti kenaikan harga BBM, Omnibus Law, atau penundaan pemilu.  

Respons: Beberapa kali ia melakukan penyesuaian kebijakan atau memberi ruang dialog, misalnya dengan aktivis lingkungan atau mahasiswa.  

Hasil: Meski tidak semua puas, pendekatan terbuka terhadap kritik membuatnya tetap populer dan menjabat dua periode.

3. Franklin D. Roosevelt (Amerika Serikat)  

Kritik: Program "New Deal"-nya sempat dikritik oleh pelaku bisnis dan sebagian masyarakat karena dianggap terlalu intervensif.  

Respons: Roosevelt mendengar kritik dan menyesuaikan program-programnya agar lebih tepat sasaran.  

Hasil: Berhasil membawa AS keluar dari Depresi Besar dan terpilih hingga empat periode.

4. Nelson Mandela (Afrika Selatan)  

Kritik: Setelah keluar dari penjara, banyak pihak berharap pembalasan terhadap rezim Apartheid.  

Respons: Ia memilih jalur rekonsiliasi dan memimpin dialog nasional meski dikritik oleh kelompok radikal.  

Hasil: Menjadi simbol perdamaian dunia dan keberhasilan transisi demokrasi di Afrika Selatan.

Semoga presiden kita juga menjadi simbol perdamaian dan berhasil membawa Indonesia keluar dari berbagai keluhan saat ini. Setiap penyakit, pasti ada obatnya. (Yus/Mus/*)

Posting Komentar

0 Komentar