Cabut Malam dan Cara Mengatasinya: Curhatan Murid Nakal di Pesantren

Cabut Malam dan Cara Mengatasinya dalam Curhatan Murid Nakal

Siswa Bolos Memanjat Tembok -Grid.id Foto 

NASIONAL, kiprahkita.com Namaku Rizky, santri kelas 11 di sebuah pesantren modern yang terkenal ketat dalam hal disiplin. Sudah tiga bulan aku tinggal di asrama. Tapi malam itu, godaan terasa terlalu besar untuk ditahan. PlayStation di warung depan pesantren seakan memanggil-manggil.

“Sekali aja, Ky. Main FIFA, habis itu balik,” bujuk Wawan, teman sekamarku.

Aku ragu, tapi akhirnya ikut. Kami lompat pagar belakang pukul 10 malam, hati berdebar tapi rasa ingin lebih besar. Warung PS itu kecil, tapi penuh cahaya. Beberapa anak dari sekolah lain juga sedang main. Kami larut dalam permainan. Satu pertandingan, lanjut yang kedua.

Tiba-tiba, pintu warung terbuka. Seorang lelaki berjubah putih berdiri di ambang pintu. Itu Ustaz Fauzi. Wajahnya datar, tapi tatapannya tajam. Semua terdiam. Suasana yang tadinya riuh berubah senyap.

“Pulang. Sekarang,” katanya singkat.

Kami mengikuti dengan kepala tertunduk. Tidak ada yang berani berkata sepatah kata pun. Keesokan paginya, nama kami disebut dalam apel pagi. Semua mata memandang, dan rasa malu membakar pipi.

Ustaz Fauzi memberi nasihat, bukan marah. “Cabut malam bukan soal keluar pagar. Tapi soal lari dari tanggung jawab.”

Sejak itu, aku berpikir ulang tentang kenapa kami bisa nekat. Rasa bosan, tekanan, dan kurangnya hiburan di malam hari jadi salah satu sebab utama. Kami ingin lepas sebentar, tapi cara yang kami pilih salah. Agar peristiwa seperti ini tidak terulang, kami mengusulkan kegiatan malam alternatif ke pengurus pesantren.

Akhirnya, diadakan malam kreativitas santri setiap Jumat malam: ada turnamen catur, debat, bahkan game FIFA… tapi versi turnamen resmi! Kami juga diajak rutin curhat dan diskusi santai dengan ustaz, membahas hal-hal ringan namun penting. Sejak saat itu, tak ada lagi cerita santri kabur ke warung PS.

Karena ketika kebutuhan didengarkan dan rasa jenuh diatasi, tidak ada alasan lagi untuk melanggar aturan.

Kenapa Siswa Bisa Nakal? Refleksi dari Cerita Cabut Malam di Pesantren

Salah satu sekolah di Cirebon (Tribunnews.com)

Dalam lingkungan pendidikan, perilaku siswa yang melanggar aturan sering dilabeli sebagai “nakal.” Namun, jika ditelaah lebih dalam, kenakalan itu sering kali bukan karena niat jahat, melainkan bentuk pelarian dari tekanan, kejenuhan, atau kebutuhan yang tidak terpenuhi. Curahan hati tentang Rizky, santri kelas 11 yang nekat cabut malam untuk main PlayStation di warung depan pesantren, menyimpan pesan penting bahwa anak manusia yang butuh perhatian.

Mereka anak-anak yang tak cukup dikurung saja di kurikulum sekolah lalu dikurung pula di asrama tanpa kegiatan yang menguji adremalin mereka. Mereka anak-anak yang butuh permainan dan kegiatan menantang.

Rizky tidak sendirian. Ia bersama jutaan santri dan temannya tersebar di wilayah NKRI demgan nama dan status pondok yang berbeda-beda, Mereka anak cerdas yang memiliki otak cerdas dan minat-bakat yang berbeda-beda. Rizky dan Wawan, tergoda untuk keluar malam demi sekadar hiburan setelah tiga bulan hidup dalam rutinitas yang ketat.

Aksi itu memang salah, tapi tindakan itu muncul dari rasa bosan yang mendalam. Cabut malam, dalam hal ini, menjadi simbol dari keinginan untuk merdeka sejenak dari tekanan sistem. Dan ketika pelanggaran itu ketahuan, respons bijak dari Ustaz Fauzi bukan dengan amarah, tetapi dengan perenungan: “Cabut malam bukan soal keluar pagar. Tapi soal lari dari tanggung jawab.”

Curhatan ini mencerminkan fenomena yang lebih luas di dunia pendidikan kita. Banyak siswa yang melakukan kenakalan bukan semata-mata karena ingin melawan aturan, melainkan karena mereka tidak menemukan cara sehat untuk menyalurkan kejenuhan atau tekanan yang mereka alami. Kenakalan menjadi semacam "sinyal SOS" yang tak terdengar, hingga mereka melakukan sesuatu yang memaksa orang dewasa memperhatikan.

Penyebab Umum Kenakalan Siswa

1. Rasa Bosan dan Monotoni Hidup Sekolah

Rutinitas yang terlalu ketat seperti full belajar dari pukul 07.00 WIB hingga 15.30 WIB, tanpa ruang untuk kreativitas dan hiburan, membuat siswa mencari pelarian. Dalam cerita Rizky, tidak adanya kegiatan malam yang menyenangkan memicu tindakan nekat itu apalagi anak laki-laki memiliki energi lebih dari anak perempuan makannya mereka lebih nakal.

2. Kurangnya Ruang Ekspresi dan Dialog

Siswa butuh ruang untuk menyampaikan unek-unek dan merasa didengarkan. Jika tidak, mereka menyimpannya dan bereaksi dengan cara yang destruktif seperti cabut bahkan merokok.

3. Tekanan Akademik atau Sosial

Target nilai yang dibebankan orangtua dan sekolah, tugas menumpuk, hingga pergaulan yang kompetitif bisa memicu stres, yang berujung pada pelanggaran disiplin sebagai bentuk protes diam anak.

4. Kurangnya Kegiatan Alternatif yang Mendidik dan Menghibur

Ketika hiburan di luar lebih menarik daripada kegiatan di dalam, siswa cenderung mencari kesenangan di luar pengawasan karena hiburan seolah-olah memanggil-manggil.

5. Lingkungan yang Kurang Akrab atau Terlalu Formal

Jika relasi siswa dan guru/ustadz terlalu kaku, siswa segan untuk terbuka. Padahal kedekatan emosional bisa menjadi kunci pencegahan kenakalan mereka.

Cara Mengatasi Kenakalan Secara Bijak

Daripada hanya menghukum, pendekatan yang mendidik jauh lebih efektif. Dalam cerita tadi, solusi muncul dari pembenahan sistem: dibuatlah kegiatan malam yang menyenangkan seperti turnamen catur, debat, bahkan FIFA versi resmi. Diadakan juga ruang diskusi santai bersama ustadz. Hasilnya? Tak ada lagi santri yang nekat kabur malam-malam.

Inilah bukti bahwa jika kebutuhan siswa dipahami, dan mereka diberi ruang aman untuk berekspresi, maka kenakalan pun bisa dicegah secara alami.

Solusi seperti ini bisa diterapkan di berbagai sekolah dan pesantren, antara lain:

a. Menyusun jadwal kegiatan yang seimbang antara belajar dan bermain.

b. Mendorong siswa menyampaikan pendapat lewat forum atau diskusi terbuka.

c. Menempatkan guru dan pembina bukan hanya sebagai pengawas, tapi juga sebagai pendengar dan pembimbing.

d. Mengajak siswa ikut serta merancang program yang mereka sukai, agar merasa memiliki.

Siswa yang terlihat "nakal" tidak selalu bermasalah. Mereka hanya sedang mencari jalan untuk dipahami. Daripada memberi label negatif, lebih baik kita gali penyebabnya dan bantu mereka tumbuh lewat pendekatan yang manusiawi.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal mendisiplinkan, tapi membentuk karakter dengan kasih, pengertian, dan keteladanan.(Ghatfan/Yusriana/*)

Posting Komentar

0 Komentar