Fadli Zon: Menulis Ulang Sejarah Indonesia: Sebuah Jalan Menuju Rekonsiliasi Memori Kolektif

Fadli Zon: Menulis Ulang Sejarah Indonesia: Sebuah Jalan Menuju Rekonsiliasi Memori Kolektif

Oleh: Yusriana S.Pd

NASIONAL, kiprahkita.com Ketika bangsa besar berbicara tentang masa depan, ia tak bisa lepas dari sejarah bangsanya. Karena sejarah bukan hanya rangkaian narasi masa lalu, tetapi juga fondasi identitas dan pijakan arah langkah ke depan. Di sinilah pentingnya penulisan ulang sejarah Indonesia yang kini tengah dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan di bawah pimpinan Fadli Zon, sebuah langkah besar dan berani yang pantas mendapat perhatian serius dari publik.

Dalam pernyataan terbarunya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkap alasan di balik perubahan istilah yang cukup substansial dalam sepuluh jilid buku sejarah Indonesia yang sedang dalam proses penulisan ulang: tidak adanya istilah “Orde Lama” dalam judul-judul tersebut.

Alasan utamanya, menurut Fadli, adalah karena pemerintahan sebelum Orde Baru memang tidak pernah menyebut dirinya sebagai "Orde Lama." Istilah tersebut lebih merupakan produk rekayasa wacana pasca-1965 yang menandai era baru kekuasaan.

Langkah ini, meskipun tampak kecil, sejatinya adalah bagian dari upaya besar untuk merekonstruksi narasi sejarah Indonesia agar lebih berimbang dan lepas dari jargon politik yang menempel pada periode-periode tertentu. Sejarah, dalam hal ini, tidak semestinya menjadi alat legitimasi kekuasaan semata, tetapi wadah refleksi bangsa terhadap perjalanan panjang yang telah dilalui.

Sejarah: Antara Fakta dan Interpretasi

Penulisan sejarah selalu mengandung unsur seleksi: mana yang diingat, mana yang disimpan, dan mana yang disisihkan. Dalam konteks Indonesia, sejarah telah lama menjadi medan tarik-menarik antara berbagai kekuatan, mulai dari penguasa, akademisi, hingga masyarakat akar rumput. 

Narasi sejarah resmi yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah sangat dipengaruhi oleh penguasa Orde Baru, sehingga banyak bagian sejarah bangsa yang ditulis secara sepihak atau bahkan dihilangkan sama sekali.

Reformasi 1998 membuka ruang untuk peninjauan kembali sejarah nasional. Namun, hingga kini, pembaruan tersebut masih bersifat sporadis. Maka, proyek penulisan ulang sejarah yang dirancang selesai pada Agustus 2025 ini menjadi momentum penting untuk mengembalikan sejarah kepada hakikatnya: sebagai milik bersama seluruh rakyat Indonesia.

Yang menarik, proyek ini melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum yang berasal dari berbagai disiplin ilmu: sejarah, arkeologi, geografi, dan humaniora. Ini menunjukkan itikad baik pemerintah untuk menjadikan sejarah sebagai wacana multidisipliner yang tidak hanya berhenti pada kronologi peristiwa, tetapi juga menyentuh aspek budaya, sosial, dan politik yang lebih kompleks.

Ruang Diskusi sebagai Nafas Demokrasi

Pernyataan Fadli Zon bahwa pemerintah akan membuka ruang diskusi publik mengenai buku ini setelah drafnya mencapai sekitar 70-80 persen patut diapresiasi. Dengan membuka pintu dialog, Kementerian Kebudayaan menunjukkan kesediaannya untuk mendengarkan kritik dan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Ini sangat penting, karena sejarah tidak hanya milik para sejarawan, tetapi juga milik para pelaku sejarah itu sendiri—baik yang tersurat dalam dokumen, maupun yang hidup dalam memori rakyat.

Namun, tentu saja diskusi ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh, terbuka, dan tidak formalistik. Harus ada ruang bagi korban pelanggaran HAM masa lalu, kelompok minoritas, dan mereka yang selama ini narasinya dikecilkan atau bahkan dihapus dari buku sejarah. Jika tidak, maka penulisan ulang sejarah ini berisiko menjadi pengulangan dari proyek-proyek sejarah sebelumnya: eksklusif, elitis, dan jauh dari kenyataan.

Tantangan dalam Menulis Ulang Sejarah

Komisi X DPR RI dengan tepat mengingatkan bahwa proses ini harus dilakukan dengan prinsip obyektivitas dan keterbukaan. Salah satu tantangan terbesar dalam penulisan sejarah adalah bagaimana mengelola berbagai versi kebenaran. Apa yang dianggap heroik oleh satu pihak bisa saja dilihat sebagai tragedi oleh pihak lain. Maka, penulisan sejarah yang baik adalah yang mampu merangkum beragam perspektif tanpa kehilangan integritas faktual.

Istilah seperti “Orde Lama”, “Orde Baru”, atau “Reformasi” sendiri sebenarnya mengandung muatan ideologis. Ketika istilah semacam itu digunakan secara tak kritis dalam buku pelajaran, yang terjadi adalah pembakuan narasi tunggal. Maka, penghilangan istilah "Orde Lama" bukanlah semata kosmetik redaksional, melainkan bagian dari usaha untuk membebaskan sejarah dari pelabelan politis yang bias.

Menuju Sejarah yang Lebih Inklusif

Bangsa yang besar bukan bangsa yang punya sejarah sempurna, tapi bangsa yang berani mengakui kekurangannya, merefleksi kegagalannya, dan belajar dari masa lalunya. Inilah semangat yang semestinya menggerakkan proyek besar penulisan ulang sejarah Indonesia ini.

Agar tujuan itu tercapai, sejarah kita harus menjadi ruang yang inklusif, tidak mengabdi pada satu kepentingan politik, tetapi menjadi cermin kolektif bangsa. Masyarakat adat, perempuan, buruh, petani, dan kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan harus turut serta dalam sejarah yang baru ini. Suara mereka tak boleh lagi dihilangkan dari narasi besar bangsa.

Harapan untuk Masa Depan

Buku sejarah yang sedang disusun ini bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi untuk anak-anak kita di masa depan. Mereka berhak mendapat pemahaman yang lebih jujur, lebih utuh, dan lebih manusiawi tentang sejarah bangsanya. Mereka harus tahu bahwa sejarah Indonesia bukan hanya kisah para pemimpin besar, tetapi juga kisah rakyat kecil yang gigih bertahan dalam badai zaman.

Karena itu, penulisan ulang sejarah Indonesia harus menjadi proyek kebangsaan, bukan proyek pemerintah semata. Partisipasi publik sangat penting. Kritik, masukan, dan refleksi dari masyarakat sipil perlu diwadahi dengan mekanisme yang jelas dan terbuka. Sejarah yang baik bukan sejarah yang memuja masa lalu, tapi yang memberi pelajaran untuk masa depan.

Di situlah kita bisa berharap: bahwa buku sejarah Indonesia yang baru kelak akan menjadi jendela yang terbuka, bukan pagar yang membatasi.

Posting Komentar

0 Komentar