Iduladha Serentak: Ilmu Falak, Sidang Isbat, dan Doa untuk Umat dalam Menggapai Keserentakan Iduladha

Menggapai Keserentakan Iduladha: Ilmu Falak, Sidang Isbat, dan Doa untuk Umat

NASIONAL, kiprahkita.com Setiap tahun, umat Islam di Indonesia menghadapi momen penting yang bukan hanya bersifat ibadah, tetapi juga menyentuh sisi sosiologis, dan kebangsaan: penetapan Hari Raya Iduladha. Di negeri yang majemuk secara organisasi keislaman seperti Indonesia, penetapan 1 Zulhijah dan 10 Zulhijah bukan hanya soal hitungan astronomi, tetapi juga tentang bagaimana negara, ormas Islam, dan umat bergerak dalam harmoni.


Hasil sidang isbat penentuan 1 Zulhijah 1446 H/2025 M diumumkan malam ini. Pemerintah resmi menetapkan 1 Zulhijah bertepatan dengan Rabu, 28 Mei 2025 dan Idul Adha akan berlangsung pada Jumat, 6 Juni 2025.

Tahun 2025 ini, harapan tinggi kembali mengemuka. Menteri Agama Nasaruddin Umar dengan penuh harap menginginkan agar Iduladha 1446 Hijriah bisa dilaksanakan secara serentak, sebagaimana yang terjadi pada Ramadan tahun ini. Dalam pernyataannya di Cakung, Jakarta Timur, Selasa 27 Mei 2025, ia menegaskan bahwa posisi hilal pada saat matahari terbenam di seluruh wilayah Indonesia sudah berada di atas ufuk, bahkan sudah lebih dari tiga derajat—suatu titik terang yang diharapkan menjadi dasar persatuan.

Namun, apakah hanya dengan keberadaan hilal di atas ufuk perbedaan dapat diselesaikan? Apakah metode rukyat dan hisab dapat sepenuhnya disinergikan dalam tataran praktis di lapangan? Mari kita telusuri lebih dalam.

Sidang Isbat dan Ilmu Hisab Rukyat: Sains dalam Pelayanan Ibadah

Kementerian Agama telah menjadikan sidang isbat sebagai instrumen resmi dalam menetapkan kalender hijriah nasional, termasuk penentuan Iduladha. Dalam sidang yang digelar hari ini, Selasa 27 Mei 2025, pemerintah tidak hanya memproses laporan hasil rukyatul hilal dari 114 titik pemantauan di seluruh Indonesia, tetapi juga mengintegrasikan hasil perhitungan hisab yang melibatkan para pakar astronomi dari berbagai lembaga kredibel.

Menurut Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, rangkaian sidang isbat didahului dengan seminar ilmiah yang membahas posisi hilal. Selanjutnya, proses sidang dilangsungkan secara tertutup, yang menunjukkan keseriusan dan kehati-hatian pemerintah dalam mengkaji data sebelum mengumumkan keputusan kepada publik. Data posisi hilal kali ini menunjukkan angka yang sangat meyakinkan: ketinggian hilal antara 0° 44,15’ hingga 3° 12,29’, dengan elongasi antara 5° 50,64’ hingga 7° 6,27’. Ini adalah angka yang secara teori telah memenuhi kriteria visibilitas hilal menurut parameter MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura).

Namun demikian, penetapan Iduladha bukan sekadar soal teknis astronomis. Ada pertimbangan teologis, mazhab, dan juga keputusan keorganisasian yang membuat tanggal-tanggal hari besar Islam di Indonesia terkadang berbeda antar ormas.

Muhammadiyah dan Kalender Hisab Hakiki

Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, telah sejak lama menetapkan kalender Islamnya berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal, yaitu selama hilal telah wujud (walaupun belum terlihat), maka awal bulan baru dapat ditetapkan. Berdasarkan perhitungan tersebut, Muhammadiyah telah menetapkan Hari Raya Iduladha jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025.

Perbedaan metode ini sebenarnya sah dan dapat dipahami dalam kerangka keberagaman fiqh. Akan tetapi, yang menjadi kerinduan publik adalah bagaimana perbedaan ini dapat dikelola dengan sikap saling menghormati dan tetap mengedepankan semangat ukhuwah. Ketika umat melaksanakan ibadah besar seperti Iduladha secara serentak, maka nilai persatuan begitu terasa: shalat ied bersama, takbir yang bergema serempak, dan penyembelihan hewan kurban yang dilakukan beriringan di seluruh penjuru negeri.

Harapan dan Doa untuk Keserentakan

Itulah sebabnya, Menteri Agama Nasaruddin Umar menekankan bahwa selain ikhtiar ilmiah, penetapan Iduladha juga melibatkan unsur spiritual. "Kami bermohon kepada Allah," ujarnya. Ucapan ini bukan formalitas, tetapi sebuah kesadaran bahwa sekuat apa pun perhitungan manusia, hasil akhir tetap berada dalam kehendak Tuhan dan kebijakan para pemangku kepentingan keagamaan.

Doa untuk keserentakan menjadi relevan karena perbedaan dalam hari besar keagamaan, jika tidak dikelola dengan baik, bisa memicu kebingungan di masyarakat. Misalnya, dalam konteks pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan kurban, tanggal yang berbeda berpotensi menimbulkan ketidakteraturan dalam distribusi daging kurban, penjadwalan shalat ied, dan dampak sosial lainnya.

Kita tentu masih ingat, momen di mana Hari Raya Idulfitri atau Iduladha dilakukan secara berbeda dalam satu kompleks atau desa menimbulkan pertanyaan dari anak-anak hingga masyarakat umum: "Mengapa umat Islam tidak bisa kompak dalam satu tanggal?" Ini bukan hanya soal akurasi, tetapi juga soal pendidikan sosial dan spiritual bagi generasi muda.

Peran Pemerintah dalam Merawat Kesatuan Umat

Maka, penyelenggaraan sidang isbat secara profesional dan inklusif patut diapresiasi. Dalam forum tersebut, hadir para wakil dari MUI, Komisi VIII DPR RI, Mahkamah Agung, BMKG, BRIN, Observatorium Bosscha, Planetarium Jakarta, hingga pondok pesantren dan ormas-ormas Islam. Ini mencerminkan pendekatan kolaboratif yang penting dalam pengambilan keputusan keagamaan di tengah masyarakat plural.

Kementerian Agama tidak bisa bekerja sendiri. Perlu adanya intensifikasi dialog dengan ormas-ormas Islam, agar ke depan bisa ditemukan titik temu metodologis yang memungkinkan keserentakan Iduladha dan hari besar lainnya. Mungkin bukan di tahun ini, tapi semangat itu perlu dijaga.

Keserentakan sebagai Simbol Ukhuwah

Iduladha bukan hanya soal shalat dan kurban, tetapi juga momen refleksi tentang keikhlasan, pengorbanan, dan ketaatan kepada Allah. Keserentakan dalam merayakannya akan memperkuat ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia).

Semoga sidang isbat hari ini dapat menghasilkan keputusan yang tidak hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga bijak secara sosial dan spiritual. Semoga umat Islam Indonesia dapat merayakan Iduladha 2025 secara serentak, bersatu dalam gema takbir, doa, dan ibadah yang khusyuk.

Karena pada akhirnya, kesatuan umat bukan ditentukan oleh satu metode, melainkan oleh sikap saling menghormati, saling memahami, dan niat yang tulus untuk memuliakan hari besar keagamaan secara bersama. (Yus MM/Berbagai Sumber/*)

Posting Komentar

0 Komentar