Prabowo: Dari Bubarkan Satgas Saber Pungli Era Jokowi, Mengembalikan Empat Pulau ke Wilayah Administrasi Prov. DI Aceh, dan Posisi Strategis TNI Sesuai Surat Terbuka Gubernur Aceh

Prabowo Bubarkan Satgas Saber Pungli Era Jokowi

NASIONAL, kiprahkita.com Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto secara resmi mengakhiri keberadaan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) yang dibentuk pada masa kepemimpinan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.

Presiden Prabowo Mengingat Sejarah 

Pembubaran tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2025 yang mencabut Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang pembentukan Satgas Saber Pungli. Berdasarkan pasal 1 dalam Perpres tersebut, aturan lama dinyatakan dicabut dan tidak lagi berlaku.

"Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 202), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku," demikian bunyi ketentuan dalam regulasi tersebut, sebagaimana dikutip dari laman resmi Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kementerian Sekretariat Negara.

Dijelaskan pula dalam beleid itu bahwa keberadaan Satgas dinilai tidak lagi berjalan secara optimal sehingga perlu untuk dihentikan. Perpres ini ditandatangani Presiden Prabowo pada 6 Mei 2025 lalu.

Sebagai catatan, Satgas Saber Pungli dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 melalui Perpres Nomor 87 Tahun 2016. Satuan tugas ini awalnya dibentuk untuk memberantas praktik pungutan liar, baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah, dengan melibatkan peran aktif masyarakat dalam pengawasannya.

Panglima TNI Beri Kuliah Umum di Sesko TNI: Soroti Posisi Strategis

Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menyampaikan kuliah umum kepada 212 Perwira Siswa Pendidikan Reguler (Dikreg) LIII Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI Tahun Ajaran 2025, yang berlangsung di Graha Widya Adibrata, Sesko TNI, Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (18/6/2025). Kuliah ini mengangkat tema "Standing Point Indonesia dalam Merespons Dinamika Geopolitik Global", dengan fokus pembahasan pada peran strategis Indonesia dalam merespons perubahan konstelasi global yang semakin dinamis.
TNI disiapkan untuk pertahanan yang adaptif 

Dalam penyampaiannya, Panglima TNI menekankan bahwa munculnya kekuatan global baru dan meningkatnya ketegangan internasional menuntut Indonesia untuk menyusun kebijakan luar negeri dan pertahanan yang adaptif, proaktif, dan berorientasi jangka panjang. Kebijakan tersebut, lanjutnya, tetap harus berpijak pada prinsip politik luar negeri bebas aktif dan berlandaskan kepentingan nasional.

Jenderal Agus Subiyanto juga menyoroti bahwa dinamika geopolitik bukan hanya isu diplomasi, melainkan memiliki implikasi langsung terhadap stabilitas dan keamanan nasional. Oleh karena itu, TNI perlu sigap dalam mengantisipasi berbagai perubahan global yang berpotensi mengganggu ketahanan negara.

Dalam kesempatan tersebut, Panglima TNI kembali menegaskan komitmen netralitas TNI dari politik praktis. “TNI tidak boleh berpolitik praktis, namun harus memahami arah kebijakan politik negara,” ujarnya. Pemahaman ini, menurutnya, penting agar setiap prajurit dapat bersikap tepat dan profesional dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan.

Sebagai bagian dari sistem pertahanan negara, TNI juga memiliki peran strategis dalam membangun citra positif Indonesia di kancah internasional. Melalui peningkatan profesionalisme, keterlibatan aktif dalam misi perdamaian dunia, dan strategi komunikasi pertahanan yang efektif, TNI turut memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan berwibawa di mata dunia.

(Sumber: Puspen TNI)

Empat Pulau Kembali, Keputusan Bijak Presiden Prabowo dalam Menjaga NKRI

Keputusan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk mengembalikan empat pulau ke wilayah administrasi Provinsi Daerah Istimewa Aceh mendapat apresiasi luas, termasuk dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan B. Najamudin. Langkah tersebut dinilai tidak hanya sebagai solusi atas sengketa kewilayahan antara Aceh dan Sumatera Utara, tetapi juga sebagai bentuk kepemimpinan yang bijak dan berpihak pada semangat persatuan nasional.

Sultan, yang juga merupakan mantan Wakil Gubernur Bengkulu dan aktivis KNPI, menegaskan bahwa keputusan tersebut telah melalui proses musyawarah yang objektif, dengan mempertimbangkan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk masukan konstruktif dari para senator asal Aceh. Ia menyampaikan bahwa sejak awal, DPD RI tidak berpihak secara sempit, melainkan mendukung penuh proses penyelesaian yang menempatkan kepentingan nasional dan pelayanan publik sebagai landasan utama.

Penting untuk dipahami bahwa persoalan batas wilayah bukan semata soal administratif atau kepemilikan, tetapi juga berkaitan dengan efektivitas pembangunan dan distribusi kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, pengembalian empat pulau ke Aceh diharapkan menjadi momentum untuk mendorong pembangunan kawasan, khususnya pengembangan potensi pariwisata yang selama ini belum tergarap optimal. Sultan bahkan menyebut bahwa keindahan pulau-pulau tersebut memiliki daya tarik yang bisa disejajarkan dengan destinasi wisata dunia seperti Maladewa.

Namun demikian, Sultan juga menekankan bahwa baik Provinsi Aceh maupun Sumatera Utara tetap memiliki kepentingan strategis terhadap pengelolaan kawasan tersebut. Dalam pandangannya, kolaborasi antar daerah menjadi kunci. Bukan lagi soal siapa memiliki, tetapi bagaimana bersama-sama mengoptimalkan potensi ekonomi dan perdagangan yang bisa menggerakkan roda perekonomian lokal, baik di Kabupaten Singkil (Aceh) maupun Tapanuli Tengah (Sumut).

Lebih dari sekadar merespons polemik, keputusan ini juga mencerminkan etika bernegara: bahwa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setiap jengkal wilayah adalah milik bersama. Oleh karena itu, penyelesaiannya harus dilandasi dengan semangat kekeluargaan, kebesaran jiwa, dan kesediaan untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas ego sektoral.

Apresiasi khusus diberikan kepada Presiden Prabowo yang, meski tengah menjalankan agenda diplomasi luar negeri di Rusia, tetap memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini. Kepemimpinan semacam ini menunjukkan bahwa keberpihakan kepada rakyat dan penyelesaian masalah domestik tetap menjadi prioritas utama di tengah dinamika global yang menuntut perhatian besar.

Pada akhirnya, empat pulau ini bukan sekadar titik koordinat di peta, tetapi simbol dari komitmen Indonesia untuk menyelesaikan perbedaan dengan cara-cara bermartabat. Keputusan ini menjadi teladan bahwa dalam NKRI, tidak ada wilayah yang tercecer, dan tidak ada rakyat yang dibiarkan berjalan sendiri.

Sengketa wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara terkait empat pulau yang sempat memanas itu akhirnya diselesaikan setelah Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan bahwa Kemendagri akan merevisi Kepmendagri 2025 sebagai konsekuensi dari penemuan dokumen asli tahun 1992 tersebut.

Tito menambahkan bahwa revisi ini juga akan disampaikan ke PBB sebagai bagian dari penyesuaian administrasi wilayah Indonesia. Sebelumnya, keputusan lama yang mendasarkan keempat pulau masuk Sumut berasal dari verifikasi tahun 2008 dan data geospasial tahun 2017 yang tidak memasukkan pulau itu dalam wilayah Aceh.

Namun, dengan dokumen otentik 1992, pemerintah akhirnya menyatakan keempat pulau tersebut sah menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Mantan Wapres Jusuf Kalla menanggapi kasus ini sebagai pelajaran bagi pemerintah pusat agar mempertimbangkan aspek historis dan hukum sebelum mengambil keputusan menyangkut Aceh.

Menurut JK, pemerintah semestinya mengacu pada Undang-Undang Pemerintah Aceh dan Perjanjian Helsinki serta melibatkan persetujuan Gubernur Aceh. JK menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam pengambilan keputusan agar tidak memicu konflik yang lebih luas. (*)

Gubernur Aceh Tegas, Lembut, dan Soleh

Surat Terbuka Mualem kepada Presiden Prabowo: "Pulau Kami, Harga Diri Kami!"

BAPAK Presiden yang saya hormati, H Prabowo Subianto, sahabat seperjalanan, yang dulu pernah menjadi lawan, kini menjadi saudara dalam cita-cita besar Republik.

Izinkan saya menulis surat terbuka ini. Bukan sekadar sebagai Gubernur Aceh, melainkan sebagai seorang anak bangsa yang pernah berseberangan jalan dengan bapak, tetapi kini dipertemukan oleh jalan damai dan persatuan.

Barangkali tak banyak pemimpin republik ini yang memahami Aceh sedalam bapak. Dahulu, kita pernah berdiri di dua sisi berbeda dari sejarah. Saya di hutan-hutan Aceh, memimpin pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), memperjuangkan hak-hak rakyat kami.

Bapak kala itu berdiri sebagai bagian dari militer Indonesia, menjaga kedaulatan negara ini. Kita pernah berhadapan dalam pertempuran yang getir, di tengah darah dan air mata rakyat Aceh.

Namun sejarah menuntun kita ke jalan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Perjanjian damai Helsinki membuka pintu persatuan. Senjata kami letakkan, dendam kami kubur, dan kami memilih berjalan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jalan itu tidak mudah, tetapi kami berani melangkah, demi anak cucu Aceh yang haus damai.

Sejak 2012, saya menambatkan kepercayaan politik saya kepada bapak. Ketika banyak pihak mempertanyakan pilihan politik saya itu, saya meneguhkan hati bahwa bapak dapat dipercaya. Ketika banyak pihak ragu, saya percaya pada keberanian dan ketulusan bapak.

Dalam kemenangan maupun kekalahan, kami berdiri di belakang bapak, hingga hari ini, ketika bapak memimpin negeri ini sebagai Presiden Republik Indonesia.


Namun kini, luka lama seakan menganga kembali. Empat pulau kami, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang telah dialihkan ke Sumatera Utara melalui Kepmendagri 050-145 Tahun 2022 dan dikukuhkan lagi dengan Kepmendagri 300.2.2-2138 Tahun 2025.


Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar urusan administratif. Namun bagi kami, orang Aceh, tanah adalah kehormatan. Harga diri kami. Keempat pulau itu bagian dari sejarah kami sejak masa Kesultanan Aceh.

Sejak 1965, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh telah menetapkan pengelolaannya melalui SK No. 125/IA/1965. Bahkan dalam masa damai, kami membangun mushalla, rumah singgah nelayan, hingga patok-patok batas yang sah.

Sejak 2018, kami telah berulang kali mengajukan keberatan resmi kepada pusat. Surat demi surat kami kirimkan. Data kami lengkapi. Namun semua seolah hilang dalam riuh rendah birokrasi.

Bapak Presiden, saya menulis bukan dalam semangat permusuhan. Tidak. Saya menulis sebagai saudara lama bapak. Kita pernah bertempur, kini berjalan dalam satu barisan. Saya percaya, dalam hati seorang prajurit seperti Bapak, kehormatan wilayah dan keadilan rakyat adalah sesuatu yang suci.

Izinkan kami memohon:

Bukalah kembali proses verifikasi. Hadirkan kembali dialog yang adil. Kembalikan keempat pulau itu dalam pelukan Aceh, bukan semata demi memperluas wilayah, tetapi demi menegakkan keadilan sejarah dan menjaga kehormatan rakyat kami yang telah setia menjaga perdamaian.

Bapak Presiden, Aceh tidak meminta lebih dari yang seharusnya. Kami hanya ingin agar luka yang telah kita jahit bersama tidak kembali robek oleh ketidakadilan yang bisa kita cegah. Sebab saya percaya, seperti halnya prajurit memegang sumpah setianya, Bapak akan menjaga keutuhan rasa keadilan negeri ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberi kekuatan kepada Bapak dalam memimpin negeri besar ini dengan kebijaksanaan dan keadilan.(Muh)


Hormat saya,

Muzakir Manaf (Mualem)

Gubernur Aceh

Cerita dan fakta-fakta di atas persis novel yang saya baca. Warga Prov. DI Aceh ingin menjaga negeri mereka yang indah. Mereka manfaatkan alam 4 pulau secara tradisional saja. Cukuplah untuk menikmati pemandangan bawah laut yang indah, persinggahan bila lelah, mengais rezki dari ikan yang cukup untuk dimakan saja. Mereka tak butuh penggalian emas karena akan merusak terumbu karang di sana. Namun, banyak mata mengintai dolar di sana. (Yus MM/dari berbagai sumber)

Posting Komentar

0 Komentar