Suara Warga Bajuang Ekor Lubuk: Penolakan atas Pemindahan Administratif ke Tanah Datar

Suara Warga Bajuang Ekor Lubuk: Penolakan atas Pemindahan Administratif ke Tanah Datar dan Tuntutan Keadilan Wilayah

PADANG PANJANG, kiprahkita.com "Tahun lalu aku kaget satu muridku tak diterima di SMA Negeri 1 Padang Panajng. Setelah ditanya ternyata RT mereka yang berada di Kelurahan Ekor Lubuk itu masuk tapal batas Padang Panjang-Tanah Datar. Terlihat wajahnya kecewa." Kata seorang warga yang berprofesi sebagai guru.

Bukan karena gengsi menjadi orang Tanah Datar dan sekolah di Tanah Datar. Semua Nagari sama elok dan sekolah juga sama baik. Hanya saja jarak dari rumah mereka ke pusat Kota Padang Panjang lebih dekat. Cuma ongkos 3000 ke sekolah SMA Negeri 1 Padang Panjang.

Forum Bajuang Warga 3 RT di Kel. Ekor Lubuak

Demikian pula dengan Bu Rahmi lebih ekstrim lagi, beliau dan keluarga lebih memilih mengontrak rumah di dekat Kantor Camat Padang Panjang Timur agar mudah melakukan administrasi kewarganegaraan seperti KTP, KK, dan Jamkesmas. "Tanah Datar terlalu jauh untuk kami yang tak punya kendaraan ini," keluh beliau.

"Bahkan KK kami harus menumpang ke KK kakak di Pasar Padang Panjang," lanjutnya.

Hal-hal di atas kembali memicu konflik tapal batas antara Kota Padang Panjang dan Kabupaten Tanah Datar. Konflik kembali mencuat ke permukaan setelah masyarakat dari RT 10, 11, dan 13 di Kelurahan Ekor Lubuk, Kecamatan Padang Panjang Timur menyuarakan penolakan mereka terhadap hasil kesepakatan batas wilayah yang terjadi pada 27 Maret 2021.

Kesepakatan tersebut, yang dibuat di Aia Angek Cottage Kecamatan X Koto, mengakibatkan secara administratif wilayah ketiga RT tersebut dinyatakan masuk ke dalam Kabupaten Tanah Datar. Namun kenyataannya, secara sosial dan pelayanan, masyarakat tetap berada dalam lingkup Kota Padang Panjang.

Masalah ini bukan sekadar perubahan garis peta administratif, melainkan menyangkut identitas, hak-hak sipil, dan sejarah keterikatan masyarakat terhadap wilayahnya. Salah satu sebab utama penolakan warga adalah karena keputusan itu dinilai tidak melibatkan mereka secara langsung. Dalam demokrasi yang sehat, masyarakat harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka kelak.

Namun, dalam kesepakatan tapal batas tersebut, masyarakat tiga RT serta unsur adat seperti niniak mamak Nagari Gunuang dan lembaga legislatif lokal seperti DPRD tidak dilibatkan. Hal ini menciptakan rasa keterasingan dan ketidakadilan bagi warga seperti kasus pada murid dan guru di atas.

Secara historis, masyarakat dari ketiga RT tersebut merasa memiliki hubungan yang kuat dengan Padang Panjang. Mereka telah menjalani kehidupan sehari-hari di bawah struktur pemerintahan Kota Padang Panjang, mulai dari pelayanan administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, hingga partisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Pemindahan administratif ini, menurut warga, bukan hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga memutus kesinambungan sistem pemerintahan yang sudah berjalan puluhan tahun. "Apakah perlu ada pemekaran wilayah untuk kami daerah tepi-tepi tapal batas?" Gurau salah satu warga yang frustasi atas kebijakan itu.

Kondisi ini diperparah oleh ketidakjelasan implementasi setelah kesepakatan. Meskipun secara administratif ditetapkan berada di Tanah Datar, seluruh layanan dan urusan masyarakat masih dilakukan di bawah Pemkot Padang Panjang. Situasi "gantung" ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi, merugikan masyarakat dalam mengakses pelayanan yang seharusnya menjadi hak dasar mereka.

Sebagai respon, masyarakat membentuk Forum Bajuang, sebuah wadah perjuangan yang menghimpun suara warga Batu Tagak, Tanjuang, dan Gajah Tanang—tiga kawasan yang mencakup RT 10, 11, dan 13. Dalam forum ini, warga secara resmi mendeklarasikan sikap menolak bergabung ke Tanah Datar dan menuntut pemerintah untuk mengembalikan hak mereka sebagai warga sah Kota Padang Panjang.

Ketua Forum Bajuang, Zulfa Hendrawasis Dt Rajo Basa, menegaskan bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam menghadapi keputusan yang mereka anggap tidak berpihak pada rakyat kecil.

Salah satu upaya yang telah dilakukan warga adalah menyampaikan aspirasi kepada DPRD Kota Padang Panjang dan menjadwalkan pertemuan dengan Walikota. Mereka ingin membuka ruang dialog secara resmi agar suara masyarakat benar-benar menjadi pertimbangan utama dalam penentuan tapal batas yang adil dan demokratis.

Dalam konteks otonomi daerah, persoalan tapal batas seperti ini memang seringkali menjadi isu sensitif. Seperti Aceh dan Sumut misalnya. Namun yang membedakan adalah bagaimana pemerintah merespons dengan prinsip keadilan dan partisipasi masyarakat. Kasus Bajuang harus menjadi pelajaran penting bahwa dalam setiap kebijakan yang menyentuh wilayah, identitas, dan keseharian warga, harus ada proses komunikasi yang terbuka dan menyeluruh.

Dengan jumlah 163 kepala keluarga yang terdampak, isu ini bukan hal sepele. Ia menyangkut martabat, hak, dan keadilan bagi ratusan warga yang telah lama menjadi bagian dari Kota Padang Panjang. Pemerintah pusat, provinsi, dan dua pemerintahan daerah terkait harus duduk bersama dan mengedepankan penyelesaian berbasis aspirasi rakyat, bukan hanya administratif di atas meja saja. Semoga masalah tapal batas ini cepat diselesaikan. (Yus MM/Antara News*)

Posting Komentar

0 Komentar