Basalisiah: Saat Tabuik Paling Dinanti Warga dalam Hoyak Budaya Kota Pariaman

Basalisiah: Saat Tabuik Menyatukan Rasa, Warga Menyatu dalam Budaya

KOTA PARIAMAN, kiprahkita.com Selasa malam, 1 Juli 2025 lalu, Kota Pariaman seolah berdetak dalam irama yang sama—irama "gandang tasa" yang menggema hingga ke relung hati para penontonnya. Ratusan warga seperti biasa tumpah ruah di pusat kota itu, nyaris tak ada tempat kita berdiri untuk menyaksikan salah satu prosesi paling magis dalam rangkaian Festival Hoyak Tabuik Piaman 2025, yaitu Basalisiah.

Dalam malam penuh haru dan semangat itu, dua tabuik—Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang—bertemu dalam ritual yang bukan hanya simbolik, tapi juga sarat akan makna sejarah dan persaudaraan.

Hoyak Tabuik Piaman 2024, Dokumen Jawa Pos

Basalisiah bukan sekadar pertemuan dua replika menara suci. Ia adalah titik kulminasi dari rangkaian panjang budaya Tabuik, yang diawali sejak prosesi Maambiak Tanah, Manabang Batang Pisang, hingga nantinya diakhiri dengan Hoyak Tabuik dan prosesi pembuangan ke laut.

Dalam prosesi Basalisiah, kisah duka dan perjuangan keluarga Husein cucu Nabi Muhammad SAW, yang menjadi dasar tradisi Tabuik, seakan hidup kembali dalam atmosfer yang sakral dan khidmat. Ketua Pelaksana Festival, Elfis Candra, mengapresiasi jalannya prosesi yang berlangsung aman dan tertib.

Ia menyebut bahwa riak-riak kecil yang terjadi adalah bagian dari dinamika seni budaya itu sendiri. Namun demikian, Elfis juga menekankan pentingnya kesadaran pengunjung untuk tidak terlibat langsung dalam arak-arakan Basalisiah. Sebab, di tengah lautan manusia dan semangat kolektif yang membuncah, keamanan tetap menjadi prioritas utama.

"Itulah seni dalam Batabuik," ujar Elfis—sebuah pernyataan yang merefleksikan bahwa budaya bukanlah sesuatu yang steril, tetapi hidup dan menyatu dalam denyut masyarakat.

Tak hanya itu, langkah antisipatif juga terus disiapkan demi kesuksesan prosesi selanjutnya, seperti Marak Jari-jari dan Marak Soroban. Koordinasi bersama TNI, Polri, Satpol PP, dan Dinas Perhubungan telah digagas sebagai bentuk evaluasi dan pembenahan. Sebab menjaga warisan budaya bukan hanya soal menjaga ritusnya, tetapi juga menjamin keselamatan mereka yang datang merayakannya.

Festival Tabuik, yang telah menjadi ikon budaya Sumatra Barat bahkan nasional, kini menjadi ruang di mana masyarakat dapat mengenang, menyatu, dan menjaga jati diri. Tabuik bukan sekadar tontonan, melainkan cermin dari nilai gotong royong, spiritualitas, dan solidaritas antarwarga.

Dalam pertemuan dua Tabuik itu, sejatinya kita sedang menyaksikan pertemuan dua sisi manusia: duka dan harapan. Malam Basalisiah menjadi saksi bahwa budaya tidak pernah mati, selama ada hati yang mau merawatnya.

Sejarah Tradisi Tabuik dan Basalisiah

Tradisi Tabuik berasal dari kisah tragedi Karbala di tanah Arab pada tahun 680 M. Saat itu, Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, gugur dalam pertempuran melawan pasukan Yazid bin Muawiyah. Peristiwa ini sangat menyentuh umat Islam, terutama dari kalangan Syiah, yang kemudian memperingatinya dengan ritual budaya.

Tabuik pertama kali dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan tentara Muslim India (khususnya dari daerah Benggala) yang datang ke Sumatra Barat pada abad ke-19, saat masa kolonial Inggris. Mereka membawa budaya peringatan Asyura dan mengajarkannya ke masyarakat lokal, terutama di Pariaman.

Lambat laun, masyarakat Pariaman mengembangkan tradisi ini menjadi bentuk budaya lokal yang unik—memadukan unsur Islam, adat Minangkabau, dan seni pertunjukan. Dari sinilah lahir Festival Tabuik, yang diselenggarakan setiap tahun di awal Muharram.

Apa Itu Basalisiah?

Basalisiah adalah salah satu prosesi penting dalam rangkaian Tabuik. Ini adalah momen pertemuan dua buah Tabuik—yakni:

Tabuik Pasa (dari daerah Pasar Pariaman), dan

Tabuik Subarang (dari seberang sungai, wilayah tetangga Pasar).

Keduanya diarak oleh warga dengan iringan gandang tasa (gendang tradisional). Saat Basalisiah terjadi, suasananya ramai, penuh semangat, bahkan kadang menegangkan, karena masing-masing kelompok membawa semangat kebersamaan dan semacam "rivalitas tradisional".

Basalisiah menggambarkan:

Persatuan setelah perbedaan

Kesedihan atas wafatnya Husein

Simbol keharmonisan dua wilayah di Pariaman yang dulunya sering bersaing, namun kini bersatu dalam tradisi yang sama.

Kegunaan dan Makna Tradisi Ini

Sebagai Warisan Budaya

Tabuik dan Basalisiah adalah bagian dari identitas budaya Pariaman yang terus dilestarikan.

Tradisi ini bahkan masuk dalam kegiatan pariwisata budaya nasional.

Sebagai Edukasi Sejarah dan Nilai

Mengingatkan generasi muda tentang kisah keteladanan Husein: tentang keberanian, keadilan, dan pengorbanan.

Mengajarkan nilai gotong royong, persatuan, dan penghargaan terhadap tradisi.

Sebagai Daya Tarik Wisata

Festival Tabuik mendatangkan ribuan wisatawan setiap tahun, yang berarti mendorong ekonomi lokal.

Membuat Pariaman makin dikenal secara nasional dan internasional. (And/At/Yus MM)*

Posting Komentar

0 Komentar