Riza Chalid: Luka Bernanah Skandal Migas ketika Ratusan Triliun Raib, Negara Tak Boleh Lengah

Riza Chalid dan Luka Bernanah Skandal Migas: Ketika Ratusan Triliun Raib, Negara Tak Boleh Lengah

JAKARTA, kiprahkita.com Kejaksaan Agung Republik Indonesia akhirnya membuka tabir jalur penetapan tersangka Riza Chalid, sosok saudagar minyak yang selama bertahun-tahun disebut-sebut sebagai “pemain belakang layar” dalam industri migas nasional. Tidak tanggung-tanggung, kasus ini menyisakan kerugian negara lebih dari Rp285 triliun, angka yang tak hanya mencengangkan tetapi juga menyesakkan hati rakyat yang selama ini membayar mahal untuk energi yang semestinya menjadi hak dasar.

Riza Chalid

Namun, Riza Chalid—tokoh sentral dalam skandal ini—masih bebas di luar negeri, sementara sejumlah nama lain, termasuk para pejabat Pertamina dan aktor swasta, sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sebagian ditahan. Anak Riza, Muhammad Kerry Ardianto Riza, bahkan lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka sebagai pemilik manfaat di PT Navigator Khatulistiwa. Jejak uang kotor ini pun mengalir hingga ke aset-aset raksasa, seperti kilang minyak milik PT Orbit Terminal Merak (OTM), yang kini telah disita oleh Kejagung.

Penyitaan kilang dan dua dermaga milik OTM, dengan luas mencapai 222 ribu meter persegi dan tangki penyimpanan hingga puluhan ribu kiloliter, mengindikasikan besarnya skala korupsi yang terjadi. Namun, yang lebih penting dari sekadar angka atau aset adalah bagaimana negara bisa membiarkan ini berlangsung selama bertahun-tahun?

Skema yang dijalankan terbilang licik dan sistematis. Mulai dari impor BBM dengan spesifikasi rendah, lalu dilakukan praktik blending untuk menyamarkan kualitas, hingga markup biaya pengiriman yang membuat harga melambung tak wajar. Semua ini dilakukan dalam lingkaran kekuasaan, dengan kolusi antara pejabat dan pengusaha. Negara, dalam konteks ini, bukan hanya dirugikan secara keuangan—tapi juga secara moral.

Paling memprihatinkan: mengapa hanya orang-orang teknis dan operator yang terseret? Di mana para pengambil keputusan strategisnya? Publik berhak curiga. Karena seperti diungkap oleh banyak pihak sebelumnya, Riza Chalid bukan aktor tunggal. Ia disebut-sebut dilindungi oleh kekuatan yang lebih tinggi—bukan hanya di sektor bisnis, tapi juga di lingkar penguasa politik.

Apakah kita akan membiarkan ini menjadi episode pengalihan, di mana “sang raja” dibiarkan lepas sementara para bidak kecil dikorbankan?

Kasus ini bukan sekadar soal BUMN, tapi soal pengkhianatan terhadap rakyat. Uang hasil korupsi BBM berarti uang rakyat yang dirampok. Publik dipaksa membayar mahal untuk BBM yang kualitasnya diturunkan secara diam-diam demi keuntungan pribadi. Sementara itu, subsidi dan APBN terus jebol, dan yang menanggung bebannya adalah warga kecil di pelosok negeri.

Kini, Kejagung memang sudah menyita aset dan menetapkan sembilan tersangka. Namun keadilan belum tuntas selama Riza Chalid belum dibawa pulang dan diadili, dan selama pembeking-pembekingnya belum ditelusuri dan ditamatkan secara hukum.

Publik pantas menuntut lebih. Seperti halnya kita pernah membongkar skandal Nazaruddin hingga ke akar-akarnya, Riza Chalid dan kroninya juga harus diusut sampai ke tulang sumsum kekuasaan. Jangan biarkan negeri ini jadi ladang bancakan para predator energi. Jangan lagi rakyat dikorbankan oleh sistem yang membiarkan pencoleng merajalela.

Karena yang dirampok bukan cuma BBM atau uang negara—yang dicuri adalah kepercayaan publik terhadap negara itu sendiri. (Repelita)*

Posting Komentar

0 Komentar