Riza Chalid. Meski Bukan Pejabat Negara, Tetap Punya Kekuatan Mengatur Sistem dari Luar

Riza Chalid dan Jejak Perlindungan Oligarki: Mengapa Harus Ditamatkan seperti Nazaruddin

JAKARTA, kiprahkita.com Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018–2023 menyeret kembali nama lama yang dikenal publik sebagai “raja minyak” di belakang layar—Riza Chalid. Meski bukan pejabat negara, Riza disebut tetap punya kekuatan mengatur sistem dari luar. Dugaan ini bukan sekadar tuduhan liar. Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu terang-terangan menyebut, manuver Riza berlangsung bahkan setelah ia tak punya posisi formal dalam kekuasaan.

Riza Chalid

Apa artinya? Bahwa sistem ini masih lemah. Bahwa mafia migas bukan sekadar sosok-sosok di ruang gelap, tapi dilindungi, ditopang, bahkan mungkin diternakkan oleh sistem politik yang korosif.

Riza Chalid bukan tokoh baru dalam skandal bisnis migas. Tapi yang mengerikan adalah daya tahannya. Meski jalur kekuasaannya di internal Pertamina sempat diputus—seperti saat Hanung Budya Yuktyanta dicoret dalam seleksi Direktur Utama Pertamina tahun 2018—Riza tetap bisa mengatur. Said Didu mengungkap, ini bukan hanya soal orang-orang di dalam BUMN, tapi bagaimana sistem kekuasaan dan oligarki memberi ruang gerak bagi pengatur dari luar negeri sekalipun.

Saat ini, Hanung Budya, orang kepercayaan Riza, sudah jadi tersangka. Namun yang mengherankan, tak satu pun pejabat tinggi Pertamina yang ikut terseret. Padahal skema korupsinya sangat masif dan sistemik. Publik pun patut bertanya: apakah ini praktik perlindungan struktural?

Kita pernah melihat kasus besar seperti ini ditangani dengan determinasi penuh, seperti saat Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, dibongkar habis-habisan oleh KPK. Sosok yang dulu juga dilindungi banyak elite, akhirnya runtuh karena tekanan publik dan pengusutan menyeluruh.

Hal yang sama seharusnya terjadi pada Riza Chalid dan seluruh pembekingnya. Jika benar ada keterlibatan orang dalam lingkar kekuasaan, maka hukum harus menembus tembok itu. Jika tidak, korupsi model begini akan selalu terulang—hanya dengan nama pelaku dan jalur yang berbeda.

Kita bicara tentang kerugian rakyat secara langsung. Dalam kasus ini, masyarakat dipaksa membayar mahal untuk BBM berkualitas rendah, karena pengelolaan minyak diselewengkan demi keuntungan pribadi dan kelompok. Ini bukan lagi sekadar korupsi BUMN. Ini perampokan atas hak dasar rakyat—hak atas energi bersih, transparan, dan terjangkau.

Said Didu menyebut korupsi ini sebagai “korupsi uang rakyat”. Benar. Maka siapa pun yang berada di belakang praktik ini, siapa pun yang melindungi dan mendiamkan, mereka harus ditamatkan. Seperti Nazaruddin dulu. Tidak cukup hanya menangkap pion-pion di bawah.

Jika negara tidak berani menyentuh aktor utama, maka publik akan menarik satu kesimpulan pahit: negara tak lagi melindungi rakyatnya, tapi justru jadi payung bagi perampoknya.(Repelita)*

Posting Komentar

0 Komentar