Bencana Sumatra: Saatnya Negara Hadir dengan Status Bencana Nasional

Jangan Lagi Remehkan Bencana Sumatra: Saatnya Negara Hadir dengan Status Bencana Nasional

PADANG PANJANG, kiprahkita.com Angger dan Gusrial alias ujang driver travel asal payakumbuh korban banjir bandang di jembatan kembar Silaiang Padang Panjang sudah ditemukan hari ini sabtu 29 November 2025 dalam keadaan meninggal dunia. 

Korban ditemukan didalam mobil yang tertimbun material longsor. 

Turut berdukacita sedalam-dalamnya semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan dan semoga amal ibadah beliau diterima di sisinya aamiin. Mudahan mereka syahid. Doa teman-temannya.

Mereka Sempat Terekam Video saat Istirahat di Lokasi

Tragedi banjir bandang dan longsor kembali tidak hanya di Sumbar juga menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan berbagai lokasi di Sumatera Barat bukan pula sekadar musibah tahunan. Ini adalah krisis kemanusiaan dengan skala kerusakan yang tak lagi bisa ditanggulangi oleh pemerintah daerah. Ratusan orang telah meninggal. Ratusan rumah, jembatan, sekolah, dan akses jalan hancur terseret derasnya air dan material kayu dari hulu yang jumlahnya jauh melampaui nalar sehat.

Palembayan Agam

Namun dari Jakarta, bencana ini sering tampak seperti kabar yang berlalu begitu saja. Video-video yang beredar tentang tumpukan kayu yang menghantam pemukiman tak hanya memperlihatkan kekuatan air, tetapi juga menelanjangi buruknya tata kelola lingkungan di pegunungan—sebuah alarm keras bahwa ada yang tidak beres.

174 Nyawa Melayang: Angka yang Mengguncang Nurani

Data BNPB per Jumat (28/11/2025) mencatat 174 korban jiwa, dengan Sumut menjadi provinsi dengan jumlah kematian tertinggi, yakni 116 orang, disusul Sumbar dan Aceh. Puluhan lainnya hilang, belum ditemukan. Ini bukan lagi statistik; mereka adalah orang-orang yang memiliki keluarga, harapan, dan masa depan.

Tragedi ini mengguncang para tokoh publik. Anggota Komisi VI DPR RI, Nevi Zuairina, menegaskan bahwa situasi ini sudah memasuki level yang tak bisa ditangani oleh daerah. Ia mendesak pemerintah pusat segera menetapkan Bencana Nasional—sebuah seruan yang juga bergema di tengah masyarakat Sumatera yang hingga kini terus berjibaku dengan lumpur, reruntuhan, dan kehilangan.

Ketika Daerah Sudah Kolaps, Mengapa Pemerintah Pusat Masih Ragu?

Fakta bahwa daerah terisolasi, alat berat terbatas, logistik tersendat, dan pusat komando masih bertumpu pada provinsi membuktikan satu hal: Pemda dan Pemprov sudah melampaui batas kapasitasnya.

Menetapkan status bencana nasional bukan sekadar formalitas. Status ini:

membuka pintu dana siap pakai APBN dalam jumlah besar,

menggerakkan TNI, Polri, Kemenkes, PUPR, Basarnas, dan lembaga pusat lainnya secara terpadu,

mempercepat evakuasi, penyaluran logistik, dan rehabilitasi,

menghindari tumpang tindih komando yang sering terjadi dalam bencana besar.

Lebih jauh, status ini memberikan dasar hukum untuk menyusun rencana rekonstruksi jangka panjang: memperkuat mitigasi, memperbaiki tata ruang, menata ulang sistem peringatan dini, serta menghentikan siklus bencana hidrometeorologis yang terus berulang karena degradasi lingkungan.

Investigasi Lingkungan: Tidak Cukup Menangani Dampak, Akar Masalah Harus Dibongkar

Seperti ditegaskan Nevi Zuairina, pemerintah daerah—khususnya di Sumbar—harus berani melakukan investigasi menyeluruh: mulai dari aktivitas pembalakan liar, tata kelola DAS, hingga pembangunan yang abai terhadap risiko bencana. Tanpa keberanian ini, Sumatera akan terus menjadi panggung bagi tragedi berulang.

Saatnya Negara Hadir Secara Total

Masyarakat di Aceh, Sumut, dan Sumbar sedang berduka. Mereka kehilangan keluarga, rumah, dan rasa aman. Di tengah keputusasaan ini, negara tidak boleh hadir setengah hati. Jangan biarkan rakyat menunggu terlalu lama sementara setiap detik begitu berarti bagi korban yang masih hidup di bawah puing atau terisolasi di pedalaman.

Penetapan Bencana Nasional adalah bentuk keberpihakan negara terhadap warganya—sebuah langkah nyata, tegas, dan mendesak. Tanpa itu, kita hanya akan melihat penderitaan yang semakin panjang, ketimpangan penanganan yang memperburuk situasi, dan hilangnya lebih banyak nyawa yang sebenarnya bisa diselamatkan.

Rakyat Tidak Boleh Dibiarkan Berjuang Sendirian

Negara harus hadir penuh. Sekarang. Bukan besok. Bukan ketika korban sudah bertambah.

Bencana ini bukan hanya soal alam. Ini soal keberanian politik, kepekaan kemanusiaan, dan komitmen untuk melindungi setiap jengkal tanah negeri ini—terutama ketika rakyatnya sedang berada di titik paling rapuh. (AG/YS)*

Posting Komentar

0 Komentar