Cahaya Perjuangan dari Balik Pabrik
JAKARTA, kiprahkita.com –Nama Marsinah akan selalu dikenang sebagai simbol perjuangan buruh dan keadilan sosial di Indonesia. Sosok perempuan sederhana dari Nganjuk ini menjadi lambang keberanian yang menembus batas ketidakadilan. Ia bukan tokoh besar yang lahir dari kemewahan atau pendidikan tinggi, melainkan seorang buruh pabrik arloji PT CPS di Sidoarjo yang hidupnya diwarnai kesederhanaan, kerja keras, dan semangat pantang menyerah.
Marsinah tumbuh dalam kehidupan yang keras. Ia kehilangan ibunya sejak usia dua tahun dan diasuh oleh pamannya setelah sang ayah menikah lagi. Sejak kecil, ia sudah terbiasa menghadapi kesulitan. Sambil bersekolah di SD, ia berjualan kue untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Keteguhan itu membentuk kepribadiannya yang mandiri dan berdaya juang tinggi. Setelah lulus dari SMA Muhammadiyah Nganjuk pada tahun 1989, ia langsung bekerja karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah.Namun keterbatasan tidak pernah memadamkan semangat belajarnya. Di sela-sela bekerja, Marsinah berjualan berbagai barang seperti bahan pakaian, sprei, dan buku. Ia juga gemar membaca koran dan buku, serta mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Semua dilakukan demi memperluas pengetahuan dan memperbaiki nasib. Dari sinilah terlihat bahwa Marsinah bukan sekadar buruh, tetapi perempuan dengan kesadaran dan cita-cita yang tinggi.
Perjuangannya mencapai puncak ketika ia ikut menuntut kenaikan upah bagi para buruh di tempatnya bekerja. Tuntutan yang sederhana—sekadar keadilan bagi tenaga kerja yang telah berjuang setiap hari—ditolak oleh pihak perusahaan. Situasi memanas hingga akhirnya terjadi aksi unjuk rasa. Ketika 13 buruh diancam akan dipecat, Marsinah berdiri di garis depan. Ia menolak diam dan menyatakan akan membongkar ketidakadilan yang terjadi jika pemecatan benar dilakukan. Keberanian itu harus dibayar mahal: Marsinah ditemukan gugur dalam kondisi mengenaskan.
Kematian Marsinah mengguncang hati publik. Ia gugur sebagai pejuang bagi kaum tertindas, sebagai simbol suara yang tak boleh dibungkam. Keberaniannya menjadi nyala api bagi perjuangan buruh di Indonesia. Dari kisahnya, lahir kesadaran bahwa perjuangan untuk martabat dan hak asasi manusia tidak mengenal jenis kelamin, jabatan, atau latar belakang.
Atas pengorbanannya, Marsinah menerima berbagai penghargaan. Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sidang Tanwir Muhammadiyah II di Surabaya pada Desember 1993 menetapkannya sebagai “Pahlawan Pekerja”. Kini, setelah puluhan tahun berlalu, pengorbanan itu akhirnya diakui secara resmi oleh negara. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025, Marsinah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Penetapan itu menjadi bukti bahwa perjuangan seorang buruh perempuan mampu menembus tembok sejarah dan menyentuh nurani bangsa.
Kisah hidup Marsinah adalah cermin dari perjuangan jutaan buruh di Indonesia—mereka yang bekerja keras untuk bertahan hidup di tengah ketidakpastian. Seperti filosofi sederhana para pekerja: “Yang ada disyukuri, jika tidak ada dicari dan diupayakan. Yang terpenting, besok kami masih bisa makan.”
Marsinah telah menunjukkan bahwa keberanian bukan hanya milik mereka yang berkuasa, melainkan juga milik mereka yang berani memperjuangkan kebenaran, sekecil apa pun posisi mereka. Ia mengajarkan bahwa keadilan dan kemanusiaan adalah hak semua orang, dan bahwa satu suara jujur bisa mengguncang kesadaran publik.
Kini, setiap kali nama Marsinah disebut, yang teringat bukan hanya kisah tragis kematiannya, tetapi juga semangat hidupnya yang abadi. Ia adalah lentera yang menyala di tengah gelapnya ketidakadilan—cahaya yang akan terus menerangi jalan perjuangan bagi generasi pekerja berikutnya.
Kita mengenang sosok Marsinah, seorang buruh pabrik arloji PT CPS di Sidoarjo. Namanya terus bergema hingga hari ini karena semangat dan perjuangannya dalam menuntut hak buruh, khususnya terkait kenaikan upah. Tindakan tersebut menjadi manifestasi dari tekadnya untuk keluar dari tekanan hidup, ketidakadilan, dan kemiskinan yang membelenggu.
Marsinah tidak dilahirkan dari keluarga berkecukupan. Ia kehilangan ibunya saat berusia dua tahun dan kemudian diasuh oleh pamannya setelah sang ayah menikah lagi. Sejak kecil, Marsinah sudah terbiasa menghadapi kerasnya kehidupan. Sambil bersekolah di SD, ia berjualan kue untuk membantu keluarga. Kehidupan mandiri ini terus ia jalani hingga lulus dari SMA Muhammadiyah Nganjuk pada tahun 1989.
Setelah menamatkan pendidikan, Marsinah langsung bekerja karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah. Ia tetap mandiri dengan berjualan bahan pakaian, sprei, buku, dan barang lainnya di tempat kerja. Sosoknya dikenal gemar membaca buku dan koran, serta rajin mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris. Keterbatasan tak menyurutkan semangat belajarnya.
Atas pengorbanannya, Marsinah dinominasikan untuk menerima penghargaan “Yap Thiam Hien Human Right Award” dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Jakarta. Banyak pihak juga mengusulkan agar ia dianugerahi gelar pahlawan. Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Sidang Tanwir Muhammadiyah II di Surabaya pada Desember 1993 bahkan telah menetapkan Marsinah sebagai “Pahlawan Pekerja”.
Kini, perjuangan panjang dan keberanian Marsinah akhirnya mendapat pengakuan dari negara. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025, Marsinah resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Penetapan ini dilakukan di Jakarta pada 6 November 2025.
Sepenggal kisah hidup Marsinah menjadi simbol perjuangan jutaan buruh di Indonesia yang terus berjuang di tengah kerasnya kehidupan. Mereka bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sering kali tanpa kepastian dan kesejahteraan yang layak. Seperti filosofi sederhana para pekerja: “Yang ada disyukuri, jika tidak ada dicari dan diupayakan. Yang terpenting, besok kami masih bisa makan.”
Perjuangan Marsinah akan selalu dikenang sebagai inspirasi bagi bangsa—bahwa keberanian seorang buruh perempuan mampu mengguncang kesadaran publik dan menegakkan martabat kemanusiaan. (*)
*) Penulis : Wildan Nanda Rahmatullah | Editor : Azrohal Hasan (Muhammadiyah.org.id)
![]() |
Marsinah di Mata Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun mengapresiasi penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada aktivis buruh, Marsinah pada Senin (10/11/2025) lalu.
Dengan harapan, penganugerahan terhadap Marsinah harus diikuti oleh pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan buruh, baik dari sisi perlindungan kerja maupun perbaikan kualitas upah yang selama 10 tahun.
Pemerintah, kata Rusdi, harus melakukan reformasi jaminan sosial untuk kelompok buruh, dimulai dengan mewujudkan kesehatan gratis dan menghadirkan program pesangon untuk pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
"PKS berharap penghargaan ini tidak berhenti disini, penghargaan terhadap buruh harus dilanjutkan dengan meningkatkan kesejahteraan buruh," ujar Sekretaris Bidang Ketenagakerjaan DPP PKS, Muhammad Rusdi dalam keterangannya, Selasa (11/11/2025).

0 Komentar