Masih Ingat Tiga Dosa Pendidikan Versi Mas Menteri?

JAKARTA, kiprahkita.com -- Kini kita sedang memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Selasa (2/5). Upacara bendera pun dilaksanakan di semua kantor pemerintahan, terutama yang membidangi sekolah.


Tapi masih ingatkah kita, kalau Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim (Mas Menteri) pernah menyebut, dunia pendidikan masih memiliki tiga dosa besar, yaitu perundungan, intoleransi, dn kekerasan seksual.


"Nampaknya tiga dosa pendidikan itu masih menghiasi ruang publik kita, dilaporkan masyarakat yang peduli dan diberitakan tanpa henti di media sepanjang zaman," kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dr. Jasra Putra, M.Pd.  


Hanya saja yang kita sayangkan, imbuhnya, situasi korban di ranah pendidikan, seperti menunggu, sampai ada yang berani mengungkap. Artinya mau tidak mau, ujar Jasra, kekerasan di ranah privat pendidikan mulai tercium ketika korbannya sudah jatuh sangat banyak.


Menurutnya, ketika baru sedikit, tanpa disadari para korban tidak mendapatkan tempat melapor, tidak merasa aman, yang berakhir menjadi ketelantaran permasalahan, yang berujung para korbannya sendirian, dan berakhir mencari jalan keluar di luar sekolah. 


"Ini bukan pertama kali terjadi. Bahwa luar biasa besarnya kebaikan bisnis dunia pendidikan, meninggalkan problematika para korbannya yang tidak sedikit. Artinya ketersediaan penyelesaian kekerasan di lembaga pendidikan masih di dominasi penyelesaian di ranah privat, dijauhkan dari proses bisnis pendidikan itu sendiri," kata Jasra.


Jasra mengatakan, ditempatkan di luar halaman sekolah, sehingga para korbannya harus mengakses keadilan di luar sekolah. Sekolah ditengarai belum menjadi tempat yang benar-benar aman, memiliki keberpihakan lebih pada akses keadilan korban.


Ketika ditanya, apakah akses itu secara terbuka disediakan sekolah, ada mekanisme merujuk, manajemen kasus dan pendampingan yang layak? Maka jawabannya, jelas dia, akan sangat beragam diawab sekolah. Atau menunggu, sampai ada yang berani melapor, dan seketika bisnis sekolah tergagap-gagap menghadapinya.


"Umumnya peristiwa terungkap setelah banyak korban berjatuhan, dan menjadi ledakan peristiwa yang memberi atensi luas kita semua," kata tokoh muda asal Pasaman Barat itu.


Terbentuknya anak dalam urusan pendidikan, menurutnya, sangat berhubungan erat dengan hak anak terdidik, apakah bisa dipenuhi dengan baik, hak anak terdidik di ruang publik, hak anak terdidik dalam mendapatkan kegiatan terarah mengisi waktu luang sesuai minat, bakat yang dipahami usia dan tumbuh kembangnya.


Jasra mempertanyakan, apakah related antara urusan sekolah dan lingkungan terdekatnya, akar budaya dan kegiatan budaya, terakhir bagaimana agama diajarkan.


Pengaduan yang masuk KPAI, sebutnya, mencatat kekerasan di ranah pendidikan dari sebelum masuk pandemi Covid di 2019, awal masuk pandemic Covid saat Maret 2020, sampai dicabutnya status masa PPKM diakhir tahun 2022.


Jasra merinci, berikut: pengaduan kasus di ranah pendidikan 2019 tercatat 321 kasus, 2020 di angka 1.567 kasus, pada 2021 di angka 421 kasus, pada 2022 di angka 429 kasus, dan pada 2023 sampai bulan Mei tercatat 64 kasus.


Bahwa ketika awal pandemic Covid, tahun 2020 ada adaptasi dalam penyesuaian perubahan cara belajar anak yang meninggalkan angka pengaduan kekerasan di ranah pendidikan sangat tinggi, namun dengan tren yang terus menurun dari perubahan pola gaya belajar yang banyak dilakukan di luar kelas.


Pertanyaannya dengan kembali aktifnya ruang kelas setelah status PPKM dicabut, akankah mengembalikan angka kekerasan yang tinggi di ruang sekolah?


"Sejak Januari kita terus disajikan berita kelam lembaga pendidikan menjadi TKP mulai dari bullying dan kekerasan seksual. Semoga angkanya tidak berpindah dan menjadi tinggi semenjak anak-anak kembali aktif belajar. Dan hari ini adalah kembali aktifnya dunia pengajaran berbatas tembok ruang kelas ini dimulai setelah liburan panjang lebaran," sebutnya.(*)


 Reported and edited by musriadi musanif

Posting Komentar

0 Komentar