Perpaduan Arsitektur Minang, Eropa, dan Asia di Masjid Rao-Rao

Masjid-masjid bersejarah di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, tak bisa dilepaskan dari kejayaan Minangkabau masa silam. Perjalanan waktu yang dilewatinya, tak berpengaruh terhadap keindahannya.


Masjid Rao-Rao terlihat tetap mempesona dengan arsitektur kunonya, perpaduan karya cipta arsitek orang Minang, Eropa, dan Asia. Padahal, beragam arsitektur modern kini terlihat di sejumlah masjid di Indonesia.


Terletak di jalan provinsi yang menghubungkan Batusangkar-Bukittinggi-Payakumbuh, persisnya di Nagari Rao-Rao, Kecamatan Sungai Tarab, membuat siapa saja yang melintas di jalur padat wisatawan itu terkagum-kagum.


Ini merupakan warisan kebesaran Islam di Minangkabau. Masuk kelompok masjid tertua di Indonesia. Masjid ini adalah situs cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Agar keberadaannya bisa tetap lestari dan jemaah betah berada di masjid ini, beberapa bagian dari masjid telah dilakukan renovasi atas bantuan para perantau Nagari Rao-Rao.


Masjid Rao-Rao berdiri di atas tanah wakaf H. Mohammad Thaib Caniago, dan dibangun secara bersama oleh masyarakat setempat, atas prakarsa Abdurrachman Datuk Majo Indo. Pada akhir tahun 1918, pembangunan masjid ini dapat diselesaikan.


Kini masjid ini juga memiliki laha parkir yang representatif. Luas lapangan parkir itu mencapai 90 M2. Tanahnya diwakafkan oleh Asrizal Idrus.


Menurut catatan sejarah, masjid ini mulai dibangun 1908, menggantikan peran masjid tertua di Rao-Rao yang dikenal sebagai Masjid Atok Ijuak yang dibongkar, karena sudah tak layak pakai lagi dimakan usia. Pembangunannya selesai pada 1918.


Atas inisiatif dari sejumlah pemuka masyarakat, baik yang bermukim di kampung halaman maupun perantauan, masjid ini pun direnovasi pada 2014 dan selesai di pertengahan 2015, saat kabupaten berjuluk Luhak Nan Tuo itu dipimpin Bupati M. Shadiq Pasadigoe. 


Masjid Rao-Rao dibangun dengan perpaduan arsitektur Minangkabau dan Persia. Kendati sempat mengalami kerusakan akibat gempa yang mengguncang Sumatera Barat pada 1926 dan 2009, namun masjid ini tidak pernah mengalami renovasi berat yang menggangu bentuk arsitektur aslinya.


Dengan menara bergonjong, perpaduan antara pesona rumah gadang dan gonjong bak menara Masjid Masjidil Haram, masjid ini memang nampak indah.


Menurut cerita para tetua di Rao-Rao, sejak awal berdiri, lantai masjid Rao-Rao tersusun dari keramik berkualitas tinggi. Semua dipesan langsung dari Cina.


Berhubung Rao-Rao kala itu yang tak bisa diakses dari laut, dan angkutan darat seperti truk tidak tersedia, keramik itu harus dibongkar dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang. Lalu dibawa dengan kereta api, dan kemudian digotong dengan kuda berjalan pelan dari Bukittinggi ke Rao-Rao.


Itulah sebabnya, sekitar tahun 1990-an, saat terjadi renovasi dan lantai kemarik itu diganti dengan yang baru, sebagian ibu-ibu terutama berusia lanjut, yang mengetahui sejarah di atas, meneteskan air mata. Pasalnya, mereka mengetahui sejarah para orang tua Rao-Rao dulu berjuang dengan cara yang tidak mudah.


Seperti arsitektur masjid khas Minangkabau lainnya, atap masjid ini terdiri empat tingkatan yang sedikit cekung, hanya saja di tingkatan atap teratas terdapat ruang berbentuk persegi dengan empat atap bergonjong mengarah ke empat penjuru mata angin, sementara pada bagian menaranya terdapat ruang berbentuk segi delapan.


Di dalam ruang shalat berdiri empat tiang utama yang terbuat dari beton. Di bagian mihrab masjid yang baru dibuat mimbar permanen pada tahun 1930, dihiasi hiasan berupa pecahan kaca keramik. Mimbar tersebut berukuran 3 × 1,38 meter dengan tinggi 3,1 meter. 


Selain Masjid Rao-Rao, sebenarnya ada dua masjid bersejarah lainnya di Minangkabau yang memiliki arsitektur identik dengan masjid ini, yakni Masjid Saadah di Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, dan Masjid Raya Kotobaru di Sungai Pagu, Kabupaten Solok.(Musriadi Musanif)

Posting Komentar

0 Komentar